Kota Bandung yang galibnya berudara sejuk di musim hujan ini semakin terasa dingin. Namun, saya, yang hendak melacak jejak Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis kelahiran Jerman, pemerhati botani, geologi, biologi, dan geografi tanah Jawa yang begitu fanatik, mau tidak mau harus mendatangi kota ini. Di Bandung, nama Junghuhn disejajarkan dengan raksasa-raksasa dunia akademis internasional seperti Eijkman, Pasteur, Bosscha, Ehrlich, Otten, Westhoff, yang diabadikan sebagai nama jalan--meski banyak penduduknya telah melupakan.
!break!
Saya ditemani Juli Hantoro, wartawan harian Koran Tempo yang sehari-hari bertugas di kawasan ini, untuk berkunjung ke satu pabrik kina di sana, lantas ke Pangalengan. Sampai pada saat itu saya--sejujurnya--masih belum memahami betul seluruh ketokohannya. "Dia itu pahlawan kina," kata Juli. Saya tersenyum. Akan tetapi sepertinya dia belum selesai. Ditunjukkannya saya buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto yang sohor sebagai "bapak Bandung tempo dulu".
Ia membuka dan membacakan bagian yang menyebut Junghuhn bukan saja salah satu dari "tiga orang Eropa yang ikut 'babat alas' Tatar Ukur, yang sekarang dikenal sebagai wilayah Kabupaten Bandung, melainkan juga orang yang berhasil mengangkat nama Bandung sebagai gudang penghasil bubuk kina yang utama di dunia."
RIWAYAT PERINTISAN PEMBUDIDAYAAN kina di Hindia Belanda memang merupakan salah satu batu ujian terbesar dan paling menantang dalam sejarah karier Junghuhn sebagai ilmuwan. Tiada masa di mana Junghuhn dipaksa begitu rupa untuk mengeluarkan hampir seluruh keunggulannya sebagai naturalis dalam arti seluas-luasnya selain masa-masa saat dia berkutat dengan kina. Mungkin hal itu pula yang membuat para penyusun kurikulum sekolah dasar mencantumkan Junghuhn sebagai "penemu kina" dalam buku-buku pelajaran, meski itu--tentu saja--tidak benar.
Junghuhn memang mengerahkan segala ilmunya ketika ia mulai menolak pemilihan daerah Cipanas, Cibeureum, Kandang Badak dan terutama perkebunan stroberi Gubernur Jenderal di Cibodas sebagai tempat pembudidayaan kina oleh Teijsmann, hortulanus (kurator tanaman) kebun raya negara di Buitenzorg (sekarang Bogor) yang ditunjuk pemerintah mulai April 1852 sebagai direktur budidaya kina yang pertama.
!break!
Van Gorkom, pengganti Junghuhn sebagai direktur perkebunan kina pemerintah kolonial di Jawa dan editor Oost-Indische Cultures, mengungkapkan bagaimana Junghuhn menyusun penolakannya itu dengan membuat pengkajian fisiognomi yang luar biasa tentang lanskap dan vegetasi. Junghuhn menjelaskan sistem zona elevasi dengan spesies-spesies khas untuk tiap zona vegetasi lingkungan, dan menyimpulkan bahwa Teijsmann keliru dalam memahami ekologi tumbuhan kina.
Menurut Junghuhn, kina memerlukan daerah pegunungan tinggi yang paling mirip dalam hal iklim dan vegetasi dengan daerah alaminya yang asli, sehingga tanaman yang dibawa dari Amerika selatan itu merasa ada di rumahnya sendiri.
Junghuhn melihat Cipanas, Cibodas, Cibeureum, serta Kandang Badak yang masing-masing memiliki ketinggian 1.100, 1.370, 1.600, dan 2.500meter di atas permukaan laut bukanlah rumah yang cocok untuk kina. Junghuhn tahu betul dan ia menunjuk daerah Pegunungan Malabar, di Pangalengan. Inilah daerah yang dianggap benar-benar memiliki kemiripan dengan daerah asal kina. Junghuhn meyakinkan bahwa dengan memindahkan perkebunan kina ke daerah tersebut pohon kina akan mengalami naturalisasi dan bukan sekadar aklimatisasi yang sifatnya sementara.
Secara khusus, Junghuhn pun menelaahnya dari segi ilmu tanah, khususnya edafologi (ilmu tentang kesuburan tanah). Ia menyatakan tentang kondisi tanah kebun utama pembudidayaan di Cibodas yang kurang menguntungkan. Sedangkan dari sudut klimatologi atau studi iklim, Junghuhn menyatakan Cibodas terlalu berangin dan banyak hujan. Secara geologis, diamengatakan bahwa kina selain perlu perlindungan dari angin dan hujan, juga butuh perlindungan dari bahaya yang selalu mengancam dari kawah gunung berapi yang masih aktif.
!break!
Junghuhn juga mendakwa perkebunan kina di Cibodas telah mendorong penggundulan hutan terus-menerus di kawasan Gunung Gede,yang merusak nilai utama hutan sebagai pemelihara keseimbangan hidrologi. Dia memang dikenal berkeyakinan dan tak jemu-jemu mengampanyekan bahaya pembiaran penebangan hutan di atas elevasi 488 meter di atas permukaan laut.
Untuk mempertahankan argumentasinya,pria yang juga dikenal sebagai pribadi yang nyeleneh ini tak segan-segan bertikai dan mencela Teijsmann,yang disebutnya sebagai "profesor sayur" karena "berkeras hati berupaya membuat budidaya kina hanya ada di perkebunan-perkebunan Cibodas." Meskipun akhirnya Teijsmann dan seluruh tim peneliti yang terlibat dalam proyek Cibodas dapat menerima bahwa tanah dan iklim di deretan pegunungan sempit di antara bagian barat laut pegunungan Gede itu tidak cocok, tetapi dalam kilas balik sejarah ilmu pengetahuan alam di Hindia Belanda, banyak pengamat melihat itu sebagai hal yang menganggu--kalau tidak dapat dikatakan cacat--dalambiografi Junghuhn sebagai sosok besar.
Akan tetapi, melihat situasi zaman itu, sikap seperti itu agaknya bisa dimaklumi. Saat itu dunia dikejutkan oleh ancaman mogoknya pasokan kina dari negara induknya di Peru, Amerika Selatan. Eksploitasi tidak terkendali membuat pohon kina yang hanya hidup di lereng pegunungan Andes terjerembap ke ambang kepunahan: Ditebangi namun tanpa upaya penanaman kembali.
Padahal, kulit kina itulah obat satu-satunya penyakit kuning atau malaria yang ketika itu tengah menjadi masalah internasional yang membuat semua orang khawatir. Mulai 1820, kina diproduksi oleh pabrik-pabrik di Eropa. Permintaan terus meningkat seiring membanjirnya orang kulit putih ke wilayah tropis. Para kolonialis pun bersepakat. Demi mencegah kelangkaan produksi kina, mereka perlu memboyong kina ke negara-negara jajahan di wilayah tropis.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR