Catatan pertama tentang tradisi ini berasal dari teks abad ke-8 Shoku Nihongi. Dokumentasi itu menggambarkan upacara semacam itu di istana kekaisaran pada tahun 706.
Tradisi fukumame muncul dari hubungan homofon antara kata Jepang untuk kacang, mame, dan mame o utsu, berarti membasmi kejahatan. Tradisi ini sangat populer pada periode Edo, seperti yang diilustrasikan oleh katalog cetakan yang menggambarkan mame-maki.
Parade rubah
Omisoka adalah perayaan tradisional Jepang pada hari terakhir tahun yang berjalan. Secara tradisional, perayaan ini diadakan pada hari terakhir bulan ke-12 kalender lunar.
Omisoka menampilkan sejumlah tradisi lain, termasuk makan toshikoshi soba dan joya no kane. joya no kane adalah kegiatan membunyikan lonceng kuil Buddha untuk melambangkan pembersihan 108 nafsu duniawi. Meskipun banyak adat istiadat dari Edo telah menghilang, lingkungan Oji telah berhasil menghidupkan kembali hubungannya dengan kitsune-bi (api rubah).
Gerbang Kuil Oji Inari dulunya menghadap ke ladang dan sawah yang luas, tempat tumbuhnya pohon enoki yang besar. Legenda mengatakan bahwa pada akhir omisoka, semua rubah di wilayah tersebut akan berkumpul di bawah cabang-cabang pohon. Rubah-rubah itu membentuk prosesi untuk memberi penghormatan di kuil, dengan api dari lentera mereka berkedip-kedip di kegelapan malam.
Rubah dipuja dalam masyarakat agraris tradisional Jepang karena dapat mengendalikan tikus dan hama lainnya. Dan seiring waktu, rubah menjadi terkait dengan pemujaan Inari, dewa padi dan perdagangan. Patung rubah yang disebut komagitsune mengawasi pintu masuk kuil Inari.
Hewan mistik tersebut dianggap sebagai pembawa api rubah (kitsune-bi), suatu fenomena yang dianggap dipicu oleh sifat bioluminesensi jamur tertentu. Sebagai gambaran dari kepercayaan rakyat Jepang yang berlimpah, api atau cahaya itu dipercaya dapat meramalkan keberuntungan di tahun mendatang.
Pada tahun 1929, pohon enoki di Kuil Oji Inari ditebang untuk memberi jalan bagi perluasan rel kereta api. Dan hanya sebuah monumen kecil yang didirikan untuk mengenang tempat pohon itu dulu berdiri. Namun, penduduk setempat takut akan pembalasan dari rubah-rubah yang marah dan akhirnya menanam pohon baru.
Pada tahun 1993, beberapa penduduk menggelar prosesi di sekitar jalan perbelanjaan utama pada Malam Tahun Baru. Mereka melestarikan cerita rakyat tentang rubah. Parade Rubah Oji sejak saat itu semakin besar. Pada akhirnya menarik banyak penonton ke lingkungan tersebut pada tengah malam setiap tanggal 31 Desember.
Acara ini menampilkan peserta dari segala usia yang mengenakan topeng rubah dan riasan. Peserta berjalan berkelok-kelok menuju Kuil Inari diiringi alunan musik festival hayashi yang meriah.
Peristiwa-peristiwa tahunan ini dan lainnya memungkinkan adat istiadat dan tradisi Jepang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini memastikan bahwa kepercayaan dan sejarah yang diwakilinya serta emosi yang ditimbulkannya tetap menjadi bagian dari budaya Jepang.
Source | : | nippon.com |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR