Nationalgeographic.co.id – Berpikir untuk memakan serangga mungkin sudah membuat perut Anda mual. Namun, kebiasaan yang disebut sebagai entomofagi ini ternyata sudah dilakukan beberapa orang di dunia.
Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2013 lalu, ada sekitar dua miliar penduduk dunia yang mengonsumsi serangga sebagai bagian dari diet mereka.
Kumbang adalah serangga yang paling sering dimakan, diikuti oleh ulat, lebah, semut, belalang dan jangkrik. Secara keseluruhan, terdapat 1.900 jenis serangga yang dianggap bisa dikonsumsi.
Baca Juga : Ancaman Wabah Campak-Rubella dan Perdebatan Vaksin MR di Indonesia
Entomofagi menjadi praktik umum di beberapa wilayah, termasuk Tiongkok, Afrika, Asia, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara berkembang di Amerika Tengah dan Selatan.
Di wilayah Barat, tampaknya serangga belum berhasil menggugah selera mereka. Studi yang dipublikasikan pada Journal of Insects as Food and Feed menemukan fakta bahwa 72% warga Amerika menolak mengonsumsi serangga.
Menurut FAO, kebanyakan penduduk di negara Barat menganggap entomofagi sebagai tindakan menjijikan dan berkaitan dengan perilaku primitif.
Meski begitu, beberapa ahli menyatakan bahwa praktik ini memiliki manfaat bagi kesehatan.
Makan serangga dapat mengatasi obesitas
Serangga diketahui mengandung nutrisi yang tinggi. Mayoritas dari mereka kaya akan protein, lemak sehat, zat besi, dan kalsium.
Faktanya, para ahli di FAO mengklaim bahwa serangga memiliki gizi hampir sama dengan yang ditemukan pada daging sapi.
Sebagai contoh, 100 gram jangkrik mengandung sekitar 121 kalori, 12,9 gram protein, 5,5 gram lemak, dan 5,1 gram karbohidrat. Sementara 100 gram daging sapi mengandung 23,5 gram protein dan lemak sekitar 21,2 gram.
Rendahnya lemak pada serangga membuat peneliti berpikir bahwa praktik entomofagi mungkin efektif untuk mengatasi obesitas dan penyakit yang berkaitan dengannya.
Melawan malnutrisi
Manfaat entomofagi tidak berhenti pada penurunan berat badan. PBB mengatakan, mengonsumsi serangga bisa memberantas masalah kekurangan gizi yang terjadi di negara-negara berkembang.
Menurut UNICEF, hampir setengah kematian anak-anak di bawah usia lima tahun, disebabkan oleh malnutrisi. Kasus ini sering terjadi di Asia dan Afrika.
Kurang gizi, apakah karena kurang makan atau ketidakmampuan mencerna, dapat meningkatkan risiko penyakit yang menyebabkan kematian. Selain itu, malnutrisi di seribu awal kehudupan bisa menghambat pertumbuhan yang merusak fungsi kognitif anak.
Selain sebagai sumber lemak dan protein yang baik, serangga juga mudah ditemukan. Artinya, ia menjadi sumber makanan yang mudah didapat dan murah. Sebuah fakta yang sangat bermanfaat bagi negara dengan penduduk berpenghasilan rendah.
Memenuhi kebutuhan populasi dunia
FAO mengatakan, praktik entomofagi bisa menjadi solusi dari kekurangan makanan yang terjadi akibat meningkatnya populasi manusia di Bumi.
Menurut Bank Dunia, populasi dunia diperkirakan akan meningkat menjadi 9 miliar pada 2050. Ini berarti kita perlu memproduksi 50% makanan yang lebih banyak untuk tambahan 2 miliar penduduk.
Mengingat perubahan iklim akan mengurangi hasil panen hingga 25%, ada hal mendesak untuk menemukan cara-cara alternatif agar kebutuhan makanan terpenuhi. Saat ini, menurut FAO, praktik entomofagi adalah salah satu opsi yang layak.
Peneliti mengatakan, pada dasarnya, makan serangga tidak berbahaya. Serangga memiliki risiko yang lebih rendah untuk menginfeksi manusia dengan penyakit dibanding hewan ternak.
Meski begitu, sebelum makan serangga, kita tetap dianjurkan untuk memasaknya terlebih dahulu agar patogen berbahaya yang mereka bawa bisa mati.
Penyebab seseorang tak mau makan serangga
Walau entomofagi memiliki manfaat, tapi beberapa orang masih enggan melakukannya. Apa alasannya?
Baca Juga : Emotional Eating, Kebiasaan Melampiaskan Stres dengan Makan Berlebihan
Bagi sebagian dari kita, membayangkan menempatkan belalang renyah ke dalam mulut saja sudah menimbulkan perasaan jijik. Menurut FAO, itu semua berasal dari latar belakang budaya seseorang.
“Perasaan jijik sebagian besar dipicu oleh pertanyaan seperti: ‘apa itu?’, ‘dari mana ia berasal?’. Selain dari emosi dasar manusia, rasa jijik berakar dari budaya. Perlu diingat bahwa ‘selera’ termasuk ke dalam ‘budaya’, jadi itu memiliki pengaruh besar pada kebiasaan makan,” papar peneliti dari FAO.
Namun, dengan semakin meningkatnya populasi, bukan tidak mungkin entomofagi nantinya akan diterima oleh semua warga dunia – termasuk orang-orang Barat. Di masa depan, bisa saja serangga digunakan sebagai isian roti lapis atau hamburger Anda.
Source | : | medicalnewstoday.com |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR