Nationalgeographic.grid.id—Sebuah lukisan menyiratkan keindahan pesona alam Nusantara. Di hampir pelosok Jawa, lukisan-lukisan itu telah berhasil menarik hasrat wisatawan untuk mengenal tanah Hindia sejak lama.
Lukisannya masih terpampang dan dapat ditemui hari ini. Di banyak platform digital, suasana alam Jawa di zaman Kolonial Belanda terekam dengan elok. Seorang bernama Junghuhn adalah seniman di balik lukisan-lukisan indah itu.
Seniman bernama lengkap Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn sejatinya merupakan seorang ahli botani dan geolog kelahiran Jerman-Belanda. Ia lahir di Mansfeld, Jerman pada 26 Oktober 1809.
Pada usia remaja, saat dia masih menjadi mahasiswa kedokteran di Halle dan Berlin dari tahun 1827 hingga 1831, Junghuhn diketahui pernah mengalami depresi dan berniat untuk mengakhiri hidupnya. Beruntung, dia masih bertahan.
Ia juga sempat terlibat perkelahian karena lawannya merendahkan kehormatannya. Bahkan, lawan duelnya sampai meregang nyawa. Junghuhn melarikan diri dengan bergabung dengan tentara Prusia sebagai dokter bedah.
Namun, pelariannya itu diketahui pihak berwajib hingga ia dijatuhi hukuman kurungan sepuluh tahun penjara. J.P. Poley merangkum jejak kehidupan awal Junghuhn dalam bukunya Eroica : The Quest for Oil in Indonesia (1850-1898), terbitan tahun 2000.
Dengan akal-akalannya, ia berpura-pura menjadi gila demi berhasil melarikan diri pada tahun 1833. Dan, pertemuannya dengan Christiaan Hendrik Persoon telah mengubah hidupnya.
Persoon memberi Junghuhn saran untuk terlibat dalam tentara kolonial Belanda di Hindia sebagai dokter medis kemiliteran. Ia pun mendengarkan saran Persoon dan berangkat meninggalkan Eropa hingga tiba di Batavia pada 13 Oktober 1835.
Setibanya di Jawa, Junghuhn menetap di sana selama bertahun-tahun dan memilih jalannya untuk mengeksplorasi pelosok Jawa dan menemukan keindahan di dalamnya. Ia melakukan beberapa riset, termasuk studi ekstensif tentang tanah dan orang-orangnya.
Ia menemukan danau kawah Kawah Putih di selatan Bandung pada tahun 1837. Junghuhn menerbitkan secara ekstensif berbagai ekspedisinya yang penuh petualangan dan analisis ilmiahnya.
Baca Juga: Memprihatinkan, Kondisi Taman Junghuhn Saat Ini
Menariknya, Junghuhn juga terampil dalam melukis. Sejauh ini, tidak pernah ada bukti empirik yang menjelaskan dari mana Junghuhn melatih keterampilan melukisnya. Besar dugaan bahwa sekolah kedokterannya di Jerman itulah yang melatihnya melukis.
Studi kedokteran di Jerman mendorong para mahasiswanya untuk mendokumentasikan spesimen tumbuhan, hewan, bahkan struktur anatomi melalui penggambaran. Saat itu belum diketahui adanya teknologi yang dapat mendokumentasikan gambar tentang itu.
Inilah yang jadi dugaan bahwa Junghuhn semakin terlatih untuk mendokumentasikan apa yang dikaji dan diamati melalui bakat melukisnya. Berbagai karya litografinya memanjakan mata.
Gunung menjulang dengan rona hijau bersanding birunya langit, potret lukisan Tjandi Seboe (Candi Sewu, Prambanan) di antara reruntuhannya, atau pegunungan Dieng Plateau dengan candinya yang kekar di antara orang berkuda, memberikan jejak dokumentasi yang bernilai, tak terhingga.
Franz Junghuhn melakoni perjalanan dinasnya dengan Dr. E. A. Fritze, seorang yang menjabat direktur dinas kesehatan di Hindia Belanda kala itu, untuk menjelajahi seluruh pulau Jawa. Mereka mendaki hampir segala gunung api di sana.
Selama beravontur, Junghuhn membawa perangkat lukisnya. Sebagaimana ketika ia menjalani sekolah kedokteran di Jerman, ia mendokumentasikan apa yang ia lihat untuk digurat pada kanvasnya.
Lebih jauh lagi, yang mengesankan dari sekadar peneliti dan penulis, Junghuhn tidak hanya menggambarkan objek kajiannya secara deskriptif, melainkan digambarkan melalui karya-karya naturalis yang memikat mata.
Di antara karya-karyanya adalah deskripsi penting dan sejarah alam dalam banyak volume gunung berapi di Jawa, Bijdragen tot de geschiedenis der vulkanen in den Indischen Archipel (1843).
Pada tahun 1849, kesehatan Junghuhn yang memburuk telah memaksanya kembali ke Belanda. Kembalinya ke Eropa juga sekaligus untuk menikahi Johanna Louisa Frederika Koch pada tanggal 23 Januari 1850. Pernikahannya dikaruniai seorang putra.
Setelah sembuh dari penyakitnya, Junghuhn memutuskan kembali ke Jawa pada tahun 1855. Kembalinya ke Jawa memunculkan ketertarikan baru pada botani dan aplikasi praktisnya.
Baca Juga: Memprihatinkan, Kondisi Taman Junghuhn Saat Ini
Kembalinya ke Jawa juga telah menandai seorang Junghuhn yang baru: sebagai seorang naturalis kelas dunia. Ia bahkan mendapatkan beberapa penghargaan dan tergabung dalam anggota sejumlah lembaga ilmiah internasional.
Dalam kesempatan keduanya di Jawa ini, Junghuhn mendapat tugas untuk mengelola perkebunan cinchona atau kina. Ia berupaya memindah perkebunan cinchona ke daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan.
Pada saat itu, upayanya belum berhasil. Barulah, proyek perkebunan cinchona baru menjadi sukses beberapa tahun sesudah Junghuhn meninggal. Bahkan, sepatutnya ia dianggap perintis perkebunan cinchona di Pulau Jawa.
Pada akhir tahun 1861, Franz Wilhelm Junghuhn terkena infeksi penyakit hati dan sejak waktu itu penyakitnya tidak dapat disembuhkan lagi. Ia wafat pada tanggal 24 April 1864 dalam usia 54 tahun di rumahnya di Lembang.
Makamnya terdapat di kaki Gunung Tangkuban Perahu di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dalam sebuah taman yang ditumbuhi Cinchona succirubra maupun C. ledgeriana.
Mengingat Gaydar, Studi Kontroversial yang Mampu Deteksi Orientasi Seksual Lewat AI
Source | : | Eroica (2000) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR