Nationalgeographic.co.id—Bukan hanya Mesir kuno, mumifikasi telah dipraktikkan oleh banyak budaya di seluruh dunia. Metode pembalseman yang dilakukan pada mumifikasi Mesir kuno dengan budaya lainnya pun berbeda-beda.
Orang Mesir kuno memulai pembalseman dengan mengosongkan kepala mayat karena mereka tidak melihat otak sebagai pusat akal dan identitas, sehingga mereka tidak berusaha untuk mengawetkannya.
Selanjutnya, organ dalam dikeluarkan melalui sayatan, biasanya dibuat di sisi kiri perut. Namun hati, yang diyakini sebagai pusat kebijaksanaan, sengaja dibiarkan begitu saja.
Mengingat dehidrasi sangat penting untuk proses pembalseman, bahan yang digunakan adalah natron padat, natrium karbonat terhidrasi yang sering ditemukan di dekat danau garam. Mayat dicelupkan ke dalam campuran ini selama 40 hari hingga rongga tubuhnya terisi dengan zat tersebut dan mengering dari dalam.
Pada 1994, ahli Mesir kuno, Bob Brier dan Dr. Ronald Wade, menemukan bahwa 263 kilogram natron dibutuhkan untuk menutupi dan mengeringkan tubuh secara keseluruhan.
Kemudian, berbagai minyak dan resin cair dioleskan ke daging. Hal ini mungkin membantu menunda serangga menggerogoti tubuh dan menutupi bau pembusukan.
Untuk melihat perbedaan mumifikasi pada mayat selain orang Mesir kuno, kita dapat mengambil kasus mumi yang kurang dikenal yang ditemukan di ruang bawah tanah St Thomas am Blasenstein, di sebuah desa kecil di Austria. Mumi yang ditemukan di sana sangat terawat, tetapi tidak seorang pun tahu bagaimana mumi ini bisa bertahan begitu lama.
Dilansir laman IFL Science, Dr. Andreas Nerlich, seorang ahli patologi di Ludwig-Maximilians-Universität menjelaskan, "Mumi yang terawat baik di ruang bawah tanah gereja St Thomas am Blasenstein adalah mayat seorang pendeta paroki setempat, Franz Xaver Sidler von Rosenegg, yang meninggal pada tahun 1746."
Nerlich dan rekan-rekannya memeriksa tubuh mumi tersebut menggunakan serangkaian teknik, termasuk pemindaian CT, otopsi fokal, dan penanggalan radiokarbon.
Mereka menemukan bahwa tubuh bagian atas mumi tersebut masih utuh, tetapi bagian bawah dan kepalanya menunjukkan tingkat pembusukan pasca-kematian yang lebih tinggi.
Menariknya, selama penyelidikan, mereka juga menemukan berbagai bahan asing yang dimasukkan ke dalam rongga perut dan panggul mumi tersebut.
Baca Juga: Bukan Bau Busuk, Penelitian Ungkap Mumi Kuno Ternyata Berbau Sedap, Ini Rahasianya
Ketika mereka membedah mayat, mereka mengidentifikasi bahan-bahan ini sebagai serpihan kayu dari pohon cemara dan pinus, potongan ranting, dan kain seperti linen, rami, dan flax. Bahan-bahan ini kemungkinan mudah didapatkan oleh orang-orang pada saat itu, dan tampaknya telah digunakan sebagai cara sederhana untuk mengeringkan bagian tubuh yang basah segera setelah kematian.
“Jelas, serpihan kayu, ranting, dan kain kering menyerap banyak cairan di dalam rongga perut,” tambah Nerlich.
Metode pembalsaman ini sangat berbeda dengan praktik lain mumifikasi yang banyak dikenal. Biasanya, jenazah dibuka dan dipersiapkan untuk proses mumifikasi. Namun, orang yang membalsem pendeta ini melakukannya dengan memasukkan bahan-bahan ke dalam rektum jenazah.
"Ini adalah kasus pertama di mana tubuh mumi diidentifikasi telah 'dibalsem' dengan memasukkan berbagai zat ke dalam rongga perut dan panggul melalui lubang anus," tutur Nerlich.
Nerlich mengatakan pengisian ini dilakukan untuk menyerap cairan dari bagian dalam tubuh dan cara ini menghasilkan pengawetan toraks dan abdomen yang sangat baik.
Jika tubuh tersebut dikubur dalam penguburan tanah biasa, dinding abdomen akan menghilang setelah beberapa waktu. Peneliti mungkin hanya akan menemukan beberapa serpihan kayu dan kain yang mungkin berasal dari permukaan tubuh.
Selama pemeriksaan, para peneliti juga menemukan sebuah bola kaca kecil, mirip manik-manik, dengan lubang di kedua ujungnya. Kemungkinan benda ini dulunya merupakan bagian dari kain yang ada di tubuh. Namun, karena hanya ditemukan satu buah, ada kemungkinan juga benda ini milik seseorang yang terlepas atau tertinggal secara tidak sengaja saat proses persiapan tubuh untuk mumifikasi.
Penelitian ini tidak hanya menjelaskan metode yang digunakan untuk mengawetkan jasad tersebut, tetapi juga membantu mengidentifikasi siapa orang itu sebenarnya.
Selama bertahun-tahun, jasad ini hanya diduga milik Sidler dan dalam berbagai makalah penelitian sebelumnya hanya disebut sebagai "pendeta yang dikeringkan dengan udara." Namun, studi terbaru ini kini telah mengonfirmasi bahwa tubuh tersebut memang milik Sidler.
Analisis menunjukkan bahwa orang ini meninggal pada usia antara 35 hingga 45 tahun dan kemungkinan besar hidup antara tahun 1734 hingga 1780. Rentang waktu ini sesuai dengan masa hidup Sidler.
Tim peneliti juga menemukan bahwa orang ini menjalani gaya hidup berkualitas tinggi, dengan pola makan yang terdiri dari biji-bijian khas Eropa Tengah, produk hewani, dan ikan, serta menunjukkan sangat sedikit tanda-tanda aktivitas fisik.
Baca Juga: Mengungkap Asal-usul Keju yang Dikalungkan pada Mumi Tarim Basin
Hal ini mendukung dugaan bahwa ia menjalani kehidupan sebagai seorang pendeta. Selain itu, ditemukan juga bukti kebiasaan merokok jangka panjang dan tuberkulosis paru-paru di akhir hidupnya.
Menurut Nerlich, ada bukti bahwa jenazah pernah “dipersiapkan” untuk dipindahkan atau dibiarkan terbujur dalam waktu lama, namun semua laporan tersebut tidak memiliki deskripsi yang jelas. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa pendeta ini awalnya direncanakan untuk dipindahkan ke biara asalnya, namun entah karena alasan apa, rencana tersebut tidak pernah terlaksana.
Bagi Nerlich dan rekan-rekannya, kasus ini penting karena beberapa alasan. Selain menjadi contoh pertama yang tercatat dari proses pengawetan jenazah seperti ini, analisis menyeluruh terhadap tubuh tersebut juga menekankan pentingnya bagi peneliti di masa depan untuk mencantumkan teknik-teknik spesifik dalam penelitian mereka.
Pada tahun 2000, jasad tersebut dianalisis oleh ahli farmakologi Austria Bernhard X. Mayer dari University of Vienna yang melakukan pemeriksaan eksternal terperinci dan sinar-X dengan mesin sinar-X portabel.
Selama pemeriksaannya, sinar-X menemukan manik-manik di perut Sidler tetapi tidak ada yang lain, yang mengarah pada kesimpulan bahwa pendeta tersebut mungkin telah diracuni. Desas-desus tentang hal itu masih beredar hingga sekarang. Namun melalui penilaian Nerlich, kita sekarang tahu bahwa manik-manik ini, meskipun tidak biasa, ditambahkan ke tubuh setelah kematian.
"Penyelidikan terhadap mumi yang terawetkan dengan baik harus selalu (jika memungkinkan) menyertakan penyelidikan pemindaian CT, karena analisis sinar-X terhadap (mumi) tersebut pada tahun 2000 tidak mendeteksi adanya isian," kata Nerlich.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR