Setelah menghilang selama sembilan hari, tim penyelamat akhirnya berhasil menemukan 12 remaja dan pelatih sepak bola yang terjebak di dalam gua Tham Luang Nan Non, Thailand, pada Senin (2/7) lalu.
Mereka semua dalam keadaan basah kuyup dan kelaparan, tapi masih hidup dengan kondisi yang cukup baik.
Sayangnya, setelah euforia sesaat, para korban yang terperangkap harus menerima kenyataan bahwa mereka mesti bertahan di dalam gua lebih lama lagi. Air yang membanjiri gua membuat tim sepak bola ini tidak dapat keluar.
Baca juga: Dampak Pemisahan Anak-anak Imigran dari Orangtuanya: Stres Permanen
Tim penyelamat pun memikirkan beragam cara. Yang paling aman adalah menunggu banjir tersebut mereda.
Cara lainnya, dengan mengajarkan anak-anak itu untuk menyelam sendiri ke luar gua. Namun, medan yang ditempuh cukup sulit. Bahkan, penyelam terlatih pun membutuhkan waktu enam jam untuk menavigasi jalur air yang berbahaya dan berlumpur.
Kondisi remaja yang semakin lemah karena belum makan selama sembilan hari juga menyulitkan proses menyelam.
Ancaman kesehatan fisik dan mental
Terjebak berhari-hari di dalam gua membuat remaja ini menghadapi ancaman kesehatan -- mulai dari menurunnya fungsi otot, kekurangan gizi, hingga infeksi.
Selain kekuatan fisik, kelangsungan hidup mereka juga bergantung pada kesehatan mental – tidak kehilangan harapan selagi regu penyelamat mencari cara untuk mengeluarkannya dari gua yang gelap dan basah. Sebuah proses yang mungkin memakan waktu beberapa minggu atau berbulan-bulan.
“Kesehatan mental juga harus menjadi perhatian utama. Mereka akan mulai berpikir: ‘mengapa aku tidak bisa keluar?’” kata Andrew Watson, anggota penyelamat berpengalaman yang biasanya membantu pekerja tambang saat mereka terjebak banjir atau kebakaran.
“Anda harus berkomunikasi dengan baik dan menjelaskan keadaannya kepada para remaja. Anda harus memberi tahu mereka situasi yang sebenarnya. Mereka perlu memahami bahwa ini adalah proses yang sulit dan membutuhkan banyak kesabaran,” paparnya.
Ruang dan sanitasi
Mike Tipton dari University of Portsmouth menjelaskan, fakta bahwa tim sepakbola mampu bertahan di dalam gua selama sembilan hari adalah karena tiga kunci utama kehidupan: yaitu, oksigen, suhu normal, dan air minum.
Prioritas saat ini adalah mengirimkan makanan dan minuman ke dalam gua untuk memulihkan kembali energi mereka.
Namun, menurut Tipton, yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah sanitasi. “Wabah penyakit bisa menjadi ancaman berikutnya,” katanya.
Ketika remaja dan pelatihnya ini sudah bisa makan, mereka akan membutuhkan sanitasi yang aman untuk memastikan tak ada lagi bakteri dalam tubuh. Air di dalam gua kemungkinan terkontaminasi oleh kotoran dan sisa-sisa hewan yang sudah mati.
Selain sanitasi, yang perlu dipikirkan adalah: seberapa banyak ruang yang tersisa di dalam gua?
Hujan deras diperkirakan akan turun di sana, membuat ketinggian air di dalam gua naik dan mempersempit tempat mereka berlindung. Meskipun saat ini, pemerintah Thailand sedang berupaya memompa air dari gua, namun belum dapat dipastikan kapan itu bisa surut.
Terjebak dalam area terbatas dan tidak aktif dalam waktu yang lama akan menimbulkan masalah pada otot dan tulang.
Semakin lemah mereka, maka semakin sulit pula bagi remaja untuk menyelam ke luar gua.
Bertahan di dalam gua atau menyelam?
“Menentukan bertahan atau menyelam adalah pilihan yang sangat sulit,” kata Watson. Meski begitu, menurut penilaian pribadinya, akan lebih aman bagi korban jika bertahan di dalam gua dan menunggu air surut.
“Kita berbicara tentang air: itu memiliki tekanan dan selalu bergerak. Perlu ada perlawanan. Situasi sekitar gua juga tidak pasti dan anak-anak tersebut sama sekali tidak memiliki alat bantu pernapasan,” paparnya.
Ada satu orang saja yang panik saat menyelam, akan menimbulkan efek yang membahayakan lainnya.
Baca juga: Propaganda Teroris Meradikalisasi Perempuan, Bagaimana Prosesnya?
Tipton mengatakan, jika kondisinya memungkinkan korban untuk bertahan di dalam gua, buat mereka tetap fokus dan berpikir positif. Adanya sosok pemimpin yang baik bisa mengubah ‘bencana’ menjadi semacam ‘petualangan penuh tantangan’.
“Pendekatan positif mungkin efektif menghilangkan ketakutan mereka,” ujar Tipton.
Jean-Noel Dubois, penyelamat dan petugas medis asal Prancis mengatakan, kerja sama kelompok diketahui bisa membuat orang-orang berhasil bertahan dalam kondisi serupa.
“Mereka bersama-sama. Dari pengalaman kami, lebih mudah bertahan hidup jika terjebak secara berkelompok – mereka bisa saling memberikan harapan,” katanya.
Source | : | AFP |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR