Mengikat Nasib pada Nadi Citarum

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:09 WIB

Kini, Citarum tak lagi menjadi tempat tinggal berbagai jenis ikan. Dari laporan Ekspedisi Citarum Kompas yang dilakukan sekitar bulan April-Mei 2011, disebutkan ada sekitar 14 jenis ikan yang menghilang dari Citarum, dalam kurun waktu sekitar 40 tahun hingga tahun 2007. Di antara jenis-jenis ikan yang "menghilang" itu adalah julung-julung (Dermogenys pusillus), tilan (Macrognathus aculeatus), tawes (Barbodes gonionotus), genggehek (Mystacoleucus marginatus), arengan (Labeo crysophaekadion), kancra (Tor douronensis), nilem (Osteochillus hasselti), dan paray (Rasbora argyrotaenia).

Sedangkan dari 23 jenis ikan asli (indigenous species) Sungai Citarum, dari penelitian tahun 1998-2007, ditemukan sembilan jenis asli yaitu hampal (Hampala macrolepidota), lalawak (Barbodes bramoides), beunteur (Puntius binotatus), tagih (Mystus nemurus), kebogerang (Mystus negriceps), lais (Lais hexanema), lele (Clarias bratachus), lempuk (Callichrous bimaculatus), dan gabus (Channa striatus). Sementara ikan tebaran (hasil budi daya)yang ditemukan yaitu ikan mas (Cyrpinus carpio) dan mujair (Oreochromis mosammbicus).

Pada sekitar 1970-an juga, Emen meng­ikuti jejak banyak pemuda lainnya di wilayah itu: meninggalkan pekerjaan di sawah dan menjadi buruh pabrik tekstil. Bagi kaum buruh tani seperti Emen, bekerja di pabrik seperti upaya untuk naik kelas, tak perlu turun ke lumpur untuk mendapatkan nafkah. Di pabrik tekstil mereka dapat bekerja seharian di dalam ruangan, dengan upah yang dibayar mingguan atau bulanan.

Pabrik tekstil di Majalaya saat itu belum banyak yang menggunakan mesin modern. Sebagian besar masih menggunakan alat tenun manual yang digerakkan tenaga manusia. Emen pun bekerja sebagai operator alat tenun itu. Dan, dia merasakan tenaga yang dia keluarkan untuk mengoperasikan alat tenun itu tidak kalah dari tenaga untuk mencangkul atau membajak sawah. "Malah lebih berat, tangan dan kaki terus bergerak selama berjam-jam. Kaki bisa sampai bengkak, dan karena berjam-jam bekerja dalam posisi duduk, banyak teman saya yang sakit parah. Biasanya sakitnya di sekitar punggung dan pinggang," kata Emen.

Karena bekerja di pabrik tekstil ternyata tak membuat hidupnya lebih baik, Emen kembali bekerja sebagai buruh tani. Setengah hari dia bekerja untuk mengolah sawah, setengah hari lagi dia kerja serabutan untuk menambah penghasilan. Dari menjadi penarik becak sampai bekerja di seorang bandar judi.

Dari semua jenis pekerjaan yang pernah dia geluti, bekerja di bandar judi adalah yang paling berkesan, karena dua hal. Pertama, karena selama bekerja di bandar judi dia mendapatkan uang yang berlimpah. Kedua, karena bekerja di bandar judi pula dia merasakan pahitnya berada di balik jeruji ruang tahanan.

Anehnya, kata Emen, walau saat itu dia mendapat uang berlimpah, istri dan anak-anaknya tetap sengsara. Rumah mereka tetap gubuk, pakaian dan perhiasan istrinya tak bertambah, anak-anaknya pun tak kelebihan uang jajan.

Masa hidup dari uang judi ditutup oleh peristiwa sial. Suatu hari ketika membawa uang yang dibayarkan para penjudi, Emen dan bandarnya ditangkap polisi. Mereka terkena pasal perjudian ilegal. Emen dan bandarnya pun ditahan di penjara polisi, sampai keluarga mereka membayar uang tebusan.

Akhirnya, di awal 1980-an, Emen kembali ke Citarum. Mengais rezeki dari pasir yang mengendap di dasar sungai itu, saat pabrik-pabrik tekstil mulai menggunakan mesin modern bertenaga listrik dan minyak. Saat dari saluran pembuangan pabrik-pabrik itu limbah beracun berwarna-warni menggelontor deras ke Citarum. Saat sedikit demi sedikit ikan-ikan Citarum mati dan menghilang. Saat banjir Citarum semakin besar dari waktu ke waktu.!break!

Kustandi merasa lelah dengan ke­miskinan. Maka, dia merajuk kepada ayah dan ibunya agar diizinkan mendaftar menjadi tentara. Emen tahu bekal anaknya untuk menjadi tentara tidak cukup baik. Kustandi dan kakaknya, Jajang Triana, hanya lulusan SMP. Jika lulus ujian, kariernya di tentara akan dimulai dari pangkat prajurit dua.

Kustandi tak lulus ujian. Masa depan yang terbayang di matanya adalah kehidupan yang persis seperti bapaknya. Hari-hari yang selalu terikat dengan Citarum.

Di antara lima anak Emen, Kustandi-lah yang paling tahu perjuangan ayah dan ibunya demi hidup yang lebih baik. Pada awal 1980-an, saat Emen mulai menambang pasir di Citarum, datang tawaran untuk mengikuti program transmigrasi ke Sumatra. Dalam benak Emen, janji pemerintah untuk memberikan lahan pertanian seluas 2,5 hektare dan jaminan hidup selama satu tahun pertama, begitu menggoda. Dia pun mendaftar menjadi transmigran.