Nationalgeographic.co.id—Hiperinflasi pra-revolusi Tiongkok selama 1940-an mungkin paling sering kita dengar. Namun ternyata ada hiperinflasi yang kurang terdokumentasi yang terjadi di Kekaisaran Tiongkok.
Tiongkok kuno merupakan peradaban pertama di dunia yang menggunakan mata uang kertas. “Lebih dari satu milenium sebelum uang kertas pertama kali muncul di Eropa,” tulis Sahir Pandey di laman Ancient Origins. Selama sejarahnya yang panjang, Kekaisaran Tiongkok pernah mengalami hiperinflasi di bawah Dinasti Yuan (1278-1368).
Apa yang memicu hiperinflasi ini di Kekaisaran Tiongkok? Penyebab utamanya tampaknya adalah pencetakan uang kertas yang sembrono. Tujuannya adalah untuk mendukung dan menambah kas perang guna menyuap calon penjajah dari utara. Namun, para sejarawan dan ekonom juga telah mengemukakan perang saudara, bencana alam, dan hibah kekaisaran menjadi penyebab hiperinflasi.
Diperkenalkan pada 1260, nilai uang kertas terdepresiasi hingga 1.000 persen pada 1309. Jadi, apa yang terjadi sebenarnya?
Sistem moneter di Kekaisaran Tiongkok
Tiongkok kuno disatukan di bawah Qin Shi Huang untuk pertama kalinya dalam sejarahnya pada 220 SM. Saat itu sistem mata uang dua tingkat diperkenalkan. Pertama adalah bentuk mata uang yang lebih tinggi terbuat dari emas. Serta bentuk mata uang yang lebih rendah terbuat dari perunggu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, uang dan daya beli diciptakan oleh pemerintah di seluruh daratan Tiongkok.
Kebetulan, di Tiongkok kuno juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, rezim politik mematok uang kertas pada logam mulia. Mereka menggunakan uang resmi sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Dinasti Yuan memperkenalkan uang kertas yang dapat dikonversi dengan perak. Namun dipandang dengan kecurigaan dan permusuhan karena mereka adalah bangsa Mongol. Mereka mengembangkan uang kertas pertama yang diperkenalkan sekitar tahun 1005 oleh Dinasti Song Utara.
Dinasti Yuan menggabungkan tradisi mereka dalam menggunakan perak sebagai alat tukar dengan tradisi uang kertas Kekaisaran Tiongkok. Kekaisaran kemudian beralih dari ekonomi berbasis koin perunggu, ke ekonomi uang kertas yang didukung perak. Sistem tersebut merupakan sistem moneter standar perak paling awal. Sistem uang kertas akhirnya menggantikan sistem moneter yang membingungkan yang mencakup koin tembaga, koin besi, dan batangan perak. Dan mengakhiri kekacauan pada dekade sebelumnya.
Ketika tiba di Kekaisaran Tiongkok, Marco Polo menulis bahwa ia tercengang setelah menyaksikan sistem moneter Kubilai Khan:
“Di Kota Cambalu (Khanbaliq) ini terdapat percetakan uang Khan yang agung, yang benar-benar dapat dikatakan memiliki rahasia para alkemis. Ia memiliki seni menghasilkan uang, mata uang kertas ini diedarkan di setiap bagian wilayah kekuasaan Khan yang agung. Tidak ada seorang pun yang berani, dengan mempertaruhkan nyawanya, menolak penggunaannya sebagai pembayaran.”
“Semua rakyatnya menerimanya tanpa ragu. Di mana pun mereka menjalankan bisnis, mereka dapat menggunakannya lagi untuk membeli barang dagangan yang mungkin diperlukan. Seperti mutiara, permata, emas, atau perak. Singkatnya, dengan uang kertas, setiap barang dapat diperoleh. Semua pasukan yang mulia dibayar dengan mata uang ini. Bagi mereka, nilai mata uang tersebut sama seperti emas atau perak. Dapat ditegaskan bahwa Khan Agung memiliki kendali harta yang lebih luas daripada penguasa lain mana pun di alam semesta.”
Baca Juga: Kekaisaran Tiongkok Zaman Dinasti Yuan dalam Catatan Ibnu Batutah
Depresiasi: perang dan pengelolaan ekonomi yang buruk
Bangsa Mongol memiliki kebiasaan unik ketika menjajah suatu wilayah. Mereka berusaha menghapus sepenuhnya sisa-sisa rezim sebelumnya melalui cara yang sangat kejam. Hal ini pun terus berlanjut ketika mereka menguasai Kekaisaran Tiongkok. Kubilai Khan berusaha menghapus Dinasti Song Selatan sepenuhnya. Ia memulai sejumlah perang pada 1270-an untuk menyatukan Tiongkok Utara dan Selatan. Bersamaan dengan itu, seperti yang disarankan oleh banyak pejabat, ia juga memulai perang untuk menaklukkan Asia Tenggara dan Jepang.
Mirip dengan kasus-kasus lain dalam sejarah dunia, pembiayaan kekaisaran yang didirikan atas dasar peperangan mengakibatkan depresiasi perbendaharaan. Untuk melawan Song Selatan, mata uang yang didukung perak yang disebut zhongtongchao diterbitkan dalam jumlah yang lebih besar. Periode ini juga ditandai dengan investasi yang wajar dalam infrastruktur dan konstruksi publik, yang semakin memperburuk hiperinflasi. Pada 1287, zhiyuanchao, mata uang kertas baru diperkenalkan. Nilainya diduga lima kali lipat dari nilai yang lama.
Kedua mata uang tersebut diizinkan untuk beroperasi pada saat yang sama. Namun nilai zhongtongchao telah anjlok hingga 80% saat itu. Pada 1311, kedua mata uang kertas ini diterbitkan kembali setelah dihentikan. Namun keduanya tidak lagi dijamin atau didukung oleh perak. Kedua mata uang tersebut bertahan selama 40 tahun penuh.
Pada 1352, mata uang kertas terakhir, zhizengchao. Namun kejatuhan Dinasti Yuan menyebabkan depresiasi dan penurunan nilainya yang cepat. Uang kertas hampir tidak bernilai pada saat Dinasti Ming menggulingkan Yuan pada 1368. Pada saat itu, sebagian besar kota, prefektur, kabupaten, dan kota telah kembali ke ekonomi barter!
Apakah hiperinflasi Dinasti Yuan Tiongkok menyebabkan keruntuhan ekonomi?
Perang adalah salah satu alasan utama runtuhnya penggunaan mata uang kertas Dinasti Yuan. Selain itu, ada faktor lain. Misalnya ukuran Tiongkok. Bahkan saat ini, Tiongkok adalah negara terbesar ketiga di dunia berdasarkan luas daratan, yang membentang seluas 9,6 juta kilometer persegi. Selain itu, Kekaisarain Tiongkok kekurangan cadangan perak dalam negeri. Perak harus diimpor terlebih dahulu dari Jepang, dan kemudian dari Amerika. Hal ini pun turut menciptakan defisit perdagangan yang berlangsung hingga akhir era Dinasti Ming.
Selain itu, standar logam memiliki kekuatan untuk membatasi penerbitan uang secara berlebihan. Namun tekanan fiskal yang terus meningkat akibat peperangan membuat standar logam yang stabil tidak dapat dipertahankan. Selama tahun-tahun perang Dinasti Song, misalnya, perak yang disimpan di gudang-gudang lokal diangkut ke ibu kota. Perak tersebut digunakan untuk mendanai pengeluaran militer secara langsung.
Terjadi di awal sejarah mata uang, pengalaman ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi Kubilai Khan tidak sekuat yang diyakini masyarakat. Selain itu, kurangnya emas dan perak berarti masyarakat tidak dapat menukar mata uang dengan nilai tukar tetap.
Pada 1350-an, uang kertas mulai diterbitkan oleh lembaga pemerintah swasta, provinsi, dan pusat. Hal ini menyebabkan ledakan kredit, yang menyebabkan penurunan nilai yang tajam.
Pukulan terakhir datang melalui kematian Kubilai Khan, yang menciptakan kekosongan kekuasaan. Dinasti tersebut menghabiskan lebih banyak pendapatan untuk memelihara keluarga kerajaan dan menteri mereka guna menstabilkan rezim. Harga komoditas pun meningkat sepuluh kali lipat pada akhir abad ke-13. Semua itu menyebabkan kesulitan besar di kalangan masyarakat umum.
Akan adil untuk berpendapat bahwa eksperimen mata uang kertas Dinasti Yuan Tiongkok bersifat revolusioner. Pasalnya, mata uang kertas itu muncul hampir 500 tahun sebelum ekonomi Eropa dan negara-negara Barat lainnya mengikutinya.
Namun, menganggap ini sebagai periode hiperinflasi adalah keliru. Kemurahan hati kekaisaran, pertikaian serta peperangan yang terus-menerus adalah alasan utama mengapa dinasti dan mata uang tersebut mengalami keruntuhan.
Kaisar Dinasti Ming pertama, Hongwu, yang memerintah hingga 1398, jauh lebih berhati-hati. Ia rupanya belajar dari pengalaman pahit Dinasti Yuan. Hongwu mencoba mengembalikan koin tembaga sebagai alat tukar utama. Namun pasokan yang tidak memadai memaksa kembalinya uang kertas. Dalam dua dekade sejak diluncurkan, nilai nominalnya kurang dari seperempat nilai sebenarnya.
Pada awal abad ke-15, Kekaisaran Tiongkok memasuki empat abad mata uang bimetalik. “Koin tembaga untuk transaksi harian. Serta perak untuk perdagangan jarak jauh dan pembayaran dalam jumlah besar,” ungkap Pandey.
Selama abad ke-19, di bawah tekanan dari Barat, Kekaisaran Tiongkok terpaksa kembali menggunakan uang kertas. Dengan demikian, pergerakan mata uang yang terus berubah berakar pada praktik masa lalu.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR