Nationalgeographic.co.id—Dalam diskusi bertajuk Showing Hope: Making Sparks in the Dark yang diselenggarakan di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (1/12/2024), para pembicara sepakat bahwa menjaga harapan adalah kunci untuk mengatasi berbagai tantangan kompleks yang kita hadapi saat ini.
Mengambil contoh perampasan lahan dan kerusakan lingkungan yang marak terjadi, Sapariah Saturi, Managing Editor Mongabay Indonesia, menekankan pentingnya menemukan celah-celah kecil untuk menumbuhkan semangat hidup.
"Di tengah banyaknya masalah, kita harus mencari harapan yang bisa menjadi motivasi kita untuk terus berjuang," ujarnya.
Sebagai jurnalis yang sering berinteraksi langsung dengan masyarakat adat dan komunitas lokal, Arie, sapaan akrab Sapariah, menyaksikan langsung bagaimana kelompok-kelompok marjinal ini mampu menjaga kelestarian alam dengan pengetahuan tradisional mereka.
"Dari mereka, kita bisa belajar bagaimana cara menjaga hutan, mengelola sumber daya air, dan memanfaatkan energi terbarukan," ungkapnya. Arie mencontohkan ritual Sasi yang telah terbukti efektif dalam melindungi lingkungan. "Harapan itu ada di mereka," tegasnya.
Senada dengan Arie, Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia, juga melihat pentingnya narasi harapan dalam menghadapi krisis iklim. Yoan menyayangkan bahwa selama ini, narasi tentang perubahan iklim cenderung terlalu fokus pada sisi negatifnya, sehingga membuat masyarakat merasa takut dan putus asa.
"Narasi yang menakut-nakuti tidak efektif dalam mengubah perilaku yang justru menjadi hal paling sederhana dalam upaya mengatasi perubahan iklim," ujarnya.
Untuk itulah, menurut Yoan, National Geographic Indonesia berupaya untuk menghadirkan narasi yang lebih positif dan inspiratif. "Kami ingin menunjukkan bahwa masih ada banyak hal baik yang bisa kita lakukan untuk bumi," kata Yoan.
Salah satu fokus utama mereka adalah pada ekosistem pesisir, khususnya karbon biru. "Laut memiliki peran yang sangat penting dalam menyerap karbon dioksida. Kita perlu melindungi dan memulihkan ekosistem pesisir untuk mengatasi perubahan iklim," jelasnya.
Niduparas Erlang, penulis novel Burung Kayu (2020), juga berbagi pengalamannya dalam bertemu dengan berbagai komunitas adat di Indonesia. Nidu menemukan bahwa banyak masyarakat adat memiliki pengetahuan tradisional yang sangat berharga dalam menjaga lingkungan.
"Mereka memiliki cara pandang yang berbeda tentang alam, yang menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral dan harus dihormati," ujarnya. Nidu mencontohkan ritual melarung sesaji di Banten yang berhasil melindungi sebuah pulau dari ancaman pembangunan.
Baca Juga: Kata-kata yang Menjembatani Dunia: Suatu Refleksi dari Hiromi Kawakami
"Narasi-narasi yang sakral ini sangat penting untuk menjaga kelestarian alam," tegas Nidu.
Ia juga mengagumi sistem pemerintahan adat Baduy yang mampu mempertahankan hutan dan lingkungan mereka dengan sangat baik. "Struktur pemerintahan yang kuat dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Baduy menjadi kunci keberhasilan mereka," tambahnya.
Cerita pemercik harapan dari masyarakat adat
Diskusi kemudian bergeser kepada pengalaman-pengalaman yang didapat para pembicara saat mereka berada di lapangan, yang dianggap mampu memercikan harapan.
Nidu menyoroti kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat adat. Ia mencontohkan kasus Taman Nasional Siberut. "Pemerintah memang bermaksud baik dengan menjadikan Siberut sebagai taman nasional untuk melindungi hutan," ujarnya.
"Namun, kebijakan ini juga membawa dampak negatif bagi masyarakat setempat. Mereka tidak lagi bisa berburu, yang merupakan bagian penting dari mata pencaharian mereka. Jadi, pertanyaannya adalah, apakah masyarakat benar-benar sejahtera dengan kebijakan ini?"
Sementara Yoan membagikan pengalamannya saat mengunjungi Taman Nasional Wasur. Ia terkesan dengan tradisi Sasi yang dijalankan oleh masyarakat setempat.
"Saat ada anggota masyarakat yang meninggal, kawasan tertentu akan ditutup selama beberapa tahun sebagai bentuk penghormatan," jelasnya. "Selama masa penutupan ini, alam bisa pulih dengan sangat baik. Wallaby dan rawa-rawa kembali hidup."
Yoan juga menekankan pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia. "Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam. Mereka menganggap semua makhluk hidup sebagai bagian dari keluarga besar," ungkapnya.
"Di Wasur, misalnya, ada totem marga yang menggunakan nama hewan. Keluarga yang memiliki totem tertentu akan merasa bertanggung jawab untuk melindungi hewan tersebut."
Arie menambahkan bahwa media memiliki peran penting dalam menyuarakan kisah-kisah masyarakat adat.
"Kami di Mongabay berusaha menyajikan narasi yang komprehensif, termasuk suara-suara dari masyarakat adat," ujarnya. "Tujuannya adalah agar pemerintah dan pihak swasta memahami pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat."
Arie juga mengkritik pandangan yang menganggap masyarakat adat sebagai kelompok yang tertinggal. "Kita seringkali memaksakan definisi kesejahteraan kita pada mereka," katanya.
"Padahal, banyak masyarakat adat yang telah hidup sejahtera dengan cara mereka sendiri. Petani di tanah Pasundan, misalnya, mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka tanpa harus bergantung pada proyek food estate."
KOMENTAR