Kota Bandung yang galibnya berudara sejuk di musim hujan ini semakin terasa dingin. Namun, saya, yang hendak melacak jejak Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis kelahiran Jerman, pemerhati botani, geologi, biologi, dan geografi tanah Jawa yang begitu fanatik, mau tidak mau harus mendatangi kota ini. Di Bandung, nama Junghuhn disejajarkan dengan raksasa-raksasa dunia akademis internasional seperti Eijkman, Pasteur, Bosscha, Ehrlich, Otten, Westhoff, yang diabadikan sebagai nama jalan--meski banyak penduduknya telah melupakan.
!break!
Saya ditemani Juli Hantoro, wartawan harian Koran Tempo yang sehari-hari bertugas di kawasan ini, untuk berkunjung ke satu pabrik kina di sana, lantas ke Pangalengan. Sampai pada saat itu saya--sejujurnya--masih belum memahami betul seluruh ketokohannya. "Dia itu pahlawan kina," kata Juli. Saya tersenyum. Akan tetapi sepertinya dia belum selesai. Ditunjukkannya saya buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto yang sohor sebagai "bapak Bandung tempo dulu".
Ia membuka dan membacakan bagian yang menyebut Junghuhn bukan saja salah satu dari "tiga orang Eropa yang ikut 'babat alas' Tatar Ukur, yang sekarang dikenal sebagai wilayah Kabupaten Bandung, melainkan juga orang yang berhasil mengangkat nama Bandung sebagai gudang penghasil bubuk kina yang utama di dunia."
RIWAYAT PERINTISAN PEMBUDIDAYAAN kina di Hindia Belanda memang merupakan salah satu batu ujian terbesar dan paling menantang dalam sejarah karier Junghuhn sebagai ilmuwan. Tiada masa di mana Junghuhn dipaksa begitu rupa untuk mengeluarkan hampir seluruh keunggulannya sebagai naturalis dalam arti seluas-luasnya selain masa-masa saat dia berkutat dengan kina. Mungkin hal itu pula yang membuat para penyusun kurikulum sekolah dasar mencantumkan Junghuhn sebagai "penemu kina" dalam buku-buku pelajaran, meski itu--tentu saja--tidak benar.
Junghuhn memang mengerahkan segala ilmunya ketika ia mulai menolak pemilihan daerah Cipanas, Cibeureum, Kandang Badak dan terutama perkebunan stroberi Gubernur Jenderal di Cibodas sebagai tempat pembudidayaan kina oleh Teijsmann, hortulanus (kurator tanaman) kebun raya negara di Buitenzorg (sekarang Bogor) yang ditunjuk pemerintah mulai April 1852 sebagai direktur budidaya kina yang pertama.
!break!
Van Gorkom, pengganti Junghuhn sebagai direktur perkebunan kina pemerintah kolonial di Jawa dan editor Oost-Indische Cultures, mengungkapkan bagaimana Junghuhn menyusun penolakannya itu dengan membuat pengkajian fisiognomi yang luar biasa tentang lanskap dan vegetasi. Junghuhn menjelaskan sistem zona elevasi dengan spesies-spesies khas untuk tiap zona vegetasi lingkungan, dan menyimpulkan bahwa Teijsmann keliru dalam memahami ekologi tumbuhan kina.
Menurut Junghuhn, kina memerlukan daerah pegunungan tinggi yang paling mirip dalam hal iklim dan vegetasi dengan daerah alaminya yang asli, sehingga tanaman yang dibawa dari Amerika selatan itu merasa ada di rumahnya sendiri.
Junghuhn melihat Cipanas, Cibodas, Cibeureum, serta Kandang Badak yang masing-masing memiliki ketinggian 1.100, 1.370, 1.600, dan 2.500meter di atas permukaan laut bukanlah rumah yang cocok untuk kina. Junghuhn tahu betul dan ia menunjuk daerah Pegunungan Malabar, di Pangalengan. Inilah daerah yang dianggap benar-benar memiliki kemiripan dengan daerah asal kina. Junghuhn meyakinkan bahwa dengan memindahkan perkebunan kina ke daerah tersebut pohon kina akan mengalami naturalisasi dan bukan sekadar aklimatisasi yang sifatnya sementara.
Secara khusus, Junghuhn pun menelaahnya dari segi ilmu tanah, khususnya edafologi (ilmu tentang kesuburan tanah). Ia menyatakan tentang kondisi tanah kebun utama pembudidayaan di Cibodas yang kurang menguntungkan. Sedangkan dari sudut klimatologi atau studi iklim, Junghuhn menyatakan Cibodas terlalu berangin dan banyak hujan. Secara geologis, diamengatakan bahwa kina selain perlu perlindungan dari angin dan hujan, juga butuh perlindungan dari bahaya yang selalu mengancam dari kawah gunung berapi yang masih aktif.
!break!
Junghuhn juga mendakwa perkebunan kina di Cibodas telah mendorong penggundulan hutan terus-menerus di kawasan Gunung Gede,yang merusak nilai utama hutan sebagai pemelihara keseimbangan hidrologi. Dia memang dikenal berkeyakinan dan tak jemu-jemu mengampanyekan bahaya pembiaran penebangan hutan di atas elevasi 488 meter di atas permukaan laut.
Untuk mempertahankan argumentasinya,pria yang juga dikenal sebagai pribadi yang nyeleneh ini tak segan-segan bertikai dan mencela Teijsmann,yang disebutnya sebagai "profesor sayur" karena "berkeras hati berupaya membuat budidaya kina hanya ada di perkebunan-perkebunan Cibodas." Meskipun akhirnya Teijsmann dan seluruh tim peneliti yang terlibat dalam proyek Cibodas dapat menerima bahwa tanah dan iklim di deretan pegunungan sempit di antara bagian barat laut pegunungan Gede itu tidak cocok, tetapi dalam kilas balik sejarah ilmu pengetahuan alam di Hindia Belanda, banyak pengamat melihat itu sebagai hal yang menganggu--kalau tidak dapat dikatakan cacat--dalambiografi Junghuhn sebagai sosok besar.
Akan tetapi, melihat situasi zaman itu, sikap seperti itu agaknya bisa dimaklumi. Saat itu dunia dikejutkan oleh ancaman mogoknya pasokan kina dari negara induknya di Peru, Amerika Selatan. Eksploitasi tidak terkendali membuat pohon kina yang hanya hidup di lereng pegunungan Andes terjerembap ke ambang kepunahan: Ditebangi namun tanpa upaya penanaman kembali.
Padahal, kulit kina itulah obat satu-satunya penyakit kuning atau malaria yang ketika itu tengah menjadi masalah internasional yang membuat semua orang khawatir. Mulai 1820, kina diproduksi oleh pabrik-pabrik di Eropa. Permintaan terus meningkat seiring membanjirnya orang kulit putih ke wilayah tropis. Para kolonialis pun bersepakat. Demi mencegah kelangkaan produksi kina, mereka perlu memboyong kina ke negara-negara jajahan di wilayah tropis.
!break!
"Junghuhn lebih dari seorang yang ingin menjaga lingkungan, alam, tetapi juga ingin keadilan untuk manusia,"kata Johann Angerler, antropolog Leiden University dalam sebuah wawancara jarak jauh. Dalam konteks itu, menurut Angerler--yang pernah mengulas biografi spiritual Junghuhn--"Junghuhn merasa terpanggil."
Sejumlah data menunjukkan Junghuhn adalah satu dari sedikit orang yang paling bersemangat dan segera memberi pertimbangan atas usaha pertama membawa kina ke Jawa oleh Blume sebagai direktur kebun raya negara pada 1829. Apalagi,sebelumnya Prancis dan Inggris yang mencoba menanam kina di Aljazair menemui kegagalan.Akan tetapi, Junghuhn maju terus. Bahkan, ketika pada 1837rekan-rekannya yang sebelumnya begitu bersemangat mulai patah arang. Mereka mundur karena pemerintah kolonial tampak kurang semangat:takut rugi besar, sedang untungnya belum bisa dipastikan.
Pada kenyataannya, memang tiada yang lebih tepat untuk melaksanakan tugas itu selain Junghuhn. Pada 1851, Menteri Urusan Koloni, Ch. F. Pahud yang diserahi otoritas untuk melaksanakan penanaman kina itu pun menyampaikan rencana-rencananya kepada Junghuhn.Kebetulan, saat itu Junghuhn tengah berada di Belanda. Sejak Agustus 1848, ia meninggalkan Jawa untuk memulihkan kesehatannya di Eropa yang dingin.
Di Eropa, nama Junghuhn sedang terkenal sebagai naturalis multibakat berkat bukunya Die Battalander auf Sumatra yang terbit pada 1847. Buku ini adalah buah ekspedisi Junghuhn atas perintah Komisaris Pemerintah Pieter Merkus ke Tanah Batak yang masih merdeka,antara 1840 sampai 1842. Instruksinya adalah membuat peta kawasan, meneliti iklim dan kesuburan tanah, menemukan kekayaan alam, menguji jenis-jenis kayu bahan perahu, dan setumpuk lagi tugas yang sifatnya etnografis yang saat itu disebut Völkerkunde.
!break!
Penelitian yang dijalani Junghuhn selama delapan bulan itu hasilnya sangat mencengangkan. Ia dianggap sebagai perintis pengukur kawasan Sumatra, kawasan yang lebih rumit daripada Pulau Jawa. Peta Junghuhn jauh mengungguli peta terbaik sebelumnya yang telah dibuat peneliti Inggris, William Marsden,yang dimuat dalam bukunya History of Sumatra yang terbit pada 1811. "Meskipun memiliki keterbatasan dalam teori dan ia tidak berhasil mempelajari bahasa Batak, dengan karyanya di bidang Völkerkunde ia mewariskan suatu tulisan yang sangat bernilai untuk studi sejarah budaya Batak.Sampai sekarang," ujar Angerler.
Dalam tulisannya tersebut, Junghuhn muncul sebagai pengamat yang hebat, dan di beberapa kesempatan juga sebagai pemerhati budaya Batak yang penuh empati--meskipuntak terhindarkan muncul juga sebagai sosok seorang lelaki yang dipenuhi oleh prasangka yang berkembang pada zamannya, sebagai seorang yang bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Meski dianggap sangat sukses, Junghuhn tak puas hanya pada satu puncak pencapaian. Die Battalander auf Sumatra tidaklah cukup baginya. Sebab itu, selama di Eropa banyak waktu dihabiskannya untuk menyunting catatan-catatannya tentang Jawa. Inilah yang kemudian pada awal 1850 terbit sebagai edisi pertama karya utamanya tentang Jawa dalam bahasa Belanda yaitu Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw yang membuat nama Junghuhn kian sohor.
JUNGHUHN MEMANG SANGAT KUAT bekerja selama itu menyangkut alam. Diadikabarkan rata-rata menulis setara empat halaman surat kabar setiap hari. Dan dengan kemampuannya itu, ditambah pembawaannya sebagai seorang yang ambisius,dirinya percaya mampu untuk segera mempelajari dengan seksama semua tulisan dan informasi yang ada, yang akan membantu persiapannya menjalankan mandat Pahud untuk berburu bibit kina ke Peru.
!break!
Sebagaimana disebutkan, Junghuhn memang semula menerima tawaran Pahud untuk melaksanakan misi maha penting ini. Dia juga telah merancang sejumlah rencana yang cukup memadai dan mendalam.Tetapi proyek yang dinanti banyak ilmuwan ini tidak menghasilkan apapun. Malahan, yang berhasil adalah proyek lain yang dimandatkan Pahud kepadanya, yaitu sebuah dokumentasi berbentuk atlas besar bergambar pemandangan alam Jawa dalam tata warna yang juga diterbitkan dalam bahasa Jerman dengan titel Lanschafts-Ansichten von Java.
Beberapa tahun kemudian Junghuhn melaporkan, ia mengembalikan mandat Pahud untuk berburu dan memboyong bibit kina dari Amerika Selatan ke Jawa. Ia pun merekomendasikan Justus Karl Hasskarl sebagai penggantinya. Hasskarl adalah penerjemah karya-karya Junghuhn dalam bahasa Jerman dan teman dalam kepegawaian pemerintah kolonial yang pernah menjadi ahli botani di kebun raya negara di Buitenzorg sejak 1837 sampai 1843. Meskipun sudah berkecimpung dalam dunia bisnis di Dusseldorf, tetapi Karl masih menyimpan mimpi akan tiba saatnya memuaskan hasrat akan pengetahuan ilmiah dan kecintaannya terhadap alam.
Namun, panggilan sejarah untuk membaktikan ilmunya demi penyelamatan umat manusia yang tengah terancam bahaya epidemi malaria rupanya masih berkobar dalam diri Junghuhn. Ia bersiap dan sepertinya dapat meramalkan bahwa segera akan datang tantangan terbesar ketika pada akhir Agustus 1854, Hasskarl bersama bibit-bibit kina yang dikumpulkannya selamat menaiki Kapal Prins Frederik Hendrik yang sengaja dikirim dari Hindia ke kota pelabuhan Callao. Junghuhn memang tak segera pergi ke Jawa ketika ia mendengar Hasskarl tiba di Batavia pada 13 Desember 1854. Namun, dari laporan Teijsmann pada 30 Januari 1854, Junghuhn telah berhasil mengarahkan perhatian pemerintah bahwa deretan pegunungan Priangan memberikan situasi yang paling baik bagi pembudidayaan kina.
Sejarah akhirnya memang benar-benar menghampiri Junghuhn. Pada September 1855, ia memulai perjalanan ke Jawa dengan menumpang Kapal Minister Pahud yang dinakhodai W. Pfull. Junghuhn membawa serta tanaman-tanaman kina yang ditinggal di Taman Hortus Botanicus Leyden. Informasi telah dikirimkan sebelumnya kepada pemerintah Hindia Belanda, sehingga bisa dikeluarkan peraturan untuk mempercepat pengiriman tanaman-tanaman ini setelah tiba di Batavia ketempat yang telah dipilih Junghuhn di Pangalengan. Tempat itu berada di ketinggian 1.500 sampai 1.600 meter di atas permukaan laut. Membentang sembilan kilometer dari timur ke barat. Sepuluh kilometer dari utara ke selatan. Ditutupi hutan hingga ke puncak gunung yang mengelilinginya. Tidak ada rasanya dataran pegunungan lain di Jawa yang bisa mengalahkannya dalam hal luas wilayah, proporsi ketinggian dan situasinya yang menguntungkan.
!break!
Namun, sesungguhnya, apa sebab Junghuhn menyatakan mundur untuk memboyong kina dari Peru ke Jawa dan menyerahkan misi itu ke Hasskarl?Bukankah ini tindakan yang bertolakbelakang dengan keterpanggilan dan antusiasme besar yang telah diperlihatkan sebelumnya untuk melibatkan diri dalam perintisan pembudidayaan kina di Jawa?
"Karena beban tersebut ternyata begitu berat," ungkap Renate Sternagel, penulis biografi Junghuhn yang pernah tinggal cukup lama di Bandung dan meneliti serta menjadi orang di balik layar acara-acara peringatan Junghuhn. Bisa jadi ini benar, sebab Junghuhn saat itu memang tengah sibuk menyiapkan versi lebih lengkap daripada karyanya yang sudah terbit tentang alam Jawa, sebuah deskripsi tentang geografi, geologi, flora dan faunanya, lengkap dengan peta-peta, gambar-gambar serta profil-profil mengenai pemandangan alam dan bentuk bukit-bukitnya.
Sebagai manifestasi cintanya kepada Jawa, rupanya Junghuhn merasa selalu ada yang kurang di dalam karya utamanya itu. Sebab itu ia merasa perlu memfokuskan pikiran, tidak terganggu oleh hal-hal lain. Alhasil, buku itu berkali-kali terbit dengan terus-menerus ada penambahan. Pada awal 1850, edisi pertama buku itu terbit. Ketika edisi kedua sedang dicetak, pada permulaan 1853, muncul versi yang lebih lengkap dan lebih luas yang rampung pada 1854.
Rudiger Siebert, penulis sketsa kehidupan Junghuhn sebagai "Humboldt dari Jawa"--merujuk pada Wilhelm von Humboldt, naturalis dan petualang asal Jerman, pelopor biogeografi--memangpernah menyatakan bahwa Junghuhn adalah "sosok yang bukan saja sangat mengesankan ketekunannya, melainkan juga tinggi kesadarannya untuk menentukan prioritas." Pandangan ini semakin menguatkan bahwa Junghuhn telah memilih prioritas, yaitu berusaha tekun di tengah amukan ombak kreativitas dengan tidak membiarkan ada secuil pun bahan-bahan dan temuan-temuannya yang luput termuat. Sebab untuk mendapatkan itu, Junghuhn selama bertahun-tahun harus mengalami keadaan serba sulit dan penuh pengorbanan.
!break!
Dalam pengantar edisi bahasa Jerman karya utamanya ini, Junghuhn menggambarkan kesulitan pekerjaannya itu: "di sana saya menghargai dan merawat ilmu yang saya dapatkan persis seperti benda keramat, selama dua belas tahun saya menjelajahi gunung-gunung dan hutan-hutan Sunda yang memesona itu, dengan sengaja saya mengikuti jalan setapak yang sepi, tanpa petunjuk kecuali kecintaan kepada pekerjaan itu dan semangat yang berkobar."
Soal semangat yang berkobar itu bisa jadi bukan omong kosong belaka. Buktinya, meskipun minatnya pada geologi baru muncul saat ia mulai mendaki Gunung Merapi dan Gunung Merbabu pada November 1836, hasil observasi sejak tahun itu sampai 1848 terhadap 40 gunung api di Jawa yang dituangkan dalam dua jilid bukunya sangatlah memukau. Bukunya menjadi ikhtisar pertama dan terlengkap tentang struktur geologi Jawa. Bahkan, hasil observasi dan data-datanya dijadikan alat bukti penting dalam dua perdebatan geologi yang sengit di abad ini.
Debat pertama berkaitan dengan terbentuknya Bumi. "Semua gunung terbentuk dari endapan alias sedimen lautan," ujar kelompok Neptunisme. "Tidak, kebanyakan bebatuan endapan merupakan produk dari api di dalam perut Bumi," balas kelompok Plutonisme. Setelah para Plutonis dapat meyakinkan para Neptunis, debat kedua mengenai terbentuknya gunung api pun dimulai.
Saat itu, yang dominan adalah teori "kawah bukit". Merujuk teori ini, tidak semua gunung api terbentuk seiring waktu karena letusan berulang, melainkan banyak yang terbentuk secara tiba-tiba, berupa gelembung yang dipacu balik oleh daya vulkanis. Gelembung ini pecah di bagian puncak dan meleleh ke dalam, melalui itu terbentuklah kawah bukit raksasa.
!break!
Humboldt, yangjuga menyakini teori itu, kemudian lewat campur tangan Junghuhn terbukti keliru. Setelah menyelidiki secara menyeluruh lautan pasir di Bromo dan tembok kawah yang mengelilinginya, sampailah Junghuhn pada kesimpulan bahwa teori "kawah bukit" salah. Ini yang membuat Charles Lyell, geolog paling tenar saat itu, juga Humboldt dalam karyanya, berutang budi pada hasil observasi Junghuhn tentang gunung api di Jawa.
Junghuhn melengkapi paparannya soal geologi dengan studi mineralogi yang telah dilakukan mulai 1846. Saat itu, Junghuhn ditugaskan mencari mineral bermanfaat oleh pemerintah kolonial, terutama batu bara di Jawa Barat. Ia menemukannya, tetapi eksploitasi dipandang percuma karena kesulitan transportasi. Belakangan, ketika tentara Jepang menduduki Jawa dan mencari sumber-sumber energi, rupanya peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang dibuat Junghuhn itu dimanfaatkan oleh mereka. Salahsatunya adalah pembukaan tambang batu bara di Bayah, Banten.
Dalam botani, bidang profesinya yang sejati, Junghuhn telah memberikan sumbangsih besar dengan bukunya itu. Pikirannya sangat maju. Pada jilid pertama ia mengusulkan pentingnya reboisasi hutan secara berencana. Junghuhn merangkai usulan ini dari kekagumannya pada alam yang terus-menerus mengalami perubahan. Ia mengambarkan rangkaian proses yang berlangsung ribuan tahun.Pada saat yang sama, ia juga mengamati kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam tempo singkat. Terutama di lereng-lereng gunung, ia mengamati dampak dari penebangan hutan. Sungai-sungai kering. Pasokan air ke sawah berkurang. Musim kemarau kawasan gundul menjadi lebih panjang. Lahan gundul yang tidak digarap penuh alang-alang.
Pada jilid pertama pula dia memerikan kondisi yang memungkinkan tumbuhan-tumbuhan asli Jawa hidup. Ia juga menelaah pertanyaan di lokasi mana sajakah tumbuhan-tumbuhan itu dapat ditemukan. Pemetaan tumbuh-tumbuhan Jawa buatan Junghuhn yang lengkap itu masih berlaku sampai hari ini. Membuat geografi tumbuhan merupakan sesuatu yang telah diangankan Junghuhn sejak konsep itu diperkenalkan tokoh idolanya, Humboldt dalam Ideen zu einer Geografie der Pflatzen yang terbit pada 1908. Humboldt mengakui keberhasilan Junghuhn itu. Secara khusus Humboldt bahkan mengirimi Junghuhn surat, "untuk membuktikan penghargaan tinggi yang dibangkitkan di hati saya dan teman-teman saya oleh karya-karya Tuan Doktor Junghuhn."
!break!
Humboldt bahkan juga mendorong agar empat jilid buku karya Junghuhn tentang alam Jawa itu dicetak secepatnya dalam bahasa Jerman oleh penerbit Arnoldische Buchhandlung di Leipzig. Akibatnya, penerbitan karya Humboldt sendiri tersela dan harus menunggu lama. Semua tenaga penerbit itu dikerahkan untuk buku Junghuhn semata. Humboldt tak menyesal, malahan dalam Kosmos jilid keempat yang terbit pada 1858, ia menyatakan begini: "Sebuah cahaya baru dan yang lama ditunggu telah dipancarkan atas karakter geonostik Jawa--setelahkarya-karya terdahulu Horsfield, Sir Thomas Stamford Raffles dan Reinwardt yang sangat tidak lengkap namun berjasa--melaluiseorang peneliti alam yang berbobot, piawai dan pantang menyerah, yaitu Junghuhn. Ia menyelesaikan sebuah sebuah karya yang berharga;Java, seine Gestalt, Pfanzendecke un innere Bauart."
Sebelumnya, dalam surat bertitimangsa 20 April 1857 yang dikirim dari Jerman, Humboldt juga menyatakan kekaguman atas empat lembar peta besar Kaart van het Einland Java yang dibuat Junghuhn. "Betapa besar rasa terimakasih saya kepada Anda atas peta yang indah. Geologis sekali dan beraneka ragam bentuk. Setelah sebuah makan malam di Istana Sanssouchi di Postdam, Raja Prussia, Pangeran Friedrich dari Belanda, menteri peperangan dan banyak lagi mengagumi peta ini sebagai sebuah karya yang sangat luarbiasa," begitu sanjung Humboldt.
Saat perayaan 200 tahun Junghuhn yang diperingati Oktober tahun lalu, surat kabar terbesar di Indonesia, Kompas, menyebutkan peta yang dibuat pada 1855 dan dijual dengan harga eceran 12 Gulden untuk peta topografis tak berwarna dan 14 Gulden untuk peta geologis berwarna itu, hampir sama lengkapnya dengan peta hasil rekaman satelit NASA tahun 2007. Peta dengan skala 1:350.000 itu memang karya unggul di bidang kartografi. Data-data yang tercantum di dalamnya telah membuka jalan bagi pengembangan ekonomi di Jawa.
TAHUN-TAHUN JUNGHUHN DI EROPA memang tidak hanya menjadi saat memulihkan kesehatan, memasyhurkan namanya karena sangat subur berkarya, sehingga mengukuhkan tempatnya sebagai salahsatu raksasa naturalis dunia, tetapi juga perubahan arah dalam kehidupan pribadinya.
!break!
Pada 1850, ia memutuskan menikahi gadis Belanda usia 22 tahun, Johanna Louisa Frederica Koch. Lebih jauh lagi, Junghuhn mengalami penggodokan mental, serta pematangan karakter melalui serangkaian polemik. Bukan saja dengan sejumlah ilmuwan terkait karya utamanya tentang Jawa, melainkan juga dengan para pendeta lantaran penerbitan filsafat hidupnya dan ide-ide berpikir bebas tentang agama serta gereja, yaitu Licht- en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java.
Meskipun buku ini berisi cerca tentang kekeliruan dan kekerasan yang dilakukan umat Kristen--oleh karenanya ia mendapat penentangan yang keras, tetapi sesungguhnya dari sisisastra amatlah memukau. "Dalam semua karya Junghuhntampak narasi-narasi sastra. Dan kalau akhirnya karya-karya itu menjadi sumber sejarah, maka karya-karyanya itu dapat dinilai sangat berhasil justru karena berita pikiran dengan analisisnya itu disampaikan dengan gaya narasi sastra," kata Adrian Lapian, sejarawan yang saya temui di rumahnya yang asri.Kalau membuka semua karya Junghuhn memang segera terasa betapa kekayaan materi hasil observasi yang sangat cermat sampai ke peta-peta dan gambar-gambarnya semua ditampilkan serba puitis. Sehingga saya sering bertanya-tanya jangan-jangan Junghuhn adalah penyair yang terjebak dalam tubuh seorang naturalis.
Selain bakat sastra, Junghuhn juga memiliki bakat menggambar yang kuat. Ini bisa dilihat pada hampir semua buku karyanya. Junghuhn mampu membuat komposisi gambar yang bagus. Kuat garisnya dalam menangkap detail. Memikat caranya mewarnai sehingga alam tropis sangat terasa. Pada masanya memang para naturalis besar seperti Humboldt dan Haeckel pandai membuatkan sketsa, lukisan cat air, dan ilustrasi lain untuk dipakai di setiap buku mereka. Junghuhn bahkan menerbitkan khusus buku lithografi besar berwarna tentang alam Jawa, Lanschafts-Ansichten von Java.
Kelebihan yang tak dimiliki naturalis besar lain adalah kemampuan Junghuhn memanfaatkan teknologi foto yang saat itu baru saja diperkenalkan. Ia menjadi pionir dari era baru menggunakan seni fotografi dalam pekerjaan naturalis. Pada 1858, Junghuhn memberikan segepok hasil pemotretannya kepada Karl von Schrezer dan Ferdinand von Hochstetter, dua anggota rombongan ekspedisi keliling dunia dari Austria dengan menumpang fregat Novara yang sengaja mendarat di Batavia untuk mengunjungi rumahnya di Lembang.
!break!
Mulai 1860, Junghuhn mendalami stereoskopi. Pada tahun itu juga Junghuhn membeli seperangkat alat fotografi dengan objektif ganda, tripod dan perlengkapan tambahan lainnya, termasuk bahan-bahan kimia dan kertas foto. Perlengkapan fotografi tidak saja sangat mahal, tetapi juga telah membuat Junghuhn harus menambah panjang barisan rombongan ekspedisinya. Tercatat bahwa Junghuhn hanya sempat membawa sekali peralatan fotografinya itu pada 1863. Saat itu, Junghuhn dalam ekspedisi yang jauh dan kemudian merupakan yang terakhir. Junghuhn mengunjungi daerah percandian dataran tinggi Dieng dan Gunung Gamping, sebuah bukit kapur di Jawa Tengah. Foto-foto hasil bidikan Junghuhn kemudian menjadi bersejarah, karena candi itu kemudian hancur, begitu juga Gunung Gampingyang berubah drastis karena kena longsor.
PERTANYAANNYA KINI, dari sekian banyak karya-karyanya, dan dari sebegitu luasnya bidang kerjanya, sejauh mana kita bisa mengambil manfaatnya untuk masa kini? Kampanye Junghuhn yang menggebu-gebu soal reboisasi tentu saja masih amat relevan dan penting, karena pada kenyataannya hutan-hutan yang gundul telah meningkatkan risiko bencana banjir dan longsor di banyak tempat di Indonesia belakangan ini. Penebangan hutan secara membabi buta juga telah mengusir habitat alami hewan-hewan langka seperti orangutan, gajah, atau badak, yang dalam jangka panjang bakal mengganggu keseimbangan ekosistem. Bagaimana dengan teori elevasi terhadap jenis vegetasi tanaman?
"Sebagai sebuah teori, pembagian vegetasi berdasarkan elevasi dan iklim yang dilontarkan Junghuhn tentu saja amat penting, dan patut dihormati sampai kapan pun," ujar Djamang Ludiro, pengajar di Departemen Geografi Universitas Indonesia yang mengkhususkan diri pada klimatologi.
Namun, Djamang melanjutkan, pertumbuhan populasi, yang menyebabkanmeningkatnya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pangan, telah memicu perkembangan teknologi. "Termasuk teknologi budi daya tanaman yang membuat tanaman tidak lagi sepenuhnya bergantung pada faktor-faktor alamseperti ketinggian atau iklim," Djamang menambahkan.
!break!
Faktor lainnya adalah, perubahan iklim telah memaksa tanaman--dan hewan tertentu--untuk bisa beradaptasi dalam kondisi iklim yang tidak menentu. "Penelitian lanjutan soal adaptasi tanaman ini, menurut saya yang lebih penting, untuk menjawab keresahan orang-orang yang hidupnya bergantung pada alam seperti petani atau nelayan."
"TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALAM." Itulah kata-kata Junghuhn yang langsung teringat dan terus-terusan mengiang ketika saya di suatu pagi yang mendung mengunjungi makamnya, di ujung sebuah gang kecil dekat pasar Lembang lama, sebelah utara kota Bandung, Jawa Barat. Makam itu masih kukuh sejak didirikan isterinya tak lama setelah wafatnya Junghuhn. Terawat rapi. Bersih. Lain dengan sekelilingnya yang tampak tak terurus.
Nisannya, tugu jangkung berkelir putih, dihiasi oleh deretan pohon kina, "bayi" yang dengan sepenuh hati telah dipeliharanya di bawah teduh pepohonan hutan lainnya. Kawasan makam ini telah dikepung perumahan serta kehilangan bau khasnya sebagai hutan kecil karena di beberapa sudut dijadikan terminal akhir sampah. Beruntung, ada Asep Suryana. Asep--pria jangkung dalam usia paruh baya--menggantikan ayahnya sebagai penjaga makam yang salah satu tugasnya adalah merawat makam Junghuhn.
"Pemerintah kurang memerhatikan makam ini, padahal di dalamnya bersemayam ini makam salah seorang yang paling berjasa besar bagi negeri ini," tutur Asep. Untuk menjaga makam Junghuhn, Asep mengaku mendapat bantuan dana secara rutin dari Goethe Institute--lembaga kebudayaan Jerman yang masih getol memperingati kelahiran Junghuhn--dan tips ala kadarnya dari para pengunjung makam.
!break!
Asep juga mengantar saya ke makam Johan Eliza de Vrij, ahli kimia dan farmasi yang berdiri tepat di belakang Junghuhn dalam menyelidiki kadar alkaloid berbagai pohon kina yang dibudidayakan.
Dalam semilir angin dingin, saya masih dapat merasakan mengapa Junghuhn berwasiat agar dikuburkan di sini, menghadap Gunung Tangkuban Perahu, dikawal Gunung Burangrang dan Bukit Tunggul.
Pada 24 April 1864, ketika deraan disentri amoeba membawa Junghuhn yang lahir di Mansfeld, Jerman, pada 26 Oktober 1809 semakin mendekati sakaratul maut, kepada Isaäc Groneman--pengagum, sahabat, sekaligus dokter pribadinya yang menemani--dia menyebutkan permintaan terakhir yang terdengar begitu puitis sekaligus menggetarkan: "Sahabatku yang baik, bukakanlah untuk aku jendela-jendela. Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunungku tercinta. Untuk terakhir kali, aku ingin memandang hutan-hutan, aku ingin menghirup udara pegunungan."
Dengan Berselempang kain di leher, lelaki petualang dengan infeksi usus besar yang menyiksa itu menyunggingkan senyum. Matanya yang setajam mata elang tak juga sayu. Seperti akan menerima kebahagiaan. Groeneman membuka jendela-jendela dan menyeruaklah hawa dingin dan segar dari arah Gunung Tangkuban Perahu di depan yang seperti raksasa tergolek dalam kabut tebal di remang-remang bulan tua.
Saat itu hampir jam tiga dini hari. Usia Junghuhn 54 tahun dan hingga mengembuskan napas terakhir, sang penutup zaman naturalis generalis terakhir itu tetap memegang teguh syahadat yang sekali waktu pernah dinyatakan bahwa hanya alam sajalah "sumber segala kebenaran" serta satu-satunya "manifestasi ilahiah". Junghuhn wafat sebagai koppige bergbewoner alias "orang gunung yang keras kepala".
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR