Nationalgeographic.co.id—Jika Anda aktif mengikuti influencer kebugaran dan gaya hidup sehat di media sosial, kemungkinan besar Anda pernah melihat video seseorang memuji air klorofil dan berbagai manfaat yang diklaim menyertainya.
Bahkan tampilan visual saat meneteskan suplemen klorofil—yang biasanya dijual dalam bentuk cairan pekat—ke dalam segelas air besar tampak begitu dramatis dan menarik: semburat gelap yang perlahan larut, lalu berubah menjadi cairan hijau zamrud yang mencolok.
Janji-janji seperti kulit lebih cerah, napas lebih segar, perut tidak mudah kembung, dan energi yang meningkat membuat air klorofil menjadi salah satu tren kesehatan yang paling diminati saat ini.
Namun, pertanyaannya: apakah air klorofil benar-benar memberikan manfaat seperti yang disebutkan? Benarkah klaim tersebut didukung oleh bukti ilmiah?
Apa Itu Klorofil?
Klorofil adalah pigmen hijau alami yang terdapat di dalam sel tumbuhan. Pigmen ini digunakan sebagai sumber energi untuk mengubah karbon dioksida dan air menjadi makanan bagi tumbuhan melalui proses fotosintesis—proses yang juga menghasilkan oksigen ke udara.
Nutrisi ini secara alami ditemukan dalam buah dan sayuran berwarna hijau, seperti bayam, brokoli, dan kiwi.
Sebagai suplemen, klorofil umumnya dijual dalam bentuk cairan tetes (tincture) atau pil. Namun, bentuk ini tidak identik secara kimia dengan klorofil alami.
“Biasanya, suplemen ini berbentuk klorofilin, yaitu versi klorofil yang larut dalam air dan mengandung tembaga serta natrium,” jelas Vijaya Surampudi, profesor madya bidang kedokteran dan salah satu pendiri layanan dukungan nutrisi dewasa untuk pasien enteral, manajemen TPN, dan klinik nutrisi onkologi di UCLA.
Klorofilin merupakan versi sintetis dari klorofil alami. Pada klorofilin, atom magnesium di pusat molekulnya digantikan oleh atom tembaga, yang membuatnya jauh lebih stabil dibanding bentuk alaminya.
Mengapa Klorofil Begitu Populer?
Pada akhir 1930-an, seorang peneliti dari Temple University bernama Benjamin Gruskin tertarik mempelajari penggunaan klorofil untuk mengobati luka infeksi dan borok.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR