Mengikat Nasib pada Nadi Citarum

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:09 WIB

"Airnya kotor dan bau," kata Emen, "tetapi air tercemar itu ternyata bagus untuk sawah. Hama padi jadi cepat mati."

Emen, keluarganya, dan para tetangganya sudah begitu terbiasa dengan bau busuk air Citarum. Apalagi ketika musim hujan, saat Citarum meluap dan membanjiri per­kampungan. Air bercampur limbah masuk ke rumah-rumah, menebar bau dan racun.

"Serba salah, memang," ucap Emen, "saat musim hujan air meluap, dan saya tidak bisa menambang pasir. Saat kemarau, saya bisa menambang pasir, tapi Citarum berbau lebih busuk." Mungkin, Emen menduga, air Citarum di musim kemarau hanya dari air limbah pabrik, bukan lagi air dari Gunung Wayang. Kedalaman Citarum di musim kemarau paling hanya 25 sentimeter. "Airnya warna-warni. Kadang hitam, kadang biru, kadang merah. Tergantung limbah yang dibuang dari pabrik. Sangat menjijikkan, dan hanya penambang pasir yang tetap mau turun ke sungai dalam kondisi seperti itu. Itu juga karena dipaksa kebutuhan," tutur Emen.

Memang, satu bulan saja hujan tak meng­guyur Citarum dan kawasan hulunya, badan sungai itu menyusut drastis. Yang terlihat hanyalah aliran kecil berbau busuk menyengat dengan sampah yang menumpuk dibalut lumpur hitam. Dalam situasi seperti itu, sulit untuk membayangkan Citarum dulu pernah jernih dan kaya dengan ikan.!break!

Citarum memang pernah jernih, permai, dan menjadi sumber air utama penduduk di wilayah alirannya. Masa-masa indah itu tidak terlalu jauh dari saat ini. Orang-orang di sekitar Citarum sepakat, sampai 1980-an, Citarum masih bisa disebut indah.

Emen punya ingatan tentang masa-masa indah itu, ketika masih bisa melihat dasar Citarum karena airnya begitu jernih, ketika kaum perempuan mencuci baju dan mem­bersihkan beras di tepian sungai itu, ketika ikan begitu melimpah sampai warga tak perlu khawatir kehabisan bahan pangan.

Walau keluarganya miskin, Emen tak pernah merasakan kelaparan, sampai terancam kelaparan pun tidak. Bahkan, saat wilayah Majalaya dan sekitarnya menjadi garis depan pertempuran antara TNI dan para pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sampai 1960-an, Emen dan keluarganya merasakan hidup yang damai dan tenteram.

Di tahun-tahun yang menegangkan itu, warga di Majalaya dan sekitarnya tak pernah kehilangan hiburan. Setidaknya setiap tiga bulan sampai enam bulan sekali ada pesta di Citarum, saat para juragan tua dan para anom (juragan muda atau anak-anak juragan yang sudah dewasa), menyelenggarakan pesta menangkap ikan di Citarum. Orang-orang kaya itu, baik yang berasal dari wilayah Majalaya maupun dari Bandung, datang dengan membawa rombongan kesenian Sunda. Mereka mengadakan per­tunjukan di tepi sungai, mengundang rakyat untuk ikut berpesta.

Bersama alunan musik yang ramai, ratusan warga turut terjun ke sungai bersama para juragan, memasang perangkap ikan dari bambu, sehingga tepian sungai menyerupai bentuk kolam ikan. Lalu, beramai-ramai mereka menggiring ikan masuk ke perangkap itu. Setelah cukup banyak ikan yang masuk perangkap, warga berebut menangkapi ikan di dalamnya. "Tak susah menangkap ikan saat itu. Dengan memasukkan tangan ke air saja sudah hampir pasti kita mendapat ikan," kisah Emen.

Ikan yang diperangkap warga adalah ikan yang memang hidup di Citarum, bukan ikan kolam yang sengaja dilepas di sungai demi pesta rakyat. Jenis ikan yang tertangkap pun beragam, mulai dari ikan mas, mujair, nila, lele, dan berbagai ikan dengan nama lokal seperti jongjolong, kancra, nilem, bogo, beureum panon, dan lain-lain.

Pesta-pesta rakyat di tepian Citarum hanya berlangsung sampai era 1970-an, karena para juragan semakin jarang menggelar pesta. Walau begitu, warga di sekitar Citarum masih dapat berpesta ikan sendiri, dengan memancing atau menjaring ikan.

"Saat itu, kalau susah makanan, orang tinggal pergi ke Citarum untuk menangkap ikan. Ayah saya bahkan pernah menangkap ikan mas seberat lima belas kilogram di sungai ini," kata Emen, memanggil kembali memorinya.