Mengikat Nasib pada Nadi Citarum

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:09 WIB

Setelah mengikuti program pelatihan dan mendapat jadwal keberangkatan, dia titipkan empat anaknya kepada mertuanya. Emen hanya membawa istrinya dan Kustandi. Dengan kapal laut, Emen dan para transmigran lainnya dibawa ke wilayah hutan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.

Walau rumah sudah disediakan, ternyata para transmigran harus membuka hutan perawan untuk mendapatkan lahan pertanian. Mereka harus mengusir monyet, beruang, gajah, dan berbagai binatang hutan dari habitatnya. Menebangi pohon, lalu mengolah tanah untuk pertanian. "Suatu hari, saat istirahat membabat hutan, saya melihat satu keluarga monyet yang mengungsi karena rumah mereka kami hancurkan. Induk monyet yang menggendong anaknya itu menatap saya. Saya sedih sekali, datang jauh-jauh dari Jawa dengan mimpi akan hidup yang lebih makmur, namun untuk me­wujudkan mimpi tersebut saya harus mengusir monyet-monyet itu," tutur Emen.

Di tanah yang baru itu, Emen diberi jatah lahan di tepi sungai. Berjuang untuk hidup di tanah yang baru ternyata sangat sulit. Lahan milik Emen selalu diterjang banjir, membuat tanaman mati. Untuk bertahan hidup, dia, istri­nya Robiah, dan Kustandi benar-benar meng­andalkan jatah makanan dari pemerintah. Emen dan keluarganya pun hanya bertahan satu tahun di daerah transmigrasi.

Akhirnya, dia menjual jatah lahannya kepada seorang transmigran dari Jawa Tengah, dengan harga yang hanya cukup untuk membeli tiket pulang, kembali ke tepian Sungai Citarum.

Sepulang dari Musi Banyuasin, Emen kembali membenamkan tubuh di Citarum, mengangkuti pasir yang diberikan alam di dasar sungai itu. Sementara Kustandi, beberapa lama kemudian, dititipkan ayahnya untuk bekerja pada seorang kerabat yang sukses menjadi petani kopi di daerah Lampung.

Tetapi, itu tak lama. Kustandi pun kembali pulang ke pangkuan Citarum, bergabung dengan ayah dan kakaknya, mengundi nasib di sungai itu, yang hari demi hari airnya semakin pekat dengan racun industri.!break!

Hujan berderai lembut di Danau Cisanti, pada ujung sore pertengahan Januari. Rintik air yang jatuh dari langit, danau yang merona biru, udara yang dingin menggigit, sinar jingga yang membelai batang-batang pohon, serta kabut yang melapisi pucuk-pucuk hutan pinus di tepi danau sampai ke puncak-puncak bukit yang mengelilingi danau buatan itu, menciptakan pemandangan yang surealistis.

Di seputar tepian danau, belasan lelaki duduk dalam jarak berjauhan, dengan tudung seadanya untuk melindungi tubuh dari basah air hujan. Tangan mereka memegang pancingan, sementara mata mereka menatap guntang pancingan yang menyala di permukaan air.

Semuanya hening, dan tiba-tiba terdengar seorang pemancing berteriak memaki, ketika dia melihat hanya ikan kecil yang tersangkut di pancingannya. Makian itu mengundang makian lain dari pemancing-pemancing yang terganggu, juga tawa dari orang-orang yang sedang menikmati keindahan Cisanti.

Danau Cisanti bagai tempat suci bagi para pemancing ikan. Malam pun tak menjadi halangan bagi para pemancing itu. Mereka terus berdatangan, bahkan ada yang sengaja bermalam di sana, demi keasyikan memancing ikan. Padahal, tidak ada ikan yang istimewa di danau itu, hanya ikan mas, mujair, nila, dan lele. Suasana yang bagai dunia mimpilah yang membuat para pemancing betah berlama-lama di tempat itu.

Lebih dari segalanya, Danau Cisanti adalah simbol dari hulu Citarum. Citarum lahir dari banyak mata air di kawasan itu. Aliran berbagai mata air itulah yang kemudian dibendung dan menjadi danau buatan, yang secara kasatmata menjadi tempat Citarum dilahirkan. Ditambah dengan embel-embel sebagai petilasan Adipati Ukur, pahlawan lokal Sunda yang memimpin pemberontakan masyarakat Priangan melawan kekuasaan Sultan Agung Mataram, Danau Cisanti kian dipandang istimewa.

Melihat keindahan kawasan Cisanti dan jernihnya air danau itu, sulit untuk mem­bayangkan bagaimana Citarum yang dilahir­kannya berubah menjadi beracun—dan buas di musim hujan—hanya sekitar 20 kilometer dari hulu sungai itu. Bahkan, sebenarnya di sepuluh kilometer pertama Citarum, sungai itu sudah bermasalah karena menjadi tempat pembuangan langsung limbah peternakan sapi milik warga.