Nationalgeographic.co.id—Polemik pagar laut di Tangerang, Banten, telah menjadi perbincangan publik Indonesia selama beberapa bulan terakhir. Pagar laut itu membentang dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji, melintasi 16 desa di 6 kecamatan.
Menurut Peneliti Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Subarudi, pagar laut menjadi heboh karena dibangun dengan panjang sekitar 30,16 km, dan hal ini tidak diketahui siapa yang membangun.
“Sebuah Ironi jika pihak yang berwenang tidak mengetahui pembangunan pagar laut sudah berlangsung sejak 2022 dan baru bergerak ketika sudah menjadi viral,” ujarnya dalam acara Webinar “Laut Dipagar, Nelayan Terkapar, Bencana Menyebar” pada akhir Januari lalu.
Ia membuka pembahasan dengan materi bertajuk "Fenomena Pagar Laut di Indonesia: Sebuah Ironi”. Subarudi menjelaskan tentang hal-hal mendasar, seperti dasar hukum pengelolaan kawasan pesisir, pembangunan pagar laut dan dampaknya, serta upaya mewujudkan pengelolaan laut yang berkelanjutan.
“Pagar laut, langkah awal menuju kegiatan reklamasi pantai. Dari sudut pengamatan kami, di situ keluar izin kavling laut melalui 263 sertifikat HGB. Dengan rincian 234 sertifikat dipegang PT IAM, 20 sertifikat oleh PT CIS, lalu 9 sertifikat oleh perseorangan,” urai Sabarudi seperti dikutip dari laman BRIN.
Ia menyebutkan, referensi dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pantai yaitu UU No. 27 Tahun 2007 Jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Adanya pagar laut tersebut membawa dampak serius bagi lingkungan laut, pagar laut berbahan bambu tersebut dapat merusak ekosistem laut. Dampak yang terbawa lainnya adalah pola arus laut berubah, ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat ikan dan penyu terancam rusak,” paparnya.
Ia juga menilai, proyek reklamasi tersebut mengancam keadilan akses sumber daya bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup mereka pada laut. Di samping itu juga merusak ekosistem dan mengganggu tatanan sosial masyarakat pesisir.
“Kasus ini menajdi sebuah fenomena yang ironis dengan melibatkan banyak pihak, seperti masyarakat lokal, pemerintah desa, kabupaten dan provinsi, pemilik modal, birokrat pusat, serta aparat keamanan. Penegakan hukum harus tidak pandang bulu, tetap berjalan di bawah payung keadilan, serta konsisten,” tegasnya.
Sementara itu Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Anta Maulana, membahas berbagai permasalahan serta tantangan di pulau-pulau kecil dan pesisir Indonesia. Mulai dari stagnansi ekonomi yang terjadi baik infrastruktur, transportasi, pendidikan, lapangan kerja.
Baca Juga: Pembuatan Pagar Laut di Beberapa Negara dan Masing-Masing Fungsinya
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR