Nationalgeographic.co.id—Mengubah hutan menjadi perkebunan sawit monokultur memiliki sejumlah dampak signifikan terhadap manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Dampak tersebut terutama terlihat pada keanekaragaman hayati di ekosistem tropis, terutama melalui hilangnya habitat dan penyederhanaan ekosistem.
Peneliti utama Jochen Drescher dari Departemen Ekologi Hewan, Universitas Göttingen, Jerman, dalam Ecological and Socio-economic Functions Across Tropical Land Use Systems After
Rainforest Conversion mengungkap dampak konversi dari hutan ke perkebunan monokultur di Provinsi Jambi. Dalam penelitiannya tahun 2016 yang terbit di The Royal Society tersebut, ia meyebutkan bahwa konversi hutan menyebabkan kehilangan besar keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi ekosistem, yang dapat mengancam kesejahteraan manusia dalam jangka panjang.
"Setelah tiga tahun pengukuran, data dari plot inti dan survei sosial-ekonomi menunjukkan perbedaan mencolok antara empat jenis sistem penggunaan lahan: hutan hujan, karet hutan (jungle rubber), monokultur karet, dan kelapa sawit," tulisnya.
Mikroklimat, struktur vegetasi, keanekaragaman hayati, dan aliran karbon menunjukkan perubahan signifikan, di mana hutan hujan memiliki kondisi terbaik, sementara karet hutan berada di posisi menengah.
Hutan hujan memiliki suhu udara yang lebih rendah dan kelembapan lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Hal ini sejalan dengan kanopi hutan yang lebih lebat, yang memberikan perlindungan alami terhadap panas.
Jatuhan serasah (litterfall) paling rendah ditemukan di monokultur karet, sementara hutan hujan memiliki stok karbon tertinggi dalam lapisan serasahnya. Pada perkebunan kelapa sawit, serasah tidak jatuh secara alami. Sebaliknya, daun dipotong selama panen dan ditumpuk di antara barisan pohon.
Distribusi serasah yang tidak merata ini menjelaskan perbedaan antara jumlah serasah daun yang tinggi tetapi karbon serasah yang rendah, karena tumpukan daun tidak diukur secara khusus.
Penurunan jumlah serasah dari hutan hujan ke karet hutan, kemudian ke perkebunan karet dan kelapa sawit, berdampak pada penurunan kekayaan spesies, kepadatan, dan biomassa invertebrata serasah daun. Hal ini menyebabkan berkurangnya aliran energi hingga 51% dari ekosistem hutan hujan ke perkebunan kelapa sawit.
Hutan hujan juga menyimpan karbon biomassa pohon, baik di atas maupun di bawah tanah, hingga lebih dari dua kali lipat dibandingkan karet hutan dan lebih dari empat kali lipat dibandingkan monokultur karet atau kelapa sawit. Kekayaan spesies dalam sistem pertanian jauh lebih rendah dibandingkan hutan hujan, terutama pada tumbuhan vaskular. Hutan hujan memiliki hampir enam kali lipat jumlah spesies dibandingkan monokultur.
"Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keanekaragaman tumbuhan dapat menjadi indikator kuat keanekaragaman arthropoda di wilayah tropis, dan data kami mendukung hal ini," ungkap Drescher.
"Kekayaan spesies konsumen di atas tanah, seperti semut kanopi, hampir dua kali lipat lebih tinggi di hutan hujan dibandingkan ekosistem yang telah dikonversi," lanjutnya.
Baca Juga: Kenapa Kita Terus Membiarkan Hutan Indonesia Hilang demi Kelapa Sawit?
Baik pada tumbuhan vaskular maupun semut kanopi, terdapat pergeseran mencolok dari komunitas yang didominasi spesies asli di hutan hujan dan karet hutan menjadi komunitas yang didominasi spesies introduksi di perkebunan karet dan kelapa sawit. Sementara itu, kekayaan spesies konsumen bawah tanah, seperti tungau oribatid, juga menurun dari hutan hujan ke sistem penggunaan lahan lainnya, meskipun tidak sejelas pada konsumen atas tanah.
"Ketiga sistem pertanian—karet hutan, perkebunan karet, dan perkebunan kelapa sawit—menunjukkan perbedaan signifikan dalam aspek sosial-ekonomi," tegasnya.
Perkebunan kelapa sawit membutuhkan tenaga kerja yang jauh lebih sedikit per hektar dibandingkan karet hutan atau monokultur karet. Namun, margin keuntungan kotor per unit lahan pada kelapa sawit lebih rendah dibandingkan monokultur karet.
Sebaliknya, margin keuntungan kotor per unit tenaga kerja tertinggi justru ditemukan pada kelapa sawit. Oleh karena itu, petani yang kekurangan tenaga kerja cenderung memilih kelapa sawit, sementara petani dengan keterbatasan lahan lebih memilih menanam karet.
Menariknya, karet hutan memiliki margin keuntungan kotor per unit tenaga kerja yang sebanding dengan monokultur karet, meskipun lebih rendah dari kelapa sawit. Namun, per unit lahan, hutan karet kurang kompetitif dibandingkan monokultur karet, sehingga mendorong transformasi karet hutan menjadi perkebunan monokultur.
Pada tahun 2012, sekitar 50% lahan di desa-desa yang disurvei digunakan untuk karet, baik dalam bentuk karet hutan maupun perkebunan monokultur. Sementara itu, 12 persen lahan digunakan untuk kelapa sawit, meningkat dari 5 persen pada sepuluh tahun sebelumnya, dengan pertumbuhan total sebesar 8,5 persen di seluruh wilayah studi selama periode tersebut.
Sisanya, sebagian besar lahan desa terdiri dari hutan hujan (17 persen) dengan berbagai tingkat degradasi atau lahan bera (15 persen). Lahan bera sering kali merupakan lahan yang terdegradasi, didominasi semak-semak setelah penebangan total untuk persiapan pertanian.
Sebagian besar perkebunan dan lahan bera ini dimiliki serta dikelola oleh rumah tangga petani kecil. Sebaliknya, hutan hujan dalam batas desa biasanya dikelola oleh negara dan hanya sesekali oleh komunitas lokal.
"Petani kecil di Provinsi Jambi jarang menanam tanaman pangan, kecuali di desa-desa yang dekat dengan pusat perkotaan," papar Drescher. Survei sosial-ekonomi menunjukkan bahwa transformasi sistem penggunaan lahan, selain kelapa sawit, mulai terjadi di kalangan migran pada akhir 1980-an.
Penduduk lokal sendiri baru mulai terlibat dalam budidaya kelapa sawit sejak pertengahan 1990-an. Wawancara studi kasus mengungkapkan bahwa perubahan penggunaan lahan di Jambi didorong oleh lapisan hak atas tanah yang kompleks, baik dari masa lalu maupun saat ini. Hal ini memicu kontroversi terkait pemanfaatan lahan, eksploitasi sumber daya, dan dampak sosial-ekonomi yang dihasilkan.
Pendorong utama perubahan penggunaan lahan ini meliputi investasi swasta dan publik, skema pembangunan pemerintah (seperti program untuk migran), serta kebijakan nasional terkait eksploitasi sumber daya. Semua ini diperkuat oleh tingginya permintaan internasional terhadap komoditas agraria seperti karet dan minyak sawit.
Baca Juga: Teknologi 'Kuno' Ini Bisa Jadi Solusi Masalah Kelapa Sawit Dunia
Temuan awal dari penelitian ini menunjukkan bahwa konversi hutan hujan menjadi perkebunan monokultur karet dan kelapa sawit menyebabkan kerugian besar pada keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan, penurunan signifikan cadangan karbon di atas dan bawah tanah, serta perubahan drastis pada kondisi mikroklimatik.
Studi mendalam lebih lanjut menunjukkan bahwa proses konversi ini juga berdampak negatif dengan mengurangi aliran energi, menurunkan kesuburan tanah, dan meningkatkan risiko erosi tanah. Walaupun demikian, banyak petani kecil merasakan manfaat ekonomi yang signifikan dari hasil yang lebih tinggi di perkebunan kelapa sawit dan karet. Hal ini menjelaskan mengapa pertumbuhan populasi pedesaan terus mendorong deforestasi di wilayah tersebut.
"Namun, manfaat ekonomi ini terutama dirasakan oleh pemilik lahan, sementara masyarakat tanpa lahan sering kali dirugikan. Mereka menghadapi tantangan seperti kenaikan harga pangan akibat intensifikasi penggunaan lahan untuk tanaman monokultur bernilai komersial" simpul Drescher.
Baca Juga: Penuh Kontroversi, Bisakah Kita Memilih Berhenti Gunakan Kelapa Sawit?
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR