Nationalgeographic.co.id—Tim nasional (timnas) sepak bola Indonesia dianggap tidak cocok menerapkan gaya atau taktik total football ala Belanda. Alex Pastoor, asisten pelatih timnas sepak bola Indonesia, pernah mengatakan bahwa skuad timnas Indonesia lebih cocok untuk menerapkan taktik catenaccio ala Italia.
Dalam bahasa Italia, catenaccio berarti "kunci". Jadi, dapat diartikan bahwa catenaccio adalah strategi permainan dengan pertahanan yang terorganisir dan efektif agar lawan kesulitan menyerang atau mencetak gol.
Sejarah mencatat bahwa timnas sepak bola Italia memang jauh lebih sukses daripada timnas sepak bola Belanda. Timnas Italia telah meraih empat gelar Piala Dunia, sedangkan timnas Belanda nihil gelar tersebut.
Saat ini sepak bola telah menjadi olahraga paling populer di seluruh dunia. Kini, jutaan penggemar mengikuti olahraga permainan ini. Mereka mendukung tim mereka, menonton pertandingan mereka, dan membuat prediksi sepak bola untuk setiap pertandingan.
Namun, tidak semua penggemar olahraga ini tahu bahwa sepak bola telah berubah secara signifikan selama bertahun-tahun. Ini bukan hanya tentang aturan, melainkan juga tentang skema taktis masing-masing tim.
Kini, taktik sepak bola telah berevolusi dari "tendang dan lari" yang biasa menjadi "tiki-taka" yang sangat rumit.
Taktik Tendang dan Lari
Secara skematis, taktik ini dapat digambarkan sebagai formasi 1-2-7. Dikutip dari maltafootball.com, taktik ini dipilih karena aturan sepak bola saat itu.
Awalnya, dalam olahraga ini, ada larangan mengoper bola ke depan. Oleh karena itu, bola dibuat mendekati gawang terutama melalui dribel. Umpan ke belakang sangat jarang.
Tentu saja, sulit untuk menyebut permainan tendang dan lari ini sebagai taktik. Permainan ini lebih banyak berlari dan mengejar pembawa bola secara konstan.
Namun, pada tahun 1866, aturan diubah, dan operan ke depan diizinkan untuk dilakukan. Dalam hal ini, penerima operan harus berada lebih jauh dari gawang daripada setidaknya 3 pemain tim lawan. Aturan ini adalah interpretasi pertama dari offside.
Baca Juga: Benang Merah Sejarah Naturalisasi Timnas, Maluku, dan Belanda
Taktik Piramida Inggris
Alasan munculnya skema permainan ini adalah beberapa kekalahan timnas Inggris dalam pertandingan dengan Skotlandia pada tahun 1870-1875. Timnas Skotlandia menggunakan skema yang tidak dikenal oleh lawan, yakni formasi 2-2-6, berhasil mengalahkan Inggris.
Setelah kekalahan lainnya, pelatih Inggris mulai mengembangkan skema yang lebih relevan dan mengembangkan formasi 2-3-5. Secara visual, itu menyerupai piramida.
Itulah sebabnya taktik ini disebut piramida Inggris. Itu sangat efektif dan digunakan hingga tahun 40-an abad ke-20.
Perubahan utama dalam taktik piramida Inggris adalah bahwa 3 gelandang tidak hanya harus membantu dalam serangan, tetapi juga harus mundur ke pertahanan tepat waktu.
Ini memastikan bahwa jumlah pemain bertahan yang bertemu lawan sama dengan jumlah pemain depan. Pemenang Piala Dunia pertama pada tahun 1930, yakni timnas Uruguay, menggunakan skema ini.
Variasi yang tidak biasa dari piramida semacam itu adalah "metodo", yang diciptakan pada tahun 30-an oleh pemain Italia Vittorio Pozzo. Ia memutuskan untuk menggeser 2 pemain depan lebih dekat ke tengah lapangan dan skemanya menjadi 2-3-2-3. Berkat ini, timnas Italia memenangkan 2 Piala Dunia pada tahun 1934 dan 1938.
Menariknya, versi "metodo" yang berbeda digunakan oleh pelatih modern. Misalnya, Pep Guardiola sangat menyukainya dan menggunakannya di Manchester City dan Barcelona.
Sistem Brasil dan Catenaccio
Taktik ini digunakan oleh tim nasional Brasil di Piala Dunia 1950. Melawan tim yang bermain “metodo”, mereka mulai menggunakan skema menyerang 4-2-4. Namun, jika terjadi serangan, 2 bek sayap digeser tajam ke depan dan berubah menjadi 2-4-4.
Selain itu, 2 penyerang tengah tim adalah penyerang tipe ram. Mereka menyapu bersih para bek, memberi ruang bagi manuver pemain kreatif seperti Pele.
Namun, skema ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama adalah kesulitan menggerakkan bek sayap. Kedua, para penyerang tidak punya waktu untuk berganti ke pertahanan saat kehilangan bola. Dan ketiga, bagian tengah lapangan sering melorot.
Oleh karena itu, skema Brasil itu mulai diubah pada tahun 1962 dan muncullah skema 4-3-3.
Orang Italia mencoba menentang varian taktik ini. Mereka menciptakan skema yang disebut “catenaccio”. Tugasnya adalah mengatur tekanan padat di separuh lapangan mereka.
Tiga bek bermain secara individu melawan 3 penyerang. Jika salah satu dari mereka dilewati, libero datang untuk mendukung. Secara skematis, catenaccio adalah 1-3-3-3.
Taktik Klasik
Setelah Piala Dunia 1966, taktik baru 4-4-2 dari pemenang turnamen Inggris menjadi populer. Taktik ini masih digunakan oleh sebagian besar pelatih hingga saat ini.
Fitur utama dari skema ini adalah saturasi bagian tengah lapangan untuk mengatur serangan dengan ketat dan membentuk jembatan pertahanan dalam pertahanan.
Selain itu, dalam skema ini muncul posisi nomor 6 atau "pemotong gelombang". Ia harus berkonsentrasi membantu para pemain bertahan dan dengan cepat menghentikan serangan lawan di lini belakang. Dalam permainan dengan pemecah gelombang, skema berubah menjadi 4-1-3-2.
Total Football
Pada tahun 70-an abad lalu, taktik sepak bola total 4-3-3 digunakan. Taktik ini dimainkan oleh tim yang kuat secara fisik, dan para pemain dapat dengan cepat menggantikan fungsi satu sama lain.
Taktik ini dicetak oleh pemain yang sama sekali berbeda karena secara situasional bahkan seorang pemain bertahan dapat berada di posisi penyerang.
Taktik ini terutama sering digunakan oleh timnas Belanda. Namun, ada juga kekurangannya.
Pertama, sulit merekrut pemain dengan kondisi fisik yang tepat. Kedua, pemain tidak dapat melewati musim tanpa kemerosotan. Dan ketiga, taktik ini akan bekerja dengan sempurna dalam beberapa pertandingan, tetapi tidak dalam musim yang panjang.
Dalam permainan modern, total football hanya digunakan dalam pertandingan yang paling penting. Dengan komposisi pemain yang idel, ini mungkin bisa menjadi skema yang ideal untuk membingungkan lawan dan memenangkan pertandingan penting.
Taktik Modern: Tiki-taka vs Parkir Bus
Ada banyak pemain yang kuat secara teknis dalam sepak bola modern. Namun, tim yang lebih lemah juga perlu menemukan cara untuk mengalahkan tim tersebut. Itulah sebabnya hampir semua tim terbagi dalam skema bermain parkir bus dan tiki-taka.
Tiki-taka terutama digunakan oleh tim yang kuat secara teknis, misalnya timnas Spanyol 2008-2014. Ini didasarkan pada pergerakan bola yang konstan, mengendalikannya, dan menggunakan umpan pendek. Lawan hanya mengejar pemain tim dan sangat melelahkan untuk bermain sepak bola tanpa bola.
Selama beberapa tahun, sangat sulit untuk melawan tim-tim seperti itu hingga taktik yang sangat defensif muncul. Tim-tim bertahan di setengah lapangan mereka dan tidak membiarkan lawan mereka mendekati area penalti.
Akibatnya, para pemain yang bermain tiki-taka menggulirkan bola di sekitar lapangan, tetapi mendekati gawang tidak dapat berbuat apa-apa. Satu-satunya yang tersisa adalah menendang gawang dari jauh, dan itu tidak selalu memberikan hasil.
Taktik defensif ini disebut parkir bus. Taktik ini sangat sering digunakan melawan tim-tim teknis oleh Jose Mourinho.
Secara skematis, taktik ini adalah 6-2-2. Karena adanya beberapa garis, taktik ini juga disebut bus tingkat. Meski terlihat tidak indah dilihat, taktik ini memungkinkan Mourinho memenangkan Liga Champions dua kali.
Seperti yang Anda lihat, dunia sepak bola telah banyak berkembang secara taktis. Di suatu tempat transformasi tersebut dipengaruhi oleh perubahan aturan. Namun, sebagian besar adalah keputusan pelatih untuk menemukan penawar bagi komposisi pemain lawan yang secara teknis lebih kuat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR