Nationalgeographic.co.id—Hari Idulfitri atau Lebaran jatuh pada setiap tanggal 1 Syawal. Syawal adalah salah satu bulan dalam kalender Hijirah.
Kalender Hijriah adalah penanggalan yang digunakan oleh umat Islam. Sistem penanggalan ini didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi.
Fenomena yang digunakan untuk menandai tanggal 1 setiap bulan dalam penanggalan Hijriah adalah terlihatnya Bulan sabit muda yang sangat tipis beberapa saat setelah Matahari terbenam. Bulan sabit muda yang sangat tipis ini lazim disebut sebagai hilal.
Pergantian hari dalam penanggalan Hijriah dimulai sejak terbenamnya Matahari, tidak seperti penanggalan Masehi yang pergantian harinya dimulai sejak tengah malam. Jadi jika hilal terlihat, itu tandanya kita telah mamasuki hari bulan baru dalam penanggalan Hijriah.
Hilal biasanya muncul beberapa jam setelah fase Bulan Baru astronomis, yang mana Bulan Baru ini ditandai oleh nilai bujur ekliptika Matahari maupun Bulan yang bernilai sama. Dengan kata lain, sebagaimana dikutip dari laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), selisih bujur ekliptika antara Matahari dan Bulan bernilai nol derajat.
Bujur ekliptika sendiri adalah sudut yang ditempuh benda langit di sepanjang ekliptika atau bidang edar yang diukur dari Titik Pertama Aries (First Point of Aries) atau perpotongan antara ekliptika dengan ekuator langit atau perpanjangan ekuator Bumi yang memotong bola langit.
Selang waktu dari Bulan Baru ke Bulan Baru berikutnya berkisar antara 29 hari 5,5 jam hingga 29 hari 20 jam. Inilah yang membuat terkadang umur bulan dalam penanggalan Hijriah terkadang 29 hari, terkadang 30 hari.
Terkadang umur bulan dalam penanggalan Hijirah berselang-seling 29 dan 30 hari, terkadang dua bulan berturut-turut 29 hari dan terkadang dua bulan berturut-turut 30 hari.
Hilal awal bulan Hijriah
Hilal adalah terlihatnya fase pertama Bulan yang biasanya tampak dalam bentuk Bulan sabit. Namun, Bulan sabit juga menjadi penanda fase akhir bulan.
Untuk membedakan antara Bulan sabit penanda awal bulan dengan penanda akhir bulan, perlu sebuah fenomena lain untuk dimasukan dalam pengamatan hilal. Fenomena tersebut disebut sebagai konjungsi.
Baca Juga: Sains di Balik Bulan Darah: Dari Asal Warna 'Darah' sampai Cara Melihatnya
Konjungsi merupakan beradanya Bulan dan Matahari pada posisi bujur ekliptika yang sama. Ini terjadi pada setiap peralihan antara Bulan yang sedang berlangsung dengan Bulan baru.
Bila sebelum konjungsi terjadi ada Bulan yang terlihat, dapat dipastikan Bulan tersebut masih menjadi bagian dari bulan yang sedang berlangsung.
“Yang disebut penentu hilal atau tanda penentu masuknya Bulan baru itu, pertama, harus terjadi setelah konjungsi, dan yang kedua, harus bisa diamati setelah matahari terbenam. Artinya ya konjungsi harus terjadi sebelum matahari terbenam.” ujar Peneliti Bosscha, Agus Triono, seperti dikutip dari laman Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada saat terjadi konjungsi pula, cahaya yang terlihat menjadi jauh lebih redup, “Kalau purnama yang terlihat 10.000 bagian, kalau sekarang yang terlihat cuma 17 bagian saja dari 10.000 itu saat konjungsi.”
Berapa derajat?
Dikutip dari laman UMSU, selama Bulan dalam fase sabit muda, kurang dari separuh Bulan terkena pantulan sinar matahari. Hasilnya, bulan akan tampak berbentuk bulan sabit.
Standar baru yang ditetapkan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) menyebutkan jika posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat, visibilitas hilal baru akan terlihat.
Elongasi Bulan dan Matahari adalah jarak sudut antara pusat piringan Bulan dan pusat piringan Matahari yang diamati oleh pengamat di permukaan Bumi.
Dalam kalender Hijriah, hari pertama periode bulan baru ditetapkan jika prasyarat ini terpenuhi.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR