Ketika mereka membedah mayat, mereka mengidentifikasi bahan-bahan ini sebagai serpihan kayu dari pohon cemara dan pinus, potongan ranting, dan kain seperti linen, rami, dan flax. Bahan-bahan ini kemungkinan mudah didapatkan oleh orang-orang pada saat itu, dan tampaknya telah digunakan sebagai cara sederhana untuk mengeringkan bagian tubuh yang basah segera setelah kematian.
“Jelas, serpihan kayu, ranting, dan kain kering menyerap banyak cairan di dalam rongga perut,” tambah Nerlich.
Metode pembalsaman ini sangat berbeda dengan praktik lain mumifikasi yang banyak dikenal. Biasanya, jenazah dibuka dan dipersiapkan untuk proses mumifikasi. Namun, orang yang membalsem pendeta ini melakukannya dengan memasukkan bahan-bahan ke dalam rektum jenazah.
"Ini adalah kasus pertama di mana tubuh mumi diidentifikasi telah 'dibalsem' dengan memasukkan berbagai zat ke dalam rongga perut dan panggul melalui lubang anus," tutur Nerlich.
Nerlich mengatakan pengisian ini dilakukan untuk menyerap cairan dari bagian dalam tubuh dan cara ini menghasilkan pengawetan toraks dan abdomen yang sangat baik.
Jika tubuh tersebut dikubur dalam penguburan tanah biasa, dinding abdomen akan menghilang setelah beberapa waktu. Peneliti mungkin hanya akan menemukan beberapa serpihan kayu dan kain yang mungkin berasal dari permukaan tubuh.
Selama pemeriksaan, para peneliti juga menemukan sebuah bola kaca kecil, mirip manik-manik, dengan lubang di kedua ujungnya. Kemungkinan benda ini dulunya merupakan bagian dari kain yang ada di tubuh. Namun, karena hanya ditemukan satu buah, ada kemungkinan juga benda ini milik seseorang yang terlepas atau tertinggal secara tidak sengaja saat proses persiapan tubuh untuk mumifikasi.
Penelitian ini tidak hanya menjelaskan metode yang digunakan untuk mengawetkan jasad tersebut, tetapi juga membantu mengidentifikasi siapa orang itu sebenarnya.
Selama bertahun-tahun, jasad ini hanya diduga milik Sidler dan dalam berbagai makalah penelitian sebelumnya hanya disebut sebagai "pendeta yang dikeringkan dengan udara." Namun, studi terbaru ini kini telah mengonfirmasi bahwa tubuh tersebut memang milik Sidler.
Analisis menunjukkan bahwa orang ini meninggal pada usia antara 35 hingga 45 tahun dan kemungkinan besar hidup antara tahun 1734 hingga 1780. Rentang waktu ini sesuai dengan masa hidup Sidler.
Tim peneliti juga menemukan bahwa orang ini menjalani gaya hidup berkualitas tinggi, dengan pola makan yang terdiri dari biji-bijian khas Eropa Tengah, produk hewani, dan ikan, serta menunjukkan sangat sedikit tanda-tanda aktivitas fisik.
Baca Juga: Mengungkap Asal-usul Keju yang Dikalungkan pada Mumi Tarim Basin
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR