Nationalgeographic.co.id—Dua bola mata Alimin Azarbaijan merah seperti darah. Kontras dengan rona langit yang berhias biru dan putih.
Senin siang itu sikap Alimin sejatinya sangat ramah dan hangat kepada para tamu yang berkunjung ke desanya. Namun seorang tamu menyadari ada warna ganjil pada mata pria itu. Saat ditanya kenapa, ternyata Alimin baru saja bergadang selama dua malam.
Dus, Alimin tidak sedang marah. Dia, terutama kedua matanya, hanya sedang lelah.
Total waktu tidur Alimin dalam dua harmal terakhir hanya sekitar dua pertandingan sepak bola. Sabtu malam selumbari, mata Alimin tak terpejam sama sekali. Dan semalam, pria paro baya itu cuma tidur kurang dari empat jam.
“Tadi malem aja habis magrib tidur sampai jam sepuluh. Bangun, nggak tidur lagi," ujarnya di beranda sebuah rumah penginapan (homestay) di Desa Pela pada Senin, 24 Juli 2023.
“Nemenin anak-anak Unmul,” tambah Alimin yang berdiri di beranda seraya tangan kanannya menunjuk kafe dermaga di seberang jembatan ulin, tempat dia bergadang pada Minggu malam.
Sepanjang Sabtu malam, bersama para anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Pesut Lestari dan perangkat Desa Pela, Alimin melakukan pemantauan terhadap Sungai Pela. Lalu Minggu dini harinya, mereka merazia sekelompok orang yang sedang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di sungai itu.
“Mereka empat perahu, enam orang,” kata Alimin yang kini memegang amanah sebagai ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pela.
Alimin dan rekan-rekannya sudah memantau keempat perahu itu selama berjam-jam dan melaporkannya ke aparat setempat. Razia akhirnya dilakukan setelah aparat dari Polsek Kota Bangun, Babinsa, Satpol PP, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kutai Kartanegara datang ke lokasi untuk bersama-sama melakukan penindakan.
Enam pelaku itu sempat ditahan di Polsek Kota Bangun selama 24 jam, lalu dilepaskan kembali. Empat perahu dan seluruh alat tangkap ikan mereka disita agar mereka tak lagi mengulangi penangkapan ikan secara ilegal.
Baca Juga: Sepotong Senja di Danau Semayang yang Selalu Terkenang dan Terbayang
Para pelaku yang kena razia itu menangkap ikan menggunakan pukat harimau. “Rimpa kalau orang sini bilangnya,” ujar Alimin. Keenam pelaku itu berasal dari Desa Melintang. Jaraknya dari Desa Pela sekitar “satu jam pakai kapal ces kecil atau setengah jam pakai longboat,” imbuh Mirwan (29), salah satu anggota pokmaswas.
Penggunaan pukat harimau telah diharamkan dalam Peraturan Desa Nomor 02 tahun 2018 tentang Larangan Penggunaan Alat Menangkap Ikan, Membuang Sampah ke Sungai, dan Pencemaran Lingkungan Perairan di Desa Pela. Alat tangkap ikan yang terlarang dalam perdes itu adalah yang bersifat monopoli, mengundang konflik sosial, merusak lingkungan, dan mencemari lingkungan. Wilayah perairan Desa Pela yang dimaksud antara lain mencakup Sungai Pela dan Danau Semayang. “Sudah kita bikin [peraturannya], makanya kita berani razia-razia,” ucap Alimin.
Rimpa dilarang karena jaring ini sangat rapat dan penggunaannya seperti mengeruk sungai dari dasar. Akibatnya, habitat ikan di dasar sungai rusak dan semua ikan dari berbagai ukuran bisa terjerat. “Kalau pakai itu, semua ikan dari anaknya habis semua,” ujar Mirwan. “Jadi untuk berkelanjutan nantinya, makin tahun makin susah.”
Pemerintah Desa Pela membuat perdes tersebut juga untuk melindungi pesut mahakam. Lumba-lumba air tawar ini hidup bergantung pada ikan-ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam, termasuk Sungai Pela dan Danau Semayang, sebagai pakan mereka. “Makanya kita buat perdesnya sama kita buat kelompok juga supaya bisa jaga pesut ini,” kata Alimin.
Selain menjadi ketua BPD, saat ini Alimin juga menjabat sebagai ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bekayuh, Baumbai, dan Bebudaya (B3) di Desa Pela. Dua jabatan ini membuat dirinya sangat dibutuhkan warga setempat maupun tamu yang datang. Setelah Sabtu malam berjaga menangkap “maling” ikan, Minggu malamnya Alimin bergadang untuk menemani diskusi para mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) yang sedang mengikuti progam kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Pela.
Alimin adalah pria keturunan Banjar yang berperawakan pendek kekar. Gerakannya gesit dan bersemangat. Dia suka berkelakar dan sering sekali tertawa meski kadang tak ada hal yang begitu lucu dalam obrolan. Sepintas, wajah Alimin mirip Dedi Gumelar alias Miing Bagito, seorang komedian yang hijrah menjadi politisi. Seperti Miing, sekarang Alimin juga menggeluti dua bidang, hiburan dan politik, di Desa Pela.
Hiburan yang ditawarkan Pokdarwis B3 yang dipimpin Alimin adalah ketentraman Desa Pela dan keindahan alam di sekitarnya. Termasuk juga kemunculan pesut mahakam yang langka dan terancam punah.
Desa Pela adalah perkampungan nelayan yang menyendiri. Wilayahnya dikelilingi oleh sungai, rawa, dan danau. Untuk mencapai desa ini, pengunjung harus menaiki perahu dari dermaga Kota Bangun selama sekitar setengah jam.
Lokasi Desa Pela persis berada di tepi utara Sungai Pela. Wujud permukiman desa ini memanjang, mengikuti liukan anak Sungai Mahakam itu. Wajah permukiman di Desa Pela didominasi oleh deretan rumah panggung serta jembatan kayu ulin yang membentang sepanjang 5 kilometer dengan lebar utama sekitar 4 meter.
Jembatan ulin ini jadi pemisah antara beranda deretan rumah panggung yang semuanya berada di sebelah utara dan Sungai Pela di sebelah selatan. Di beberapa area, di kanan dan kiri jembatan tumbuh deretan pohon kademba dan jambu biji. Ujung barat jembatan terputus di area rawa dekat Tanjung Tamanoh. Adapun semakin ke timur, lebar jembatan kayu itu semakin berkurang hingga menjadi 2 meter dan akhirnya terputus oleh wilayah perairan.
Wilayah perairan inilah yang menjadi habitan pesut mahakam. Wilayah perairan inilah yang dijaga oleh Pokmaswas Pesut Lestari dan menjadi tempat razia oleh Alimin dan rekan-rekannya dua malam lalu. Dan wilayah perairan ini pulalah yang menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun luar negeri yang kemudian dimaksimalkan oleh Pokdarwis B3.
Danielle Kreb, peneliti sekaligus pelestari pesut mahakam yang sudah mengelilingi desa-desa di Mahakam Tengah, menyebut Desa Pela “lebih progresif” dibanding desa-desa lainnya. Oleh karena itulah di Desa Pela bisa terbentuk perdes khusus, pokmaswas, bahkan juga pokdarwis yang semuanya berkaitan dengan pesut mahakam. Boleh dikata, Desa Pela adalah desa pesut mahakam.
Sebagai desa wisata maupun rumah konservasi pesut mahakam, Desa Pela telah meraih banyak penghargaan di tingkat lokal maupun nasional. Mulai dari penghargaan Kalpataru tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalpataru tingkat Provinsi Kalimantan Timur, 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI), Juara 3 Nasional Kategori Kelembagaan Desa Wisata Indonesia, hingga dua penghargaan bergengsi sekaligus dalam Tourism Entreprenuerial Marketing Award 2023.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR