Nationalgeographic.co.id—Sebuah terobosan metode revolusioner telah hadir, menjanjikan solusi inovatif untuk mengatasi tantangan perubahan iklim sekaligus menyediakan sumber energi yang lebih bersih.
Para ilmuwan berhasil mengembangkan sebuah dual-site catalyst (katalis dwi-situs) yang luar biasa efisien, mampu mengubah karbon dioksida (CO2)—gas rumah kaca utama pendorong perubahan iklim—menjadi energi terpakai dengan peningkatan efisiensi yang signifikan.
Katalis inovatif ini secara khusus dirancang untuk meningkatkan produksi metanol dari CO2, sebuah langkah maju yang menjanjikan dalam upaya menciptakan bahan bakar dan bahan kimia yang lebih ramah lingkungan.
Penemuan penting ini menandai kemajuan besar dalam produksi metanol, sebuah komponen krusial dalam pembuatan berbagai produk sehari-hari, mulai dari plastik hingga cat, dan juga sebagai sumber energi hijau yang sangat menjanjikan. Kini, berkat terobosan katalis dwi-situs ini, produksi metanol diharapkan dapat dilakukan dengan lebih efisien dan dalam skala yang lebih besar.
Kemajuan ilmiah ini adalah hasil kolaborasi erat antara para peneliti dari berbagai institusi, termasuk kontribusi penting dari dua peneliti berbakat dari Oregon State University (OSU), yaitu Zhenxing Feng dan Alvin Chang dari Fakultas Teknik OSU.
Keahlian mereka berperan sentral dalam mengarakterisasi elektrokatalis baru yang dikembangkan oleh para peneliti dari Universitas Yale. Melalui penelitian mendalam, Feng dan Chang berhasil menguraikan mekanisme kerja katalis tersebut dalam meningkatkan konversi CO2 menjadi metanol, memberikan pemahaman krusial yang mempercepat aplikasi teknologi ini.
Penelitian yang sangat berdampak ini mendapatkan dukungan dana prestisius dari National Science Foundation dan Yale Center for Natural Carbon Capture. Pengakuan atas signifikansi penemuan ini semakin ditegaskan dengan publikasinya di jurnal Nature Nanotechnology dengan tajuk "Molecular-scale CO spillover on a dual-site electrocatalyst enhances methanol production from CO2 reduction" pada 18 Februari 2025.
Desain katalis dwi-situs yang menjadi inti dari terobosan ini, seperti dilansir laman SciTechDaily, dirancang dengan menggabungkan dua situs katalitik yang berbeda pada lokasi yang sangat berdekatan, dipisahkan hanya sekitar 2 nanometer pada struktur tabung nano karbon.
Desain yang cermat ini merepresentasikan lompatan signifikan dibandingkan dengan katalis situs tunggal generasi sebelumnya. Katalis dwi-situs ini tidak hanya meningkatkan laju produksi metanol secara dramatis, tetapi juga mencapai efisiensi Faradaik yang jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 50%.
Peningkatan efisiensi Faradaik ini sangat penting karena berarti bahwa proses konversi menjadi lebih hemat energi, dengan lebih sedikit energi listrik yang terbuang selama proses katalisis reaksi. Sebagai perbandingan, katalis situs tunggal sebelumnya hanya mampu beroperasi dengan efisiensi Faradaik kurang dari 30%.
Dengan demikian, katalis dwi-situs ini menawarkan peningkatan efisiensi produksi metanol sebesar 1,5 kali lipat, membuka jalan bagi produksi bahan bakar dan bahan kimia yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan di masa depan.
Baca Juga: Simpan Lebih Banyak Karbon Dibandingkan Seluruh Hutan di Dunia, Lahan Gambut Justru Diabaikan?
Metanol: Kunci bahan bakar berkelanjutan masa depan
Metanol, yang juga dikenal sebagai alkohol kayu, muncul sebagai senyawa kimia yang sangat penting dengan potensi ganda: sebagai bahan baku industri yang fleksibel dan sumber energi hijau yang menjanjikan. Menurut Chang, metanol adalah fondasi bagi berbagai produk yang kita gunakan sehari-hari.
"Metanol merupakan bahan baku kimia yang serbaguna, digunakan dalam produksi ratusan produk umum, termasuk plastik, berbagai jenis bahan kimia, dan pelarut," jelas Chang. Pernyataan ini menggarisbawahi betapa vitalnya metanol dalam rantai produksi industri modern.
Lebih dari sekadar bahan baku kimia, metanol juga memiliki peran krusial dalam mengatasi tantangan energi dan lingkungan global. Senyawa ini merupakan bahan bakar yang relatif bersih pembakarannya, sehingga menjadikannya alternatif yang menarik untuk bahan bakar konvensional.
Metanol dapat diaplikasikan dalam berbagai teknologi energi, mulai dari sel bahan bakar yang efisien, sebagai pengganti bensin dalam mesin pembakaran internal kendaraan bermotor, hingga bahan bakar untuk sektor maritim dan pembangkit listrik skala besar.
Salah satu aspek paling menarik dari metanol adalah potensi produksinya yang berkelanjutan. Metanol dapat dihasilkan dari berbagai sumber yang tidak hanya terbatas pada bahan bakar fosil. Sumber-sumber seperti limbah pertanian dan limbah perkotaan, serta yang terpenting, emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, dapat diubah menjadi metanol.
Proses reduksi CO2 elektrokimia, yang digerakkan oleh energi listrik terbarukan, memungkinkan konversi emisi karbon berbahaya menjadi bahan bakar yang berguna. Proses inovatif ini tidak hanya menghasilkan bahan bakar yang lebih bersih, tetapi juga secara aktif mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
Dengan demikian, metanol menawarkan solusi ganda: memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat sambil secara bersamaan membantu meringankan masalah perubahan iklim. Para peneliti optimis bahwa pemanfaatan metanol secara luas akan memainkan peran kunci dalam transisi menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan masa depan yang lebih berkelanjutan.
Sains di balik katalis baru
Dalam dunia kimia, katalis memegang peranan krusial sebagai agen yang mempercepat reaksi kimia tanpa ikut berubah atau dikonsumsi dalam proses tersebut. Lebih spesifik lagi, elektrokatalis, sebuah jenis material istimewa, memiliki kemampuan untuk mempercepat reaksi elektrokimia dengan cara menurunkan energi aktivasi yang dibutuhkan.
Molekul kobalt ftalosianin yang didukung oleh tabung nano karbon ternyata menjadi kunci dalam mengatalisis reduksi elektrokimia CO2 menjadi metanol, sebuah proses yang sangat menjanjikan untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dan menghasilkan bahan bakar alternatif.
Baca Juga: Proses Kimia Cerdas Ini Bisa Buat Batuan Serap Karbon Dioksida Lebih Cepat
Menurut Feng, molekul kobalt ftalosianin yang dirancang ini termasuk dalam golongan material langka yang mampu mengatalisis reaksi reduksi CO2 menjadi metanol. Generasi katalis sebelumnya, yang hanya mengandalkan molekul kobalt tetraaminofalosianin sebagai pusat aktif, memiliki keterbatasan dalam hal selektivitas terhadap metanol.
Chang menjelaskan bahwa reaksi reduksi elektrokimia CO2 berlangsung dalam dua tahap penting. Tahap pertama adalah konversi CO2 menjadi karbon monoksida (CO), yang kemudian diikuti oleh tahap kedua, yaitu transformasi CO menjadi metanol.
"Keterbatasan katalis situs tunggal terletak pada 'pertukaran yang merugikan'," ungkap Chang. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa pada potensial optimal untuk mengatalisis tahap perubahan CO menjadi metanol, katalis generasi lama tersebut justru kurang efisien dalam mengkonversi CO2 menjadi CO pada tahap awal.
Untuk mengatasi kendala ini, tim peneliti melakukan inovasi dengan memperkenalkan nikel tetrametoksiftalosianin ke dalam sistem katalitik. Hasilnya sangat menggembirakan.
Mereka menemukan bahwa kehadiran nikel tetrametoksiftalosianin mampu berperan sebagai katalis pendamping yang efektif dalam mempercepat tahap konversi CO2 menjadi CO. Sinergi antara kobalt ftalosianin dan nikel tetrametoksiftalosianin dalam katalis hibrida ini menghasilkan peningkatan produksi metanol yang signifikan.
Feng dengan antusias menyatakan bahwa "Katalis hibrida yang dikembangkan ini menunjukkan efisiensi katalitik yang belum pernah dicapai sebelumnya, hampir 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan katalis generasi sebelumnya."
Peningkatan performa yang luar biasa ini kemudian diinvestigasi lebih lanjut menggunakan teknik spektroskopi canggih, yaitu spektroskopi getaran dan sinar-X.
Analisis mendalam ini mengungkapkan bahwa peningkatan efisiensi tersebut disebabkan oleh mekanisme transfer karbon monoksida (CO) yang unik. CO hasil konversi dari CO2 pada situs nikel, secara efisien ditransfer ke situs kobalt pada tabung nano karbon yang sama, untuk kemudian diproses lebih lanjut menjadi metanol.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR