Untuk merealisasikan potensi ini, ASEAN perlu mengadopsi tiga strategi utama. Pertama, solusi berbasis alam seperti penghijauan, reboisasi, dan restorasi mangrove menawarkan cara yang efektif untuk menyerap karbon sekaligus melestarikan keanekaragaman hayati.
Kedua, transisi energi yang cepat, ditandai dengan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara, merupakan langkah krusial untuk mengurangi emisi.
Ketiga, investasi masif dalam energi terbarukan, dipadukan dengan inovasi seperti biochar dan karbon biru yang berfokus pada pertanian berkelanjutan dan ekosistem laut, akan semakin memperkuat fondasi ekonomi hijau ASEAN.
Selain manfaat lingkungan, inisiatif-inisiatif ini juga berpotensi menciptakan jutaan lapangan kerja hijau pada tahun 2050, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Namun, perjalanan menuju pasar karbon ASEAN yang sukses tidaklah mudah. Tantangan utama yang harus diatasi adalah ketidakpastian peraturan yang ditandai dengan kebijakan yang seringkali berubah-ubah dan kerangka kerja yang belum jelas.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian bagi para investor dan menghambat aliran modal ke proyek-proyek hijau. Fragmentasi pasar yang disebabkan oleh kurangnya kolaborasi regional juga menjadi kendala, membatasi peluang perdagangan karbon lintas batas.
Lebih lanjut, masalah integritas seperti kekhawatiran akan praktik greenwashing dan kualitas kredit karbon yang meragukan dapat merusak kredibilitas pasar.
Untuk mengatasi hal ini, ASEAN perlu membangun sistem yang kuat dan transparan, serta menerapkan standar yang ketat untuk memastikan bahwa setiap kredit karbon yang diperdagangkan mewakili pengurangan emisi yang nyata dan terukur.
Peta jalan membuka potensi pasar karbon ASEAN
Potensi pasar karbon ASEAN sangatlah besar. Untuk mewujudkan potensi tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif dan kolaboratif.
Baca Juga: Ketika Menghitung 'Blue Carbon' Malah Menjadi Paradoks yang Mengerikan
KOMENTAR