Nationalgeographic.co.id—Presiden Prabowo Subianto menyebut bahwa kita tidak perlu takut dengan adanya deforestasi. Hal ini dia kaitkan dengan rencana menambah luas kebun kelapa sawit.
"Saya kira ke depan kita harus tambah tanam kelapa sawit. Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?" tutur Prabowo dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
Sementara itu, di tempat terpisah, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menyatakan bahwa pemerintah sedang memiliki rencana besar untuk mengubah 20 juta lahan hutan cadangan.
Menurut Raja Juli, usai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/12/2024), rencana tersebut terkait dengan upaya untuk meningkatkan sumber ketahanan pangan, energi, dan air.
"Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air," kata Raja Juli, sebagaimana dilansir Antara.
Namun, benarkah kita benar-benar tidak perlu takut atau cemas dengan rencana pemerintah melakukan deforestasi, baik untuk kebun kelapa sawit maupun terkait dengan ketahahan pangan?
Deforestasi yang tak kunjung henti
Setiap tahunnya, planet Bumi kehilangan hutan seluas Portugal akibat penebangan liar. Angka ini sungguh mencengangkan: 10 juta hektar hutan yang notabene menjadi rumah bagi jutaan spesies flora dan fauna, serta sumber kehidupan bagi miliaran manusia, lenyap begitu saja.
Dampak dari deforestasi ini jauh melampaui hilangnya keanekaragaman hayati. Hutan, terutama di kawasan tropis, berperan krusial sebagai paru-paru dunia.
Mereka menyerap karbon dioksida (CO2), salah satu gas rumah kaca utama penyebab pemanasan global, dan melepaskan oksigen yang kita hirup. Namun, dengan laju penebangan yang begitu cepat, fungsi vital hutan ini terancam.
Sebuah studi terbaru mengungkapkan fakta mengejutkan: penebangan hutan di kawasan tropis saja telah melepaskan lebih dari 5,6 miliar ton gas rumah kaca setiap tahunnya. Angka ini setara dengan lebih dari empat kali lipat total emisi yang dihasilkan oleh seluruh industri penerbangan dan pengiriman barang di dunia.
Baca Juga: Deforestasi Makan Korban: Dua Orang Tewas oleh Suku Terasing Hutan Amazon
Bayangkan, aktivitas kita sehari-hari yang melibatkan perjalanan udara atau belanja online ternyata kalah jauh dalam berkontribusi pada perubahan iklim dibandingkan dengan deforestasi.
Dengan demikian, deforestasi bukan hanya masalah lingkungan semata, melainkan juga krisis iklim global yang semakin mendesak. Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa jika kita tidak segera bertindak, suhu bumi akan terus meningkat, cuaca ekstrem akan semakin sering terjadi, dan ekosistem kita akan semakin rusak.
Menyadari urgensi masalah ini, pada tahun 2015, negara-negara di dunia sepakat untuk menandatangani Perjanjian Paris. Perjanjian ini bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius dibandingkan dengan masa pra-industri.
Namun, untuk mencapai tujuan ambisius ini, diperlukan komitmen yang lebih kuat dari setiap negara, termasuk upaya konkret untuk mengakhiri deforestasi dan memulihkan hutan yang telah rusak.
Pada tahun ini, 2025, negara-negara akan kembali berkumpul untuk mengevaluasi kemajuan mereka dalam melaksanakan Perjanjian Paris.
Para ahli dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mendesak agar setiap negara memasukkan target yang jelas dan terukur untuk mengurangi deforestasi dalam rencana aksi iklim nasional mereka.
“Hutan tidak hanya mendukung keanekaragaman hayati yang kaya dan menyediakan kehidupan bagi masyarakat dan ekonomi manusia, tetapi juga memainkan peran penting dalam menstabilkan iklim kita,” kata Mirey Atallah, seperti dilansir laman resmi UNEP.
“Jika kita ingin memiliki harapan untuk memperlambat perubahan iklim, kita harus menghentikan deforestasi,” lanjut kepala Cabang Adaptasi dan Ketahanan Perubahan Iklim dari UNEP tersebut.
Berikut adalah gambaran lebih dekat tentang bagaimana hutan dapat mengatasi krisis iklim.
Deforestasi: Ancaman terbesar bagi iklim kita
Hutan, seringkali disebut paru-paru dunia, memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan iklim. Pohon-pohon yang menjulang tinggi ini berfungsi sebagai gudang karbon alami yang sangat efisien.
Baca Juga: Industri Sawit Masih Picu Deforestasi, Lahan Gambut Tak Luput Jadi Sasaran
Melalui proses fotosintesis, mereka menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam biomassa mereka, termasuk batang, daun, dan akar. Dengan demikian, hutan membantu mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer yang merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global.
Namun, deforestasi yang terjadi secara masif di seluruh dunia mengancam fungsi vital hutan ini. Ketika hutan ditebang atau dibakar, karbon yang tersimpan di dalamnya akan dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk CO2.
Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, memperparah efek rumah kaca, dan mengakibatkan kenaikan suhu global. Selain itu, hilangnya tutupan hutan juga mengurangi kemampuan ekosistem dalam menyerap karbon dari atmosfer, sehingga mempercepat laju perubahan iklim.
Di sisi lain, emisi gas rumah kaca yang terus meningkat akibat aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi, telah mendorong perubahan iklim ke titik yang mengkhawatirkan.
Kenaikan suhu global telah memicu berbagai bencana alam yang semakin sering dan intens, seperti gelombang panas ekstrem, kekeringan berkepanjangan, banjir bandang, dan badai tropis yang dahsyat.
Bencana-bencana ini tidak hanya mengancam kehidupan manusia dan satwa liar, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Menurut data UNEP, jika tidak ada upaya signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, suhu rata-rata global diperkirakan akan meningkat antara 2,5°C hingga 2,9°C pada akhir abad ini.
Kenaikan suhu sebesar ini jauh melampaui batas yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris, yaitu 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Peningkatan suhu yang melebihi ambang batas tersebut dapat memicu perubahan iklim yang tidak dapat diubah dan berdampak sangat buruk bagi kehidupan di Bumi.
Mengingat urgensi situasi saat ini, tindakan segera dan komprehensif untuk mengatasi deforestasi dan perubahan iklim menjadi sangat penting. Pelestarian dan restorasi hutan merupakan salah satu solusi paling efektif untuk mengurangi emisi karbon dan mengatasi perubahan iklim.
Peran krusial perlindungan hutan dalam melawan perubahan iklim
Perlindungan hutan memiliki peran yang sangat krusial dalam upaya kita melawan perubahan iklim. Untuk mencegah kenaikan suhu global lebih dari 1,5 derajat Celsius, kita perlu mengurangi emisi gas rumah kaca secara drastis.
Baca Juga: Apa Saja yang Termasuk Dalam Permasalahan Lingkungan Hidup Kita?
Menurut Program REDD PBB, menghentikan deforestasi saja dapat mengurangi emisi sebesar 4 miliar ton per tahun. Ini setara dengan menghentikan emisi dari hampir setengah dari semua mobil di dunia!
Melindungi dan memulihkan hutan adalah salah satu cara paling efektif untuk mengatasi perubahan iklim. Sebuah laporan dari UNEP menunjukkan bahwa solusi berbasis alam seperti ini dapat membantu mengurangi emisi global hingga 18 miliar ton per tahun pada tahun 2050.
Sayangnya, upaya kita untuk menghentikan deforestasi masih jauh dari cukup. Didorong terutama oleh perluasan lahan pertanian, hutan terus ditebang dalam skala besar.
Sejak tahun 1990, dunia telah kehilangan hutan seluas 420 juta hektar—setara dengan setengah dari luas daratan China! Bahkan dalam periode 2015-2020 saja, kita kehilangan hutan seluas 10 juta hektar per tahun, setara dengan luas negara Portugal.
Bagaimana rencana iklim nasional dapat membantu mengatasi penggundulan hutan?
Pada tahun 2015, 195 negara di dunia sepakat untuk bersama-sama mengatasi perubahan iklim melalui Perjanjian Paris.
Sebagai bagian dari kesepakatan ini, setiap negara wajib menyusun Rencana Iklim Nasional (Nationally Determined Contributions/NDCs) yang berisi langkah-langkah konkret untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Rencana ini bisa mencakup berbagai aspek, mulai dari pengembangan energi bersih seperti tenaga surya dan angin, hingga penerapan praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Sayangnya, meskipun pentingnya peran hutan dalam mengatasi perubahan iklim telah diakui secara global, namun upaya untuk melindungi hutan masih menghadapi berbagai tantangan.
Sebuah laporan terbaru dari UN-REDD menunjukkan bahwa hanya sekitar 40% negara yang rentan terhadap deforestasi telah memasukkan langkah-langkah perlindungan hutan dalam Rencana Iklim Nasional mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak negara yang belum memberikan perhatian yang cukup terhadap isu deforestasi.
Untungnya, masih ada harapan untuk memperbaiki situasi ini. Pada tahun ini, 2025, semua negara anggota Perjanjian Paris diharuskan untuk memperbarui Rencana Iklim Nasional mereka.
Bagi Atallah, Momentum ini menjadi peluang emas bagi para pembuat kebijakan untuk memasukkan target yang lebih ambisius dan konkret dalam melindungi serta memulihkan hutan.
Bagaimana peran negara dapat meningkatkan rencana untuk menghentikan penggundulan hutan?
Atallah dengan tegas menekankan pentingnya penetapan target yang jelas untuk menghentikan laju deforestasi dan memulai proses pemulihan hutan dalam kontribusi yang telah disepakati secara nasional oleh setiap negara. Namun, tantangannya tidaklah sederhana.
Kompleksitas masalah ini, yang melibatkan berbagai faktor seperti eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan perluasan lahan pertanian yang tidak terkendali, menuntut adanya dialog nasional yang komprehensif dan upaya mencari titik temu berbagai kepentingan.
Laporan UN-REDD juga menyoroti pentingnya melibatkan berbagai kelompok masyarakat dalam perencanaan iklim nasional. Suara masyarakat adat, masyarakat pedesaan, perempuan, dan generasi muda perlu didengarkan dan dipertimbangkan.
Negara-negara berkembang, yang menjadi episentrum masalah deforestasi, membutuhkan dukungan teknis dan finansial yang memadai untuk dapat memenuhi komitmen mereka dalam melindungi hutan.
UNEP, dalam upayanya mendukung negara-negara, berupaya memastikan bahwa sistem pembayaran atas jasa lingkungan hutan (baik dari lembaga pembangunan maupun pasar karbon) mencerminkan nilai sebenarnya dari ekosistem hutan.
Dengan demikian, negara-negara berkembang dapat memperoleh aliran pendanaan yang signifikan untuk upaya konservasi.
Laporan UN-REDD menyimpulkan bahwa harga karbon hutan perlu dinaikkan secara signifikan menjadi kisaran AS$30-AS$50 per ton karbon dioksida ekuivalen agar upaya konservasi hutan menjadi lebih menarik secara ekonomi.
Sayangnya, harga saat ini masih jauh di bawah angka tersebut, yaitu sekitar AS$10 per ton karbon dioksida ekuivalen.
“Waktu kita semakin menipis untuk mengatasi krisis iklim,” kata Atallah.
“Jika negara-negara tidak membuat kemajuan nyata dalam melindungi hutan dan memangkas emisi dengan putaran kontribusi yang ditentukan secara nasional ini, mungkin sudah terlambat untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.”
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR