Nationalgeographic.co.id—Para peneliti di seluruh dunia telah lama berupaya untuk mereplikasi keajaiban fotosintesis, sebuah proses alami yang digunakan tumbuhan untuk mengubah sinar matahari dan karbon dioksida menjadi energi.
Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah pengembangan "daun buatan," perangkat inovatif yang dirancang untuk meniru fungsi daun tumbuhan dengan memanfaatkan energi matahari untuk memecah air menjadi oksigen dan hidrogen.
Hidrogen yang dihasilkan kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk kendaraan atau sebagai sumber energi listrik. Kini, sebuah terobosan signifikan telah dicapai oleh tim peneliti yang berfokus pada produksi bahan bakar yang lebih padat energi.
Terobosan dalam Produksi Hidrokarbon oleh Daun Buatan
Meskipun produksi bahan bakar sintetis melalui kombinasi karbon monoksida dan hidrogen di bawah kondisi suhu tinggi telah berlangsung selama hampir satu abad, harapan baru muncul dengan potensi daun buatan untuk melakukan sintesis serupa secara lebih berkelanjutan dan efisien, menggunakan kekuatan matahari sebagai sumber energi utama.
Baru-baru ini, sebuah tim peneliti berhasil mendemonstrasikan kemampuan daun buatan untuk menghasilkan etilena dan etana, dua jenis hidrokarbon yang membuktikan bahwa perangkat ini mampu menciptakan molekul bahan bakar yang lebih kompleks.
Perkembangan yang dipublikasikan pada bulan Februari oleh para peneliti di University of Cambridge dan University of California, Berkeley ini berpotensi merevolusi cara kita memproduksi bahan bakar, bahan kimia, dan plastik, menawarkan alternatif yang lebih murah dan bersih.
Menurut Virgil Andrei, pemimpin penelitian di University of Cambridge, tujuan utama dari inovasi ini adalah untuk menghasilkan bahan bakar yang tidak meninggalkan jejak karbon berbahaya setelah pembakaran.
Lebih jauh lagi, jika proses ini memanfaatkan karbon dioksida yang ditangkap langsung dari udara atau dari emisi pembangkit listrik, bahan bakar yang dihasilkan dapat menjadi netral karbon, sehingga secara signifikan mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil.
Andrei, yang juga merupakan salah satu penulis studi yang diterbitkan di jurnal Nature Catalysis, menyatakan, "Pada akhirnya, kami ingin dapat memperoleh karbon dioksida untuk memproduksi bahan bakar dan bahan kimia yang kami butuhkan untuk industri dan kehidupan sehari-hari.
“Hasil akhirnya adalah meniru siklus karbon alami, sehingga tidak membutuhkan sumber daya fosil tambahan," papar Andrei seperti dilansir laman MIT Technology Review.
Baca Juga: Apa yang Dimaksud dengan Net Zero Terkait Emisi Karbon? Kenapa Ini Penting?
Inovasi Katalis Tembaga dan Proses Berbasis Gliserol
Berbeda dengan produksi hidrogen yang relatif sederhana, sintesis hidrokarbon memerlukan lebih banyak energi. Untuk mengatasi tantangan ini, tim peneliti memperkenalkan beberapa inovasi kunci dalam desain perangkat mereka.
Pertama, mereka menggunakan katalis khusus yang terbuat dari struktur tembaga berukuran nano yang menyerupai bunga kecil. Struktur unik ini dikembangkan di laboratorium Peidong Yang di Universitas California, Berkeley.
Dalam perangkat tersebut, elektron terakumulasi di permukaan "bunga nano" tembaga ini. Elektron-elektron inilah yang kemudian berperan dalam mengubah karbon dioksida dan air menjadi berbagai molekul, termasuk etilena dan etana, yang keduanya merupakan hidrokarbon dengan dua atom karbon.
Andrei menekankan fleksibilitas struktur bunga nano ini, yang dapat disesuaikan untuk menghasilkan berbagai macam molekul, dengan mengatakan, "Tergantung pada nanostruktur katalis tembaga, Anda bisa mendapatkan produk yang sangat berbeda."
Inovasi kedua terletak pada sisi lain perangkat, di mana tim mengembangkan metode yang lebih hemat energi untuk menghasilkan elektron. Mereka menggunakan silicon nanowires penyerap cahaya untuk memproses gliserol, bukan air yang lebih umum digunakan.
Keuntungan tambahan dari pendekatan berbasis gliserol ini adalah kemampuannya untuk menghasilkan senyawa bermanfaat seperti gliserat, laktat, dan asetat, yang memiliki aplikasi potensial dalam industri kosmetik dan farmasi.
Meskipun hasil dari sistem percobaan ini sangat menjanjikan, para peneliti mengakui bahwa masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan sebelum teknologi ini dapat diimplementasikan secara komersial.
Yanwei Lum, seorang asisten profesor teknik kimia dan biomolekuler di National University of Singapore, memberikan perspektif yang seimbang dengan menyatakan, "Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep ini dapat bekerja, kinerjanya masih belum cukup untuk aplikasi praktis. Belum sampai di sana"
Virgil Andrei juga mengakui bahwa perangkat tersebut perlu ditingkatkan secara signifikan dalam hal daya tahan dan efisiensi agar layak untuk produksi bahan bakar skala besar.
Meskipun demikian, ia tetap optimis tentang masa depan teknologi ini, mencatat bahwa kemajuan yang telah dicapai didukung oleh konsep-konsep yang lebih tidak konvensional dan teknik-teknik mutakhir yang sebelumnya tidak tersedia.
“Saya cukup optimis bahwa teknologi ini bisa lepas landas dalam lima hingga 10 tahun ke depan,” ujar Andrei, menunjukkan optimismenya.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
KOMENTAR