Nationalgeographic.co.id—Di perairan dangkal yang tenang, di antara hamparan pasir dan lumpur pesisir, belangkas bergerak perlahan. Ia kerap dikenal sebagai "fosil hidup" karena bentuknya yang hampir identik dengan sahabat purbanya.
Belangkas memiliki bentuknya yang khas, cangkang keras berbentuk tapal kuda dan ekor panjang seperti tombak. Dari empat spesies belangkas yang diketahui, tiga ditemukan di Asia, sementara satu lainnya hidup di sepanjang pantai Amerika Utara.
Namun, belangkas bukan sekadar peninggalan purba. Kehadirannya memainkan peran penting dalam ekosistem pesisir.
Saat musim bertelur tiba, ribuan telur kecil mereka tersebar di pasir, menjadi sumber makanan berharga bagi burung pantai. Beberapa di antaranya telah berevolusi untuk menyesuaikan waktu migrasi mereka dengan puncak musim bertelur belangkas.
Selain perannya dalam menjaga keseimbangan alam, belangkas juga memiliki kontribusi yang tak terduga dalam dunia medis. Mereka digunakan dalam bidang biomedis untuk menguji keberadaan racun berbahaya dalam vaksin. Tanpa mereka, banyak kemajuan dalam kesehatan manusia mungkin tidak akan terwujud.
Di tengah ancaman hilangnya habitat dan eksploitasi berlebihan, belangkas terus bertahan, seperti yang selalu mereka lakukan selama jutaan tahun. Namun, pertanyaannya kini bukan lagi apakah mereka bisa bertahan dari waktu, melainkan apakah manusia dapat menjaga mereka tetap ada di masa depan?
Menukil dari laman Phys.org, di antara keempat spesies belangkas yang diketahui saat ini, hanya belangkas Atlantik (Limulus polyphemus), yang ditemukan di sepanjang pesisir Atlantik Amerika Serikat dan Teluk Meksiko, yang telah diteliti secara luas.
Sebaliknya, informasi ilmiah tentang tiga spesies Asia masih sangat terbatas dan tersebar, sehingga Daftar Merah IUCN, yang melacak risiko kepunahan spesies di seluruh dunia, mencantumkan dua di antaranya (belangkas padi dan belangkas besar) sebagai "data deficient" atau kekurangan data.
Kategori ini menunjukkan kurangnya informasi yang cukup untuk menilai risiko kepunahan mereka. Sementara itu, belangkas tiga duri diklasifikasikan sebagai spesies terancam punah.
Pentingnya Memahami Belangkas untuk Menentukan Strategi Konservasi
Dikutip dari Phys.org, tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Madya Frank Rheindt dari Departemen Ilmu Biologi, Fakultas Sains NUS, melakukan studi genomik populasi pertama yang komprehensif terhadap tiga spesies belangkas Asia: belangkas padi (Carcinoscorpius rotundicauda), belangkas besar (Tachypleus gigas), dan belangkas tiga duri (Tachypleus tridentatus).
Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan yang ada mengenai ketiga spesies tersebut, yang masih sangat terbatas.
Studi ini menekankan pentingnya paparan Sunda di Asia Tenggara, sebuah wilayah laut dangkal, sebagai habitat pesisir yang krusial.
Wilayah ini telah menopang kelangsungan hidup arthropoda purba ini selama ribuan tahun dan berpotensi terus menjadi tempat perlindungan bagi belangkas Asia di tengah percepatan perubahan iklim akibat aktivitas manusia.
Para peneliti juga telah menetapkan kumpulan data dasar genomik pertama bagi spesies ini, yang menjadi landasan bagi perencanaan konservasi yang terarah.
Temuan mereka, yang mengusulkan strategi konservasi berbeda untuk masing-masing spesies, telah dipublikasikan dalam jurnal Conservation Letters pada 16 Desember 2024.
"Untuk melindungi dan melestarikan spesies ini, kita harus terlebih dahulu memahami dasar-dasarnya—struktur populasi mereka, sejarah evolusi, dan kerentanan terhadap perubahan iklim," ujar Prof Madya Rheindt.
"Pengetahuan dasar ini akan memungkinkan kita mengembangkan strategi konservasi yang terarah dan memprioritaskan habitat yang penting bagi kelangsungan hidup mereka."
Melacak dan memantau keberadaan belangkas Asia tidaklah mudah. Hidup mereka sebagian besar tersembunyi di dasar laut, menjadikannya hampir tak terjangkau oleh mata manusia.
Proses pertumbuhan belangkas pun memakan waktu yang cukup lama—hingga 14 tahun untuk mencapai kematangan seksual—sebuah waktu yang jauh melebihi siklus survei tradisional yang biasa digunakan untuk memantau populasi spesies lain.
Untuk mengatasi kesulitan ini, tim peneliti beralih ke pendekatan genomik populasi, mengumpulkan dan menganalisis DNA dari 251 belangkas yang dikumpulkan di 52 lokasi di 11 negara berbeda.
Dengan data ini, para peneliti di NUS menciptakan kumpulan data dasar genomik pertama untuk belangkas Asia. Dataset ini memungkinkan tim untuk memetakan struktur populasi dan menentukan batas-batas genetik di antara ketiga spesies tersebut.
Dengan kumpulan data ini, para ilmuwan di NUS berhasil menciptakan fondasi pertama bagi peta genomik belangkas Asia. Dengan dataset ini, mereka tidak hanya memetakan struktur populasi, tetapi juga mengidentifikasi batas genetik yang membedakan ketiga spesies utama.
"Perbedaan ini penting karena menunjukkan populasi yang memiliki karakter genetik unik yang esensial bagi adaptasi mereka terhadap lingkungan lokal tertentu," ujar Tang Qian, penulis utama studi ini.
"Data genomik juga membantu kami mengidentifikasi hotspot pesisir yang perlu diprioritaskan dalam konservasi."
Studi ini juga mengungkap bagaimana belangkas merespons perubahan lingkungan dari waktu ke waktu. Paparan Sunda terbukti menjadi tempat perlindungan penting bagi belangkas selama periode perubahan iklim di masa lalu.
Dengan mempelajari sejarah evolusi mereka, para peneliti menemukan bahwa wilayah ini tidak hanya mempertahankan keanekaragaman genetik, tetapi juga berfungsi sebagai jalur migrasi yang memungkinkan populasi tetap terhubung meskipun terjadi perubahan lingkungan.
Dibutuhkan Strategi Konservasi yang Disesuaikan
Studi ini menunjukkan bahwa perubahan iklim di masa depan menimbulkan tingkat risiko yang berbeda bagi ketiga spesies belangkas Asia. Meskipun semuanya rentan, kemampuan mereka untuk beradaptasi sangat tergantung pada karakteristik masing-masing.
Contohnya, belangkas padi, dengan kemampuan penyebaran yang terbatas, menghadapi ancaman kepunahan lokal yang lebih besar dibandingkan dengan belangkas besar dan belangkas tiga duri, yang lebih lincah dalam bermigrasi untuk mencari habitat baru.
Maka dari itu, setiap spesies belangkas perlu strategi konservasi disesuaikan, supaya mereka dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim. Berikut strategi konservasi yang diusulkan oleh para peneliti:
Belangkas Padi
Belangkas Besar
Belangkas Tiga Duri
Langkah Para Peneliti Selanjutnya
"Studi kami memberikan dorongan penting dan data dasar yang diperlukan untuk pelestarian habitat demi kelangsungan hidup belangkas di masa depan," ujar Tang, seperti dikutip dari laman Live Science.
"Namun, sebagai catatan penting, penelitian kami hanya didasarkan pada faktor lingkungan dan tidak memperhitungkan aktivitas manusia di masa depan yang dapat langsung mengubah habitat, seperti pembangunan pesisir. Oleh karena itu, kelangsungan hidup belangkas akan sangat bergantung pada intervensi berbasis konteks lokal," ujarnya.
Ke depan, para peneliti berencana untuk mengeksplorasi lebih lanjut potensi evolusi belangkas Asia. Ini mencakup studi tentang bagaimana gen fungsional tertentu berkontribusi terhadap kemampuan adaptasi mereka terhadap lingkungan lokal dan perubahan iklim.
"Kami telah mendirikan Horseshoe Crab Global Biorepository, dengan koleksi fisiknya berada di Lee Kong Chian Natural History Museum di NUS, untuk mendukung penelitian yang sedang berlangsung maupun yang akan datang," tambah Prof Madya Rheindt.
"Dengan sumber daya ini, kami berharap dapat mendorong kolaborasi dan mendapatkan pendanaan untuk memajukan penelitian genomik belangkas. Saat ini, kami sedang bekerja sama dengan Chinese University of Hong Kong dalam penelitian genomik yang secara khusus berfokus pada belangkas tiga duri."
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR