Nationalgeographic.co.id—Sebuah klaim yang telah beredar luas selama bertahun-tahun, yakni bahwa 80% keanekaragaman hayati dunia berada di bawah perlindungan masyarakat adat, ternyata tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Klaim ini telah muncul dalam berbagai konteks, mulai dari negosiasi tingkat tinggi di PBB hingga spanduk demonstrasi dan bahkan dalam makalah ilmiah yang telah ditinjau oleh para ahli. Bahkan sutradara terkenal, James Cameron, turut mengutip klaim ini saat mempromosikan filmnya, Avatar.
Namun, setelah diteliti lebih mendalam oleh para ilmuwan, klaim ini terungkap sebagai sebuah "statistik tanpa dasar". Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Nature pada bulan September 2024 menyimpulkan bahwa tidak ada data empiris yang mendukung angka 80% tersebut.
Studi tersebut menyatakan bahwa masyarakat adat memang memainkan "peran penting" dalam melestarikan keanekaragaman hayati, tetapi klaim 80% tersebut "salah" dan berisiko merusak kredibilitas mereka.
Konsep keanekaragaman hayati sulit diukur akurat
Studi yang melibatkan 13 penulis, termasuk tiga ilmuwan dari komunitas adat, membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk diselesaikan. Hasil penelitian ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana sebuah klaim yang tidak berdasar bisa begitu mudah diterima dan tersebar luas?
Álvaro Fernández-Llamazares, seorang etnobiolog dari Universitat Autònoma de Barcelona dan salah satu penulis studi tersebut, mengungkapkan keheranannya.
"Klaim ini telah dikutip dalam lebih dari 180 publikasi ilmiah, termasuk dalam laporan kebijakan dan berita dari berbagai media terkemuka," ujarnya, seperti dilansir laman The Guardian.
Ia menekankan bahwa para peneliti tidak bermaksud menyalahkan pihak-pihak yang telah mengutip klaim tersebut, melainkan ingin memahami bagaimana sebuah angka yang tidak akurat bisa bertahan begitu lama tanpa adanya tantangan yang berarti.
Untuk menyelidiki asal-usul klaim 80%, para ilmuwan melakukan penelusuran yang ekstensif terhadap literatur ilmiah selama beberapa dekade. Namun, mereka tidak menemukan data kuantitatif yang mendukung angka tersebut.
Sebaliknya, klaim ini tampaknya berasal dari laporan-laporan yang diterbitkan oleh PBB dan Bank Dunia pada awal tahun 2000-an. Laporan-laporan ini kemudian mengutip sebuah artikel ensiklopedia tentang wilayah ekologi yang dihuni oleh masyarakat adat, serta sebuah studi kasus yang terbatas pada beberapa suku adat di Filipina.
Baca Juga: Narasi Sakral Masyarakat Adat, Penjaga Harapan di Tengah Kegelapan
Para peneliti berpendapat bahwa klaim 80% ini seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan sejak awal. Konsep keanekaragaman hayati sendiri sangat kompleks dan sulit diukur secara akurat. Jutaan spesies belum teridentifikasi, dan batas-batas antara spesies seringkali masih diperdebatkan.
Oleh karena itu, sangat sulit untuk membuat perhitungan yang akurat mengenai proporsi keanekaragaman hayati yang berada di bawah pengelolaan masyarakat adat.
"Klaim 80% didasarkan pada dua asumsi: bahwa keanekaragaman hayati dapat dibagi menjadi unit yang dapat dihitung, dan bahwa unit-unit ini dapat dipetakan secara spasial di tingkat global. Tidak ada prestasi seperti itu yang mungkin," tulis para penulis di Nature.
"Kita tidak jujur pada diri kita sendiri"
Bidang keanekaragaman hayati, meskipun didominasi oleh angka-angka yang tampak presisi, seringkali dihadapkan pada tantangan yang signifikan. Hal ini terutama berlaku dalam konteks spesies yang kurang dipahami seperti gajah Afrika, di mana perubahan ekosistem yang cepat dan keterbatasan data membuat perhitungan populasi menjadi tugas yang kompleks.
"Kita tidak jujur pada diri kita sendiri di dalam jajaran kita sendiri," kata Matthias Glaubrecht, seorang profesor di Leibniz Institute for the Analysis of Biodiversity Change di Hamburg.
"Biologi adalah ilmu yang kotor, sehingga untuk berbicara: angka di sini adalah konstruksi tambahan untuk membuktikan suatu kasus, tetapi selalu disertai dengan tanda tanya besar."
Gajah Afrika, sebagai salah satu ikon satwa liar, sering dijadikan simbol kepunahan massal.
Angka-angka yang sering kita dengar, seperti penurunan populasi dari 26 juta pada awal abad ke-20 menjadi hanya setengah juta saat ini, telah menjadi narasi yang umum. Angka-angka ini bahkan dikutip oleh platform data populer seperti Our World in Data, organisasi non-profit, dan media massa.
Namun, jika kita merenungkan angka 26 juta, yang berarti hampir satu gajah untuk setiap kilometer persegi di seluruh benua Afrika, kita akan segera menyadari betapa tidak realistisnya angka tersebut. Variasi habitat yang sangat besar di Afrika membuat distribusi gajah yang merata di seluruh benua menjadi sangat tidak mungkin.
Asal-usul angka 26 juta ini dapat ditelusuri kembali ke sebuah tesis PhD pada awal 1990-an yang ditulis oleh Eleanor Jane Milner-Gulland. Dalam konteks perdebatan sengit mengenai larangan perdagangan gading, Milner-Gulland berusaha untuk memperkirakan dampak perburuan terhadap populasi gajah.
Baca Juga: Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Karena data penghitungan gajah yang akurat pada masa itu sangat terbatas, ia membangun sebuah model statistik. Dengan mengasumsikan bahwa populasi gajah pada masa lalu tersebar merata di seluruh habitat yang sesuai, ia kemudian memperkirakan jumlah total gajah di Afrika pada awal abad ke-19 berkisar antara 13,5 juta hingga 26,9 juta.
"Asumsi penelitian ini salah," kata Chris Thouless, direktur penelitian untuk Save the Elephants di Kenya: "Penelitian ini ditulis dengan anggapan bahwa hampir tidak ada orang yang tinggal di Afrika."
Thouless berpendapat bahwa asumsi bahwa populasi manusia di Afrika pada masa lalu sangat rendah adalah tidak berdasar. Ia menyarankan bahwa jumlah gajah pada awal abad ke-19 kemungkinan hanya berkisar dalam beberapa juta, bukan puluhan juta.
Setelah diteliti lebih lanjut, Our World in Data telah menghapus angka-angka tersebut dari platform mereka. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan data yang sering dikutip dan dianggap sebagai fakta yang sudah mapan pun dapat berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita tentang suatu topik.
Mendapat kritik keras
Membangun model statistik untuk merekonstruksi dunia yang telah kita ubah secara drastis merupakan upaya yang lazim dalam berbagai bidang studi. Namun, kompleksitas tugas ini seringkali menjadi tantangan besar.
Erle Ellis dari Universitas Maryland, seorang ahli dalam bidang ini, menggambarkan upaya merekonstruksi penggunaan lahan historis sebagai "bisnis yang sangat berantakan", terutama jika dilakukan dalam skala global.
Ellis dan rekan-rekannya bekerja dengan model yang menjangkau hingga 12.000 tahun lalu, di mana perubahan sekecil apa pun dalam satu parameter, yang mungkin didasarkan pada temuan arkeologi, dapat mengubah seluruh gambaran suatu wilayah.
"Ada banyak model yang mencoba untuk mengukur hilangnya habitat dan dampaknya terhadap berbagai spesies," ujar Ellis. "Namun, apakah ada model yang benar-benar akurat dan dapat diandalkan untuk melakukan hal ini? Saya ragu."
Meskipun data yang akurat sangat krusial dalam menghadapi krisis lingkungan, kritik terhadap statistik yang tidak memadai seringkali dianggap sebagai serangan terhadap upaya konservasi secara keseluruhan.
Artikel yang diterbitkan di jurnal Nature, yang mengklaim bahwa 80% keanekaragaman hayati telah hilang, membutuhkan waktu lima tahun untuk diselesaikan. Hal ini menunjukkan betapa sensitifnya topik ini dan seberapa mudahnya data dapat disalahgunakan untuk tujuan politik.
Para penulis artikel tersebut khawatir bahwa klaim sebesar 80% dapat mengaburkan hasil penelitian yang lebih cermat dan menghambat upaya konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat di berbagai belahan dunia.
Namun, setelah artikel tersebut diterbitkan, para penulis menghadapi kritik yang sangat pedas.
"Tanggapan di sini di Meksiko sangat kuat ... sangat kasar. Seseorang mengatakan kepada saya bahwa ini adalah panggilan untuk perang," kata Yesenia H Márquez, salah satu penulis artikel tersebut dan anggota kelompok ahli tentang pengetahuan masyarakat adat dan lokal di Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (Ipbes) PBB.
"Tapi saya pikir tidak masalah untuk mempromosikan makalah ini," katanya. "Kami tahu wilayah kami. Kami tahu semua keanekaragaman hayati yang kami miliki."
KOMENTAR