Hal ini terjadi lantaran alam yang semakin rusak. Penyebabnya antara lain alih fungsi lahan, stok sumber daya perikanan yang menipis, pemutihan karang, sedimentasi, limbah laut, dan masifnya industri ekstraktif.
“Kebijakan setiap pemerintahan yang selalu berganti, adanya ocean grabbing antar kelembagaan, ancaman keamanan dalam penangkapan ikan. Kemudian kasus penyelundupan maupun perdagangan ilegal sumber daya laut,” beber Anta.
Anta menyoroti dampak permasalahan tersebut adalah penurunan kualitas hidup masyarakat. “Tidak ada laut yang bisa dipagari, ini hanya bentuk lain dari privatisasi ruang pesisir dan laut. Fungsinya merusak ekosistem pesisir, mengganggu jalur laut, dan merugikan nelayan,” ungkapnya.
Anta juga mengatakan bahwa keberadaaan pagar laut bersifat negatif. “Hal ini memengaruhi orang-orang dan komunitas dengan cara hidup, identitas budaya, dan mata pencahariannya yang bergantung pada skala kecil," jelasnya.
"Perampasan laut digunakan untuk menggambarkan tindakan, kebijakan atau inisiatif yang merampas sumber daya nelayan skala kecil, serta merusak akses historis terhadap wilayah laut,” imbuhnya lagi.
Anta menyebut tiga hal yang perlu dipertimbangkan bagi kebijakan pemerintah. Pertama adalah kualitas tata kelola pemerintahan yang berkaitan dengan kebijakan dan regulasi.
“Kedua, human security dan livelihood, berkaitan dengan aksi atau peristiwa yang dapat menghilangkan pekerjaan masyarakat. Ketiga, social–ecological wellbeing, tentang dampak negatif pada ekologi yang berujung pada kerugian sosial di masyarakat,” rincinya.
Menurutnya, salah satu tantangan utama bagi pesisir Indonesia adalah penempatan ekonomi biru dengan merancang kebijakan yang lebih baik dalam mengatur lautan.
Dia menggarisbawahi, “Pada akhirnya, ancaman masuk dalam bentuk blue grabbing, yang sebagian besar tersamarkan oleh narasi memberikan insentif untuk investasi dan pemulihan perusakan lingkungan yang masih berjalan.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR