Mengikat Nasib pada Nadi Citarum

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:09 WIB

Dulu, sampai kira-kira sepuluh tahun lalu, Tarun dan Dadang bahkan tidak perlu membeli kayu di toko kayu. Kayu jenis suren itu mereka cari sendiri di hutan. Tetapi kini, mereka tak berani mencari kayu sendiri di hutan. Selain karena hutannya sudah semakin jarang, dengan mengambil kayu di hutan mereka bisa terjerat hukum. "Lagi pula lebih enak beli di toko, karena kayunya sudah dipotong menjadi papan," kata Dadang.

"Tetapi harus kayu suren, tidak bisa jenis lain," tambah Tarun, "karena kayu suren mengandung minyak, sehingga tidak mudah keropos dan lebih mudah diprosesnya. Kalau kayu jenis lain, tidak cocok untuk bahan perahu. Sebenarnya, kayu jati bagus juga untuk perahu, tetapi harganya mahal dan kayunya keras. Butuh tenaga lebih untuk memprosesnya."

Dadang sangat mencintai pekerjaannya, dan dia bersyukur dianugerahi bakat seperti ayah dan kakeknya. Lelaki kelahiran 1981 itu hanya bersekolah sampai SMP. Dan, seperti pemuda lain di tepian Citarum, awalnya dia pun bermimpi untuk bekerja di pabrik demi masa depan yang lebih cerah. Tak lama setelah lulus SMP pada 1997, Dadang sempat bekerja di pabrik yang memproduksi pakaian, tetapi kemudian dia mengalami pekerjaan itu tidak seperti yang diimpikannya.

Dia merasa terkekang dengan jam kerja di pabrik, terlebih lagi gajinya kecil. Jika ingin mendapatkan gaji lebih besar, dia harus lembur sampai tengah malam. Tak tahan dengan situasi kerja seperti itu, delapan bulan kemudian dia mengundurkan diri.

Dalam keadaan menganggur, Dadang tak memiliki pilihan lain selain membantu ayahnya. Tarun pun mengajari Dadang cara membuat perahu. "Yang diajarkan ayah saya hanya dasar-dasarnya. Lalu saya langsung disuruh membuat perahu sendiri, tanpa diawasi atau dibimbing. Awalnya panik juga, bagaimana memproses bilah-bilah papan sampai jadi perahu? Tetapi saya kerjakan saja semampunya. Saya pikir, kalaupun gagal, perahu buatan saya masih berguna untuk menjadi lesung," tutur Dadang.

Dia hanya butuh waktu sepekan untuk membuat perahu pertamanya. Selanjutnya, Dadang semakin ahli, dan dapat menyelesaikan satu perahu kecil dalam dua hari. Sekarang, dia bukan lagi sebagai pembantu ayahnya, tetapi sudah pada posisi rekan kerja. Tarun dan Dadang mengerjakan perahu masing-masing untuk memenuhi belasan pesanan setiap bulan.

"Penghasilan saya dari membuat perahu jauh lebih besar daripada gaji di pabrik. Selain itu, jam kerja saya sangat bebas. Kalau capek, ya tinggal istirahat, tidak perlu menunggu jam istirahat. Kalau sakit, tidak perlu izin untuk tidak bekerja," ucap Dadang.

Hari itu Dadang dan Tarun sedang ditunggui seorang pemesan perahu. Pemesan itu bernama Encep, seorang penampung sampah Citarum dari Desa Cihampelas, desa di Kabupaten Bandung Barat, dekat Waduk Saguling, sekitar 30 kilometer dari bengkel milik Tarun.

Sudah tiga minggu Encep menunggu pesanan perahunya. Dia memesan empat perahu ber­ukuran kecil. Kata dia, biasanya dalam delapan hari pesanan sebanyak itu selesai. Tetapi, pada Februari pesanan perahu ke bengkel Tarun cukup padat, sehingga pesanan perahu Encep tidak bisa selesai pada waktunya.

Encep sudah tidak sabar, karena itu dia me­nunggui proses pembuatan perahu pesanannya. Dia ingin memastikan empat perahu itu se­lesai dalam waktu tidak lebih dari dua hari lagi. Raut wajahnya cerah, ketika tahu tiga perahu pesanannya sudah siap. Tinggal satu perahu yang masih dikerjakan, dan Dadang memastikan besok subuh empat perahu itu sudah tiba di rumah Encep.

Lelaki berusia 35 tahun itu mengandalkan perahu-perahu karya Tarun dan Dadang dalam jajaran armada sungainya. Ada belasan perahu kayu yang dia miliki. Semakin banyak perahu yang dia miliki, usahanya akan semakin menguntungkan. "Saya hanya percaya perahu buatan mereka, karena sudah terbukti kuat. Saya pernah mencoba perahu buatan perajin lain, tidak ada yang bertahan sampai enam tahun," kata Encep.

Di saat banyak orang mengutuki Citarum yang dipenuhi sampah, Encep justru meng­gantungkan hidup pada sampah di sungai itu. Setiap hari, armada perahunya mengangkut tidak kurang dari dua ton sampah dari Citarum. Sampah dari berbagai jenis, apakah itu plastik, logam, busa, bahkan juga eceng gondok, diangkut lalu dipilah-pilah berdasarkan jenisnya di tempat penampungan. Sampah yang sudah dipilah itu kemudian dijual ke industri yang akan mengolahnya kembali menjadi barang lain.

Encep tidak lahir dan besar di tepian Cita­rum. Dia lahir dan besar di Jamika, wilayah padat penduduk di Kota Bandung. Di Jamika pula dia belajar, sampah bisa menghasilkan uang. Sekitar sepuluh tahun lalu dia pindah ke Desa Cihampelas di tepian Citarum, dan mendulang berton-ton sampah di sungai itu dan mengubahnya menjadi pendapatan.

Sekarang Encep tidak perlu lagi terjun langsung ke sungai. Dia sudah memosisikan diri sebagai penampung, puncak dalam rantai bisnis sampah Citarum. Dia cukup menyediakan lahan pe­nampungan di rumahnya, menyediakan armada perahu kayu, dan mengizinkan para pe­muda di desanya menggunakan perahu-perahu itu untuk mengangkut sampah. Bahkan, para pemuda di desanya tidak perlu menyewa perahu-perahu itu dari Encep. Syaratnya hanya satu, sampah yang mereka peroleh hanya boleh dijual kepada Encep.

Sampah-sampah itu kemudian dipilah dan ditimbang, lalu Encep membayarnya dengan harga yang sudah dia tentukan. Hasilnya, dua pihak sama-sama untung. Encep mendapat banyak barang untuk dia jual ke industri peng­olahan, sedangkan para pemuda yang meng­gunakan perahunya mendapatkan uang dari sampah yang mereka angkut dari sungai.

"Jadi, bagi saya, sampah itu rezeki. Saya juga tidak khawatir kehilangan penghasilan jika suatu hari Citarum bersih. Saya yakin, saya akan selalu mendapatkan sampah," kata Encep. Optimisme Encep akan bisnis sampah me­mang beralasan. Dengan berton-ton sampah yang disaring para pemulung setiap hari sebelum Citarum mencapai Waduk Saguling, tetap saja volume sampah yang masuk ke waduk itu mencapai 10 ton per hari.

Bisnisnya juga tidak mengenal musim. Saat musim kemarau, sampah dari arah hulu memang berkurang, tetapi sampah yang meng­endap di dasar sungai lebih mudah diambil oleh para pemulungnya. Saat musim hujan, sampah dari arah hulu berlimpah, dan dia bisa mendapatkan lebih banyak sampah yang berharga lebih tinggi, seperti dari jenis logam.!break!

Berdiri di jembatan lama di Baleendah bukanlah hal yang menyenangkan untuk hidung, mata, dan ingatan. Dari atas jembatan itu, kita bisa melihat bekas aliran Citarum, yang kini telah dialihkan. Bekas aliran itu dipenuhi begitu banyak sampah, sampai menyebarkan bau busuk yang menyengat.

Pemandangan yang tak elok dilihat itu berlatar jajaran pegunungan yang samar terlihat di tenggara, tempat Gunung Wayang berada, dan mata airnya mengalirkan Citarum. Di gunung itu, mata air Citarum begitu jernih dan terasa sakral. Tetapi di atas jembatan itu, yang terlihat hanyalah Citarum yang membusuk.

Generasi Emen dan Tarun masih menyimpan ingatan ketika Citarum begitu hidup, mengalir deras sepanjang tahun dengan kejernihan air­nya, bersama beragam ikan yang hidup di dalam­nya. Tetapi, ingatan itu tak terwariskan pada generasi anak-anak mereka. Yang terwaris­kan hanyalah kehidupan yang bergantung pada aliran sungai yang hitam dan beracun. Sungai yang tak lagi hidup tapi masih bisa menghidupi, selama mereka bisa menyiasati perubahan-perubahan yang terjadi di sungai itu.

Lalu, apa yang akan terjadi ketika generasi Emen dan Tarun hilang bersama ingatan tentang Citarum? Mungkin sulit me­ngembalikan Cita­rum seperti sediakala, karena kita tak tahu paras sungai itu saat masih permai dahulu.