Nationalgeographic.co.id – Tempurung kelapa kerap dianggap sebagai limbah sisa rumah tangga. Tidak banyak yang tahu bahwa limbah ini dapat disulap menjadi kerajinan bernilai seni tinggi. Dengan sentuhan tangan-tangan kreatif, tempurung kelapa dapat berubah menjadi indah.
Hal inilah yang ditemukan Tim National Geographic Indonesia saat mengunjungi rumah produksi Kobek Millenial Papua di Papua, Jumat (20/11/2020).
Kobek Millenial Papua adalah komunitas pengrajin tempurung kelapa yang dibentuk pada 2016. Komunitas ini mengambil nama kobek yang dalam bahasa Biak—kota asal sebagian besar anggota komunitas—berarti kelapa.
Di tangan mereka, tumpukan tempurung kelapa dapat berubah bentuk menjadi aksesoris seperti anting-anting dan gantungan kunci. Selain itu, benda fungsional seperti cangkir, mangkuk, teko, hingga hiasan miniatur pohon dan kapal. Harganya bisa mencapai jutaan rupiah.
Baca Juga: Mengamati Maleo dan Menelusuri Peninggalan Megalitikum di Lore Lindu
Proses pembuatan kerajinan ini pun unik. Para pengrajin mengandalkan pecahan dari botol kaca bekas kemasan minuman dan kertas amplas untuk membersihkan permukaan tempurung hingga berwarna cokelat mengkilap.
Selanjutnya, tempurung kelapa dipotong sesuai pola benda yang akan dibuat. Pada proses ini para pengrajin memanfaatkan mesin potong modern.
Para pengrajin pun mulai menggunakan kacamata dan masker untuk mencegah serpihan debu masuk dan terhirup.
“Kita bersihkan tempurung kelapa mulai dari bagian dalam lalu bagian luar. Habis itu kita pindah mesin amplas kasar trus ini amplas setengah kasar dan halus lalu ke mesin potong,” ujar Mama Yane Maria Nari, pengasuh Kobek Millenial Papua.
Mama Yane menjelaskan, lama pengerjaan setiap benda hasil kerajinan tempurung bervariasi tergantung kesulitan dan kerumitannya.
Komunitas pengrajin ini berkarya di dalam rumah berukuran 6x4 meter inilah, para pengrajin berjibaku menggunakan berbagai alat dan mesin. Sepintas, terlihat juga sebuah rak berukuran sedang, bersandar di bagian pojok kanan dinding.
Di sanalah barang-barang kerajinan disimpan sebelum dipasarkan. Isinya yang mulai penuh, membuat para pengrajin meletakan sisa kerajinan di lantai. Ruangan yang mulai terasa sesak, membuat barang-barang lain turut diletakan di lantai secara melingkar berdasarkan urutan proses pembuatan.
Sembari mempraktikkan proses pembuatan kerajinan kobek, Mama Yane pun menjelaskan bagaimana kehadiran Kobek Millenial Papua memberdayakan masyarakat setempat.
Ia menceritakan kisah tercetusnya pengembangan Kobek Milenial Papua, yang menurutnya tak lepas dari peran PT Pertamina (Persero) dalam memberikan pelatihan keterampilan dan membantu memasarkan hasil kerajinan komunitas yang diasuhnya tersebut.
Berawal dari inovasi dan pelatihan
Sebelum menggagas Kobek Milenial Papua, Mama Yane merupakan seorang pengrajin kerajinan barang bekas. Awalnya ia mengandalkan sampah sedotan, tutup botol, dan sampah plastik lainnya sebagai bahan untuk membuat karyanya.
Setelah selama 20 tahun membuat kerajinan tersebut, seiring waktu semakin banyak pengrajin yang membuat kesenian serupa. Mama Yane pun tergerak untuk menghasilkan inovasi baru melalui penggunaan tempurung kelapa. Perjuangannya selama empat tahun terakhir dengan para pengrajin lain perlahan membuahkan hasil.
Pada 2019, Mama Yane bertemu dengan perwakilan Pertamina dan mendapatkan pendampingan untuk belajar selama lima hari di Chumplung Adji Craft Bantul, Yogyakarta.
Sekembalinya dari Kota Gudeg, Mama Yane atas dukungan Pertamina pun mendirikan rumah produksi Kobek Millenial Papua.
Baca Juga: Perjalanan Ramah Lingkungan dengan Bahan Bakar dari Sampah Plastik
Kehadiran mesin produksi serta pendampingan yang diberikan Pertamina, diakui Mama Yane memberi banyak manfaat. Terutama dalam memberikan inspirasi terhadap desain produk yang akan dikembangkan.
“Pulang dari Yogya, Pertamina bangun rumah produksi dan datangkan mesin-mesin ini. Baru kita mulai duduk kerja-kerja. Anak-anak buka saja di Youtube. Oh, ini bikin begini-begini. Mereka tidak pergi belajar, Mama yang pergi belajar untuk dapat mesin. Mereka tinggal buka-buka saja di Youtube dan kerjakan barang-barang ini,” ujar Mama Yane.
Dalam sebulan, rumah produksi ini mampu menghabiskan hingga 500 buah kelapa. Kelapa yang digunakan adalah kelapa tua atau mengkal. Tempurungnya lebih coklat dan kuat dibanding kelapa muda. Mama Yane biasa membeli kelapa yang dijual tanpa kulit luar dengan harga Rp 1.000 per bijinya.
Meski begitu, tak jarang Mama Yane membeli kelapa utuh dengan harga lebih murah untuk dimanfaatkan seluruh bagiannya. Kulit luar bisa dipakai sebagai pot bunga, bahkan serbuknya dapat dibuat sebagai campuran lem untuk menyerupai warna tempurung.
Baca Juga: Bepergian Jauh Lebih Nyaman dengan Mobil Besar, Mitos atau Fakta?
“Ini tidak dibuang-buang. Semua kita pakai, dia punya serabutnya terus tempurungnya, isi kelapanya itu kita bawa pergi ke tukang parut kelapa. Dia parut untuk kita buat minyak kelapa untuk dipakai atau dijual,” kata Mama Yane.
Pelatihan dan peningkatan omzet
Melalui pelatihan dan pengembangan usaha dari Pertamina, Mama Yane kerap mendapat undangan untuk memamerkan hasil karyanya dalam berbagai acara yang diselenggarakan di Kota Jayapura.
Kehadiran media sosial seperti Facebook dan Instagram turut diperkenalkan Pertamina kepada Mama Yane sehingga ia nantinya tidak hanya mengandalkan penjualan secara offline, tetapi juga online ke berbagai daerah di luar Papua.
Pertamina juga mendorong pembuatan logo Kobek Millenial Papua sebagai bagian dari branding. Gambarnya berupa dua belahan tempurung kelapa. Berapa jenis kerajinan juga sudah dikemas secara rapi dengan dilengkapi logo dan nama, nomor kontak dan akun sosial media Kobek Millenial Papua untuk memperkenalkan kerajinan dari rumah produksi ini.
Lewat program CSR Pertamina pula, Kobek Millenial Papua terdata dalam database pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Disperindag Kota Jayapura.
Selain itu, Kobek Millenial Papua serta menjadi kelompok pelaku UMKM prioritas pendukung pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021. Kobek Millenial Papua pun didapuk sebagai pionir dalam pembuatan kerajinan daur ulang kelapa dengan teknologi modern.
Harga produk yang dimiliki oleh Kobek Millenial Papua sendiri cukup bervariasi tergantung kerumitan pembuatannya. Miniatur kelapa dijual dengan harga Rp 200.000, miniatur kapal Rp 2.000.000, lampu hias Rp 1.500.000, sepaket teko dengan lima cangkir Rp 250.000. Yang paling murah adalah gantungan kunci dengan beragam bentuk dengan harga Rp 25.000.
Baca Juga: Aman dari Paparan Virus hingga Menyehatkan Mental, Berikut Keuntungan Road Trip
Penghasilan dari berjualan kerajinan ini pun diakui Mama Yane telah membantu dirinya untuk menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan hariannya.
Ia juga yakin, produksi kerajinan tempurung kelapa yang sekarang dipimpinnya bersama dengan empat pengrajin yang juga berada dalam kelompok ini, akan terus berkembang,.
“Harapan saya Kobek Millenial Papua terus berkembang. Sekarang (sudah) banyak yang membantu supaya ke depan dia lebih lancar,” ujarnya.
Mama Yane akan terus berproduksi di rumah yang berlokasi di belakang kediaman Mama Yane di wilayah Dok VIII Distrik Jayapura Utara Kota Jayapura, tepatnya di Jalan Sungai Tami, RT 03 dan RW 01, Kelurahan Imbi.
Dari rumah yang berlokasi di ketinggian, dengan pemandangan ke arah utara berupa hamparan kota Jayapura dan Samudra Pasifik tersebut karya-karya kreatif Kobek Millenial Papua akan merambah seluruh Indonesia.