Nationalgeographic.co.id—Sejak manusia pertama kali menginjakkan kaki di luar angkasa, ribuan satelit dan roket telah diluncurkan ke orbit Bumi. Misi-misi ambisius ini telah membawa kemajuan pesat dalam berbagai bidang, dari penelitian ilmiah hingga komunikasi global.
Satelit-satelit tersebut memungkinkan kita mengamati alam semesta, memprediksi cuaca, dan menikmati berbagai layanan seperti internet berkecepatan tinggi, GPS, dan siaran televisi.
Namun, di balik manfaatnya yang luar biasa, aktivitas luar angkasa yang semakin intens juga menimbulkan tantangan serius, salah satunya adalah masalah sampah antariksa.
Sampah antariksa mencakup berbagai jenis objek buatan manusia yang mengorbit Bumi, mulai dari satelit yang sudah tidak berfungsi hingga pecahan roket, baut, dan cat pelapis.
Keberadaan sampah-sampah tersebut berkontribusi terhadap lingkungan orbit yang semakin padat, yang pada akhirnya dapat memicu skenario bencana yang dikenal sebagai Sindrom Kessler.
Sebuah skenario yang diprediksi akan meningkatkan risiko terjadinya tabrakan antar objek, yang dapat menghasilkan lebih banyak puing-puing dan memperparah masalah.
Apa itu Sindrom Kessler?
Dinamakan berdasarkan ilmuwan NASA Donald Kessler, seperti dilansir Times of India, Sindrom Kessler menggambarkan sebuah bencana kosmik di mana puing-puing luar angkasa saling bertabrakan dan menciptakan reaksi berantai yang tak terkendali.
Pada tahun 1978, Kessler memperingatkan bahwa jika kita terus membuang sampah ke luar angkasa tanpa pengelolaan yang baik, suatu saat akan tiba di mana orbit Bumi akan begitu padat sehingga setiap tabrakan akan memicu ribuan pecahan baru.
Pecahan-pecahan ini, bergerak dengan kecepatan hingga puluhan ribu kilometer per jam, akan mengancam keberadaan satelit, stasiun ruang angkasa, dan bahkan pesawat ulang-alik.
Bayangkan jika satelit komunikasi yang menopang jaringan internet global hancur berantakan. Atau jika sistem GPS yang kita gunakan sehari-hari tiba-tiba mati.
Baca Juga: Bola Logam Misterius Ditemukan di Meksiko Setelah 'Jatuh Dari Langit'
Meskipun skenario ini bersifat teoretis, risikonya nyata dan terus meningkat. Ruang angkasa telah menjadi semakin padat akibat peningkatan peluncuran satelit, tabrakan yang tidak disengaja, dan penghancuran objek luar angkasa secara sengaja.
Para ahli memperingatkan bahwa bahkan potongan kecil puing, yang bergerak dengan kecepatan tinggi, dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
Para ahli juga khawatir bahwa kita telah memasuki tahap awal dari Sindrom Kessler. Jika tidak segera ditangani, ancaman ini dapat membuat eksplorasi ruang angkasa menjadi semakin sulit dan mahal, bahkan mungkin mustahil dilakukan.
Ketergantungan kita pada teknologi berbasis satelit juga akan terancam, sehingga berdampak pada berbagai aspek kehidupan di Bumi.
Sampah luar angkasa: Pengertian dan ancamannya
Orbit Bumi, yang selama ini kita bayangkan sebagai ruang hampa yang sunyi, ternyata menyimpan ancaman serius. Sampah luar angkasa, sisa-sisa aktivitas manusia di luar angkasa, telah menumpuk dalam jumlah yang mengkhawatirkan.
Bagian-bagian roket yang telah habis bahan bakar, satelit-satelit mati yang tak lagi berfungsi, hingga serpihan sekecil cat yang terlepas dari pesawat ruang angkasa, semuanya berkontribusi pada permasalahan ini.
Sejak peluncuran Sputnik 1 pada tahun 1957, manusia telah mengirimkan ribuan objek ke luar angkasa. Sayangnya, tidak semua objek ini memiliki masa pakai yang panjang atau dirancang untuk kembali ke Bumi.
Akibatnya, mereka terjebak dalam orbit Bumi dan menjadi sampah antariksa. Badan Antariksa Eropa mencatat lebih dari 650 peristiwa pemecahan, ledakan, dan tabrakan yang telah menyebabkan peningkatan jumlah sampah luar angkasa.
Dalam beberapa dekade terakhir, aktivitas peluncuran satelit yang semakin intensif, ditambah dengan beberapa insiden ledakan roket dan uji coba senjata di luar angkasa, telah memperparah situasi.
Hingga September 2024, diperkirakan lebih dari 13.000 ton material buatan manusia masih mengorbit Bumi. Angka ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah peluncuran.
Baca Juga: Sampah Luar Angkasa Bisa Merusak Satelit dan Membunuh Astronaut
Data dari Jaringan Pengawasan Luar Angkasa AS menunjukkan bahwa dari 19.590 satelit yang diluncurkan sejak tahun 1957, sekitar 13.230 di antaranya masih berada di orbit.
Meskipun demikian, hanya sekitar 10.200 satelit yang masih aktif beroperasi. Sisanya adalah satelit-satelit mati yang menjadi sampah antariksa.
Bahaya sampah luar angkasa tidak dapat dianggap remeh. Bahkan sebuah partikel kecil seperti serpihan cat yang melayang dengan kecepatan tinggi di luar angkasa dapat memiliki energi kinetik yang sangat besar sehingga mampu menembus logam.
Bayangkan jika sebuah satelit aktif atau pesawat ruang angkasa bertabrakan dengan salah satu puing-puing tersebut. Konsekuensinya bisa sangat fatal, mulai dari kerusakan peralatan hingga hilangnya nyawa.
Upaya penanganan sampah luar angkasa
Salah satu cara untuk menghindari Sindrom Kessler dan mencegah risiko tabrakan adalah dengan membersihkan sedikit sampah luar angkasa.
Untuk mencegah skenario terburuk ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan rekomendasi agar semua satelit dinonaktifkan dan dikeluarkan dari orbit dalam jangka waktu 25 tahun setelah menyelesaikan misinya.
Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi berbagai tantangan, terutama karena kegagalan teknis satelit dapat terjadi secara tak terduga dan di luar kendali operator.
Berbagai solusi inovatif telah diajukan untuk mengatasi masalah ini. Salah satu pendekatan yang menarik adalah penggunaan teknologi seperti harpun, jaring, magnet, atau laser untuk menangkap satelit mati dan menariknya kembali ke atmosfer Bumi.
Metode ini, meskipun menjanjikan, lebih efektif untuk objek berukuran besar dan kurang efisien untuk puing-puing kecil seperti serpihan cat atau logam.
Teknologi lain yang patut diperhatikan adalah Drag Augmentation Deorbiting Subsystem (ADEO), hasil kolaborasi antara Badan Antariksa Eropa dan HPS GmbH.
ADEO dirancang untuk meningkatkan hambatan atmosfer satelit sehingga secara bertahap jatuh kembali ke Bumi. Prototipe ADEO telah berhasil diuji pada Desember 2022, namun teknologi ini masih dalam tahap pengembangan dan membutuhkan investasi yang signifikan.
Selain pengembangan teknologi, regulasi internasional juga memegang peran penting dalam pengelolaan sampah luar angkasa. Pakta untuk Masa Depan PBB telah membuka ruang diskusi mengenai isu sampah luar angkasa dan lalu lintas antariksa. Namun, mekanisme penegakan yang efektif masih perlu terus dikembangkan.
Para ahli kebijakan luar angkasa menyarankan perlunya undang-undang nasional yang tegas untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku industri antariksa.
Amerika Serikat, sebagai negara dengan program antariksa yang maju, memiliki potensi besar untuk mengambil inisiatif dalam merumuskan kerangka kerja regulasi yang komprehensif.
KOMENTAR