Di selatan, lautan berisi air dan energi matahari yang menghasilkan termal lebih stabil bagi burung untuk musim migrasi bagi burung. Sedangkan kawasan yang dipenuhi daratan di utara menyebabkan fluktuasi suhu.
"Burung bermigrasi sebagai respons terhadap faktor lingkungan ini dan memengaruhi distribusi dan kelompahan burung global," Tirth Vaishnav, penulis utama studi dan kandidat PhD Ecology and Biodiversity, Victoria University of Wellington, di The Conversation.
Ketidakteraturan waktu burung bermigrasi, pada gilirannya, memengaruhi dunia penerbangan. Burung memang dapat dideteksi oleh radar pesawat dan bandara sehingga dapat memprediksi landasan pacu yang bebas dari burung. Hanya saja, prediksi ini bisa meleset, terutama jika masa burung migrasi berubah.
Mitigasi pesawat tabrak burung
Vaishnav menyarankan, perlunya keterlibatan petugas satwa liar dalam mengoptimalkan upaya mitigasi gangguan burung. Khususnya di belahan bumi utara, petugas satwa liar harus dialokasikan lebih banyak sumber daya pada musim gugur.
Tidak semua spesies burung dapat diperlakukan sama. Kerap kali rencana strategi penanganan spesies burung sering disamakan di bandar udara. Perlu ada kesesuaian spesies-spesies tertentu dalam rencana penanggulangan masalah gangguan burung.
"Serangan burung merupakan masalah global, jadi standarisasi yang lebih baik dalam pelaporan statistik serangan burung dapat meningkatkan kemampuan kita untuk menganalisisnya dalam skala global," tambah Vaishnav.
"Terakhir, dengan perubahan iklim yang mengubah waktu musiman peristiwa siklus, seperti musim kawin burung dan pola migrasi, mungkin penting untuk memperkirakan dampak perubahan ini pada tren musiman dalam serangan burung."
Achmad Ridha Junaid, pegiat Konservasi Burung Indonesia menyebutkan bahwa mitigasi sistematis bisa diterapkan untuk mengurangi risiko pesawat tabrak burung. Menurutnya, dilansir dari Tempo.co, yakni melalui manajemen habitat burung sehingga tidak mengganggu bandar udara.
Jika terdapat proyek pembangunan bandar udara baru, sebaiknya tidak dekat dengan ekosistem habitat burung.
Masalahnya, beberapa bandar udara di Indonesia sudah terlanjur dibangun di dekat ekosistem, misal Bandar Udara Yogyakarta di Kulonprogo yang dibangun dekat samudra dan perbukitan Menoreh.
Bandar udara yang sudah terlanjut, sebaiknya "dikelola dengan cara mengurangi atau menghilangkan sumber daya yang menarik burung, seperti makanan, air, atau vegetasi tertentu," ungkap Ridha.
Pesawat pun harus didesain agar lebih tebal dan kuat menghindari gangguan burung. Ridah menyarankan, pihak manajemen maskapai harus secara proaktif mengahadapi risiko satwa liar pada jalur penerbangannya, termasuk menunda lepas landas atau mendarat jika melihat burung di landasan pacu sebelum terlambat.
Megathrust Bisa Meledak Kapan Saja, Tas Ini Bisa Jadi Penentu Hidup dan Mati Anda
Source | : | tempo.co,ResearchGate,The Conversation,Wiley Online Library |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR