Nationalgeographic.co.id—Selama ini, agama dan sains sering kali dianggap sebagai dua entitas yang saling bertentangan, bak dua sisi mata uang yang berbeda; agama berlandaskan pada keyakinan, sementara sains dibangun di atas fondasi logika dan bukti empiris.
Namun, pertanyaan mendasar muncul ketika kita membayangkan kemungkinan pertautan di antara keduanya: Apa yang terjadi ketika wilayah keyakinan dan rasionalitas ini saling bersinggungan?
Baru-baru ini, seorang ilmuwan dari Universitas Harvard telah memicu gelombang diskusi yang menarik perhatian banyak pihak dengan klaimnya yang cukup kontroversial. Ia menyatakan telah berhasil merumuskan sebuah persamaan matematika yang, menurutnya, dapat membuktikan keberadaan Tuhan.
Tokoh ilmuwan di balik klaim yang menggemparkan ini adalah Dr. Willie Soon, seperti dilansir laman Times of India, seorang astrofisikawan dan insinyur kedirgantaraan yang memiliki reputasi di bidangnya.
Dalam sebuah wawancara eksklusif di Tucker Carlson Network, Dr. Soon mengemukakan pandangan pribadinya bahwa hubungan antara agama dan sains jauh lebih erat dari yang selama ini kita sadari.
Ia berpendapat bahwa prinsip-prinsip matematika, yang merupakan bahasa universal alam semesta, dan berbagai penemuan ilmiah justru memberikan dukungan terhadap gagasan bahwa alam semesta ini tercipta dengan tujuan yang terarah. Argumen ini menantang pandangan umum yang memisahkan agama dan sains sebagai dua ranah yang terpisah.
Untuk memperkuat argumentasinya, Dr. Soon mengambil inspirasi dari karya seorang fisikawan terkemuka asal Inggris, Paul Dirac. Dirac dikenal luas atas keberhasilannya dalam memprediksi secara matematis keberadaan antimateri, khususnya positron, yang merupakan pasangan elektron. Prediksi revolusioner ini Dirac sampaikan pada tahun 1928.
Namun, perlu waktu beberapa tahun sebelum prediksi tersebut terkonfirmasi secara eksperimental. Pada tahun 1932, Carl Anderson berhasil menemukan positron, membuktikan kebenaran perhitungan matematis Dirac.
Bagi Dr. Soon, kejadian ini bukanlah sekadar kebetulan semata. Ia melihatnya sebagai sebuah contoh nyata bagaimana matematika memiliki kekuatan untuk mengungkap kebenaran-kebenaran fundamental tentang alam semesta, bahkan sebelum kebenaran tersebut dapat diamati secara langsung melalui eksperimen.
Ia berpendapat bahwa momen-momen seperti ini memberikan petunjuk tentang adanya tatanan yang lebih dalam di alam semesta, sebuah tatanan yang mungkin tidak dapat dijelaskan sepenuhnya hanya dengan pendekatan sains konvensional.
Lebih lanjut, Dr. Soon juga menyinggung misteri yang masih menyelimuti geometri matematika, terutama konsep kompleks mengenai kelengkungan tertutup dalam ruang-waktu yang tidak dipengaruhi oleh gravitasi.
Baca Juga: Pohon Iroko, 'Singgasana Tuhan' yang Cerminkan Aspek Spiritual dan Ekologis
Konsep-konsep ini, yang dianggap sebagai anomali yang berpotensi mengganggu pemahaman kita yang mapan tentang alam semesta, masih relatif jarang dibahas dalam wacana ilmiah populer.
Meskipun Dr. Soon tidak secara spesifik menyebutkan contoh-contoh dari fisika teoretis untuk mendukung klaimnya, sebenarnya terdapat beberapa teori yang mengeksplorasi ide-ide serupa, yang secara tidak langsung dapat memperkuat argumentasinya.
Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada karya Hermann Weyl tentang kelengkungan ruang-waktu. Weyl menawarkan pendekatan yang berbeda untuk mengukur struktur ruang dengan mendefinisikan medan gravitasi tanpa harus bergantung pada konsep massa-energi tradisional.
Teori lain yang relevan adalah "Geometrodinamika" yang dikembangkan oleh John Archibald Wheeler. Wheeler berteori bahwa seluruh fenomena fisik di alam semesta dapat dijelaskan melalui geometri ruang-waktu itu sendiri. Teori ini menyiratkan bahwa ruang-waktu yang melengkung mungkin dapat eksis bahkan tanpa keberadaan sumber massa-energi konvensional.
Selain itu, solusi Willem de Sitter terhadap persamaan medan Einstein menggambarkan kemungkinan adanya alam semesta di mana kelengkungan ruang-waktu didorong oleh konstanta kosmologis, bukan oleh materi.
Konsep-konsep fisika teoretis yang kompleks ini, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan oleh Dr. Soon dalam wawancaranya, justru memberikan dukungan implisit terhadap argumen yang ia kemukakan.
Argumen tersebut menyatakan bahwa terdapat aspek-aspek tertentu di alam semesta yang mungkin berada di luar jangkauan penjelasan sains konvensional, setidaknya untuk saat ini.
Dr. Soon menyimpulkan pandangannya dengan pernyataan yang cukup reflektif, "Terkadang kita harus menundukkan kepala dan menarik napas dalam-dalam, mungkin beberapa kekuatan yang selalu hadir akan menerangi hidup kita. Tuhan telah memberi kita cahaya. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengikutinya."
Selain pandangannya yang cukup radikal tentang hubungan antara Tuhan dan sains, Dr. Soon juga menjadi sorotan media karena sikapnya yang kontroversial terkait isu pengurangan emisi CO2.
Ia secara terbuka menyebut CO2 sebagai "gas kehidupan," dan berargumen bahwa peningkatan kadar gas ini di atmosfer justru bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dan produksi pangan, alih-alih merusak planet bumi.
Pandangan ini tentu saja bertentangan secara diametral dengan konsensus ilmiah arus utama, yang secara luas mendukung gagasan bahwa aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil, adalah pendorong utama perubahan iklim global.
Sebaliknya, Dr. Soon meyakini bahwa variasi alami aktivitas matahari merupakan penyebab utama dari pemanasan global yang terjadi saat ini.
Terlepas dari pandangannya yang berbeda mengenai CO2, teori utama Dr. Soon tetaplah upayanya untuk menjembatani kesenjangan antara dua ranah yang sering dianggap terpisah, yaitu sains dan agama, dan dengan demikian membuka ruang untuk diskusi yang lebih mendalam dan inklusif mengenai topik-topik fundamental yang memengaruhi eksistensi manusia.
KOMENTAR