Nationalgeographic.co.id—"Negara dengan 17.000 pulau ini berada di garis depan upaya global untuk memberi makan miliaran orang secara berkelanjutan dalam beberapa dekade mendatang."
Demikian kalimat yang ditulis oleh Rob Jordan untuk membuka artikelnya yang bertajuk "Blue food project taps the ocean’s potential to feed the world" yang dilansir laman Standfor.edu.
Negara ini, lanjut Jordan, diberkahi dengan sumber daya laut yang melimpah, mulai dari ikan, kerang, rumput laut, hingga tanaman air, yang menempatkannya pada posisi strategis untuk mengembangkan model pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Model ini nantinya dapat dicontoh oleh negara lain dalam memanfaatkan potensi laut sekaligus menjaga kelestariannya.
Para peneliti dari Universitas Stanford, bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, organisasi masyarakat sipil, dan pelaku bisnis, telah bersatu dalam proyek yang diberi nama "Transformasi Pangan Laut di Indonesia".
Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk merancang pendekatan yang efektif untuk memanfaatkan produksi pangan laut secara berkelanjutan, dengan tujuan meningkatkan nutrisi masyarakat, memperkuat ketahanan pangan, dan menciptakan mata pencaharian yang layak bagi 280 juta penduduk Indonesia.
Sebagai bagian dari proyek ini, mereka melakukan identifikasi wilayah dan kelompok masyarakat mana yang akan mendapatkan manfaat paling besar dari peningkatan konsumsi pangan laut, serta menentukan wilayah di mana akses terhadap pangan laut perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Inisiatif ini merupakan pengembangan dari kolaborasi yang telah terjalin sejak tahun 2023 antara Stanford Doerr School of Sustainability dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (Bappenas). Kolaborasi ini bertujuan untuk mengintegrasikan sektor pangan laut ke dalam strategi pembangunan nasional dan strategi ekonomi negara.
Pengembangan proyek ini juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Blue Food Assessment, sebuah upaya global yang melibatkan lebih dari 100 ilmuwan. Upaya ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan terkait peran penting pangan laut dalam sistem pangan global.
Jim Leape, salah satu peneliti utama proyek ini dan juga direktur Stanford Center for Ocean Solutions, menekankan bahwa produksi pangan saat ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan diet sehat dan berkelanjutan bagi 10 atau 11 miliar orang di dunia.
“Indonesia, dalam ukuran apa pun, merupakan salah satu negara pangan laut terpenting di Bumi," papar Leape, seperti ditulis ulang oleh Jordan.
Baca Juga: Sedimen Dasar Laut, 'Area Mati' yang Justru Penting dalam Ekosistem 'Blue Carbon'
"Negara ini dapat menunjukkan kepada kita bagaimana pengelolaan dan penggunaan sumber daya yang lebih baik dapat membantu membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil.”
Potensi besar pangan laut
Sektor produksi pertanian, yang saat ini memanfaatkan 40% lahan global, merupakan sumber tekanan signifikan terhadap sumber daya alam dunia.
Praktik-praktik pertanian berkontribusi terhadap deforestasi, penurunan keanekaragaman hayati, dan kelangkaan air, serta menghasilkan hingga 30% emisi gas rumah kaca yang mempercepat perubahan iklim.
Namun, Blue Food Assessment mengungkapkan bahwa berbagai spesies pangan laut dapat diproduksi dengan jejak karbon yang lebih kecil dibandingkan produk hewani darat, dan seringkali memiliki keunggulan nutrisi yang lebih besar.
Untuk mendukung implementasi strategi pangan laut berkelanjutan di Indonesia, para peneliti telah menyusun basis data yang menyoroti potensi nutrisi dari sumber pangan laut yang dihasilkan di setiap kabupaten di Indonesia.
Analisis ini dapat membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan transformatif yang mengutamakan pangan laut, yang seringkali menjadi sumber nutrisi paling terjangkau dan mudah diakses, sangat penting bagi perkembangan kesehatan masyarakat.
Tim peneliti berharap bahwa temuan dari penilaian ini dapat diintegrasikan ke dalam program makan gratis nasional untuk mengatasi masalah stunting pada anak, yang saat ini memengaruhi 1 dari 5 anak di seluruh Indonesia, dan bahkan mencapai 1 dari 3 anak di beberapa daerah.
Selain itu, analisis regional ini juga dapat mengidentifikasi peluang mata pencaharian di setiap wilayah, serta trade-off dan peluang dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan perikanan, jenis akuakultur yang akan dikembangkan, dan proporsi produk yang akan diekspor dibandingkan dengan memenuhi kebutuhan domestik.
Tim peneliti menggunakan data produksi, konsumsi, perdagangan, dan ekologi Indonesia untuk mengkuantifikasi area di mana pola-pola tersebut mungkin perlu dimodifikasi untuk meningkatkan ketersediaan pangan laut bagi kebutuhan domestik, atau di mana pengelolaan pesisir perlu diperkuat untuk lebih mendukung konsumsi lokal.
Secara paralel, para peneliti juga menganalisis kebijakan lokal dan nasional untuk memahami bagaimana kebijakan tersebut dapat mendukung atau justru merusak ekuitas dan keberlanjutan pangan laut.
Baca Juga: Te Moana-nui-a-Kiwa, Kawasan 'Blue Carbon' Terbesar Dunia yang Dijaga Suku Maori
Lensa hak asasi manusia
Menurut David Cohen, salah satu kepala peneliti proyek ini dan juga direktur Stanford Center for Human Rights and International Justice dan Program Asia Tenggara di Walter H. Shorenstein Asia Pacific Research Center di Freeman Spogli Institute for International Studies, isu-isu lingkungan hidup harus dipertimbangkan melalui lensa hak asasi manusia agar kolaborasi ini membuahkan hasil yang diharapkan.
Cohen, yang juga merupakan seorang profesor ilmu sosial lingkungan di Doerr School of Sustainability dan klasik di Stanford School of Humanities and Sciences, menekankan bahwa tanpa adanya ikan yang tersisa untuk ditangkap di perairan komunitas akibat penebangan hutan bakau untuk pembangunan, hancurnya terumbu karang, dan berkurangnya tangkapan ikan, maka produksi pangan laut tidak akan mungkin tercapai.
"Yang akan Anda lihat adalah perpindahan penduduk, yang sudah terjadi di beberapa tempat. Itu adalah krisis kemanusiaan yang menjadi inti dari pekerjaan hak asasi manusia yang kami lakukan," jelas Cohen.
Cohen menekankan pentingnya pendekatan holistik yang mampu menangani baik kebutuhan masyarakat maupun pelestarian lingkungan, di mana kesehatan dan mata pencaharian mereka sangat bergantung padanya.
Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah di tingkat nasional dan lokal perlu menyeimbangkan tujuan jangka pendek pertumbuhan ekonomi nasional dengan integrasi jangka panjang pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
Sebelum terlibat dalam proyek ini, Cohen dan Leape telah bekerja di Indonesia selama lebih dari 20 tahun dalam berbagai inisiatif hak asasi manusia dan keberlanjutan.
Proyek mereka saat ini didasarkan pada kemitraan yang telah terjalin sebelumnya antara pusat-pusat Stanford dan lembaga-lembaga Indonesia, termasuk mahkamah agung negara, komisi hak asasi manusia nasional, dan organisasi non-pemerintah lokal.
Kemitraan ini berfokus pada berbagai isu, mulai dari eksploitasi pekerja di industri tuna hingga peningkatan kapasitas hakim, jaksa, pembela hak asasi manusia, dan advokat masyarakat sipil.
“Titik awal pekerjaan kami adalah kesediaan lembaga-lembaga pemerintah Indonesia untuk terlibat dalam kemitraan yang tulus dengan cara yang akan memiliki dampak jangka panjang,” tulis Jordan menutup artikel dengan mengutip kalimat Cohen.
'Telan' Pemotor di Seoul, Ini Pengertian, Penyebab, Jenis, dan Lokasi Rawan Sinkhole
KOMENTAR