Nationalgeographic.co.id—Peristiwa spektakuler pecahnya bongkahan es raksasa di Antartika, membentuk gunung es sebesar dua kali Pulau Bali, telah menarik perhatian dunia. Namun, fenomena ini hanyalah satu potongan kecil dari puzzle perubahan iklim yang semakin kompleks.
Untuk mengungkap hubungan antara pemanasan global dan pembentukan gunung es kolosal ini, sekelompok ilmuwan telah melakukan penelitian yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Mereka memfokuskan perhatian pada gunung es terbesar yang terbentuk setiap tahun di benua paling dingin di Bumi. Melalui analisis data jangka panjang selama 47 tahun, dari 1976 hingga 2023, para peneliti berusaha menguak rahasia di balik peristiwa langka ini.
Fenomena calving dan kelahiran es raksasa
Proses pembentukan gunung es raksasa dikenal sebagai calving. Ini adalah fenomena alam di mana bongkahan es raksasa memisahkan diri dari lapisan es benua dan mengapung bebas di lautan.
Peristiwa calving ini sangat jarang terjadi dan sulit diprediksi, sehingga menjadi tantangan besar bagi para ilmuwan untuk memodelkan dan memahaminya secara mendalam.
"Calving gunung es besar merupakan peristiwa langka dengan variabilitas yang sulit diprediksi, sehingga menjadi proses yang kompleks untuk dipahami dan dimodelkan secara statistik," ungkap para peneliti dalam jurnal Geophysical Research Letters.
Mengingat sifat data yang unik dan jumlah kejadian calving besar yang terbatas, para ilmuwan menggunakan pendekatan statistik khusus yang dirancang untuk menganalisis dataset yang lebih kecil. Dengan metode ini, mereka mampu mengidentifikasi pola dan tren yang mungkin tersembunyi di balik data yang ada.
"Sebagai contoh, dalam salah satu peristiwa tersebut, terbentuk sebuah gunung es dengan luas permukaan mencapai 11.000 kilometer persegi, sebuah pemandangan yang sungguh menakjubkan," jelas Rodielon Putol di laman Earth.com.
Temuan yang tak terduga
Penelitian ini telah mengungkap sebuah fenomena yang mengejutkan: alih-alih mengalami peningkatan luas permukaan yang signifikan seiring dengan pemanasan global, gunung-gunung es raksasa ini justru menunjukkan kecenderungan penurunan yang perlahan namun konsisten dari tahun ke tahun.
Baca Juga: Bumi Semakin Rapuh pada 2024, Ilmuwan Wanti-wanti Datangnya Ancaman yang Lebih Buruk
Temuan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang dampak perubahan iklim terhadap stabilitas lapisan es di benua paling dingin di Bumi. Para ilmuwan telah lama memprediksi bahwa pemanasan global akan memicu peristiwa calving ekstrem yang lebih sering, di mana bongkahan es raksasa terlepas dari lapisan es induknya dan mengapung bebas di lautan.
Namun, hasil penelitian terbaru ini justru menunjukkan bahwa meskipun suhu global terus meningkat, risiko terjadinya peristiwa calving ekstrem ternyata tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
"Karena iklim menghangat selama periode penelitian, tetapi luas gunung es terbesar tidak meningkat, temuan ini menunjukkan bahwa peristiwa calving ekstrem tidak selalu merupakan konsekuensi langsung dari perubahan iklim," ujar para peneliti.
Ancaman tersembunyi
Jika peristiwa calving ekstrem tidak menjadi ancaman utama seperti yang diperkirakan sebelumnya, lalu apa yang sebenarnya menyebabkan hilangnya massa es di Antartika?
Jawabannya terletak pada peristiwa calving yang lebih kecil dan lebih sering terjadi. Penelitian ini, sejalan dengan studi-studi sebelumnya, menunjukkan bahwa frekuensi peristiwa calving skala kecil telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun peristiwa-peristiwa ini mungkin tidak se-spektakuler peristiwa calving ekstrem yang dapat memicu gelombang tsunami mini dan mengubah lanskap pesisir, namun dampak kumulatifnya terhadap hilangnya massa es jauh lebih besar.
Para peneliti menggambarkan fenomena ini sebagai "kematian seribu luka". Sama seperti tetesan air yang terus-menerus dapat mengikis batu, begitu pula peristiwa calving kecil yang terjadi berulang kali secara perlahan namun pasti mengurangi volume lapisan es.
Masa depan gunung es dan biaya yang harus ditanggung
Meskipun peristiwa calving dalam skala besar seperti yang pernah terjadi mungkin tidak akan semakin sering, namun model iklim menunjukkan potensi munculnya gunung es super besar, seukuran negara Swiss (38.827 kilometer persegi), dalam kurun waktu satu abad.
Walaupun peristiwa-peristiwa dramatis ini menarik perhatian publik, ancaman sebenarnya terhadap lapisan es Antartika justru berasal dari akumulasi pemecahan es dalam skala yang lebih kecil namun terjadi secara terus-menerus.
Baca Juga: Te Moana-nui-a-Kiwa, Kawasan 'Blue Carbon' Terbesar Dunia yang Dijaga Suku Maori
Peristiwa calving kecil ini, yang seringkali luput dari sorotan media, secara perlahan namun pasti mengikis massa es yang sangat besar.
Air tawar hasil pencairan gunung es yang lebih kecil ini kemudian mengalir ke Samudra Selatan, mengubah komposisi kimiawi air laut. Perubahan salinitas dan suhu air laut akibat pencairan es ini berpotensi mengganggu sistem sirkulasi laut global yang kompleks.
Arus laut dalam, yang berperan krusial dalam mengatur iklim global dan mendistribusikan nutrisi ke seluruh lautan, dapat melemah akibat berkurangnya salinitas di Samudra Selatan.
Dampak dari perubahan sirkulasi laut ini sangat luas dan kompleks. Gangguan pada aliran nutrisi dapat mengganggu keseimbangan ekosistem laut di seluruh dunia, mengancam kelangsungan hidup berbagai spesies laut.
Benteng pertahanan iklim yang terancam
Pencairan es yang terus berlangsung juga mengancam peran penting Antartika dalam mengatur iklim Bumi. Lapisan esnya yang luas, berkilau putih, memantulkan sebagian besar sinar matahari yang jatuh di permukaannya kembali ke angkasa.
Proses ini, yang dikenal sebagai efek albedo es, membantu menjaga suhu Bumi tetap stabil dan mencegah pemanasan global yang lebih parah.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, keseimbangan rapuh ini terancam oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Pemanasan global menyebabkan lapisan es Antartika mencair dengan kecepatan yang semakin mengkhawatirkan. Peristiwa calving semakin sering terjadi.
Setiap kali terjadi peristiwa calving kecil, permukaan es yang memantulkan sinar matahari berkurang. Hal ini menciptakan semacam lingkaran setan: semakin banyak es yang mencair, semakin sedikit sinar matahari yang dipantulkan, dan semakin cepat pula suhu Bumi meningkat. Para ilmuwan menyebut fenomena ini sebagai umpan balik albedo es.
Hilangnya lapisan es Antartika tidak hanya berdampak pada kenaikan permukaan laut secara global, tetapi juga mengganggu sistem sirkulasi laut dan atmosfer yang kompleks. Perubahan-perubahan ini dapat memicu cuaca ekstrem yang lebih sering dan lebih intens, seperti gelombang panas, badai, dan kekeringan, di berbagai belahan dunia.
Selama ini, perhatian publik dan para ilmuwan sering tertuju pada peristiwa calving besar yang spektakuler. Namun, ini menunjukkan bahwa kerugian es dalam skala kecil yang terjadi secara terus-menerus justru memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap hilangnya massa es secara keseluruhan.
"Dengan mengalihkan fokus dari peristiwa calving gunung es yang dramatis ke kerugian kecil yang terus-menerus, para peneliti bertujuan untuk menyoroti kebutuhan mendesak akan pemantauan berkelanjutan dan tindakan global untuk mengurangi dampak ini," pungkas Putol .
Bukan Perubahan Iklim yang Pengaruhi Gunung Es Terbesar di Antartika, Lalu Apa?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR