Mengikat Nasib pada Nadi Citarum

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:09 WIB

Emen selalu menyeringai saat mengangkat bakul berisi pasir dari dasar sungai ke atas perahu. Ketika hari beranjak sore, lelah semakin kentara di wajahnya. Otot di lengannya dan urat di wajahnya meregang keras. Napasnya terdengar semakin berat. Mungkin usia sudah mengalahkan tenaganya.

Dua pemuda yang membantunya pun tampak kelelahan. Tetapi, tenaga dua lelaki muda itu masih cukup untuk mengungguli kecepatan sang ayah dalam mengeruk pasir.

Aktivitas yang menguras tenaga itu mereka lakukan sejak pukul tujuh pagi sampai pukul empat sore. Istirahat dilakukan pada tengah hari selama satu jam, untuk mengisi perut dengan makanan dan air minum. Hari-hari yang terik di puncak musim hujan adalah berkah yang tak boleh mereka sia-siakan. Mereka harus terus menambang pasir sebelum hujan kembali turun.

Selama beberapa hari di tengah puncak musim hujan, awal Januari 2014, Cekungan Bandung dipanggang terik matahari. Tetapi, awan gelap terus mengintai di batas cakrawala. Jika angin membawa gumpalan hitam itu ke arah Bandung, hujan deras pasti mengguyur kawasan itu lagi. Lalu, Sungai Citarum akan menggelora lagi: menghanyutkan berton-ton sedimen dan kotoran sapi dari hulunya di Gunung Wayang, menjadi banjir bandang beraroma bahan kimia di kawasan industri tekstil Majalaya, lalu untuk beberapa lama merendam ribuan rumah warga di Baleendah dan Dayeuhkolot.

Di tengah panasnya siang yang membakar kulit, lelaki berusia 62 tahun itu me­rendam tubuh di tengah aliran Citarum selama berjam-jam, mengangkut pasir dari dasar sungai. Emen bekerja bersama dua anak lelakinya yang berusia awal tiga puluhan, Jajang Triana dan Kustandi.

Untuk mengambil pasir di dasar sungai, tiga lelaki itu masing-masing menggunakan satu bakul bambu. Mereka menenggelamkan seluruh tubuh selama beberapa detik ke dalam sungai, agar lengan mereka mencapai dasar sungai. Setelah mengeruk pasir dengan bakul, mereka mengangkatnya ke permukaan, dan menampung pasir itu pada sebuah perahu kayu.

Setelah perut perahu penuh dengan pasir, mereka naik, lalu mendayungnya ke tepian. Di tepi sungai, mereka memindahkan pasir dari perahu ke tanah. Setelah perahu kosong, mereka kembali mendayungnya ke tengah sungai, terjun lagi ke dalam sungai, dan mengeruk pasir lagi.

Dalam satu hari kerja, Emen dan dua anak­nya mengangkut pasir sebanyak satu truk. Truk yang akan mengangkut pasir milik Emen biasanya telah menunggu di pinggir jalan, sekitar sepuluh meter di atas tepi sungai.

Uang yang diperoleh Emen untuk satu truk pasir, antara Rp250 ribu sampai Rp300 ribu, tergantung tawar-menawar dengan pem­beli. Artinya, Emen, dua anaknya, dan dua te­tangganya yang biasanya ikut menambang mendapatkan uang masing-masing antara Rp50 ribu sampai Rp60 ribu dengan bekerja selama delapan jam mengangkut pasir.

Pukul tiga sore, para penambang pasir itu me­nyudahi pekerjaan mereka, lalu beristirahat di sebuah dangau, untuk sekadar menyeruput kopi dan mengisap rokok. Matahari bersinar terang sampai saatnya tenggelam. Tetapi, menjelang magrib, halilintar menggelegar. Awan gelap yang bergulung dari timur dan selatan bergerak cepat ke arah barat. Lalu air tercurah deras dari langit, menjadi akhir jeda di puncak musim hujan. Citarum kembali menggeliat.

Jangankan saat hujan turun deras di kawas­an itu, saat awan gelap terlihat bergulung di Gunung Wayang saja, Emen dan para penambang pasir lainnya tak berani turun ke Citarum. Walau hujan tak turun di tempat mereka tinggal, di Kampung Koyod, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, jika hujan deras di hulu, Citarum sering kali mengamuk dan mengirimkan banjir bandang.

Biasanya, banjir bandang bergerak cepat meng­hantam Majalaya, kemudian Solokan Jeruk, lalu deru air akan tenang di Baleendah, sekitar 25 kilometer dari rumah Emen. Di Baleendah, Citarum biasanya menciptakan banjir yang meluas, bahkan sampai ke kawasan industri Dayeuhkolot.

Saat Citarum tak ramah, Emen dan dua anak­nya mencari penghasilan dengan menjadi buruh tani. Mereka bertiga, ditambah beberapa tetangga, mengelola sawah seluas hampir satu hektare milik seorang warga Kota Bandung. Upah yang dia terima dari mengelola sawah itu Rp40 ribu, dengan bekerja dari pukul 7 pagi sampai pukul 12 siang. Walau hanya bekerja di sawah saat musim hujan, kaki dan tangan Emen sebenarnya tak lepas dari Citarum, karena air yang digunakan untuk mengairi sawah itu juga berasal dari Citarum.