Mengikat Nasib pada Nadi Citarum

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:09 WIB

Emen selalu menyeringai saat mengangkat bakul berisi pasir dari dasar sungai ke atas perahu. Ketika hari beranjak sore, lelah semakin kentara di wajahnya. Otot di lengannya dan urat di wajahnya meregang keras. Napasnya terdengar semakin berat. Mungkin usia sudah mengalahkan tenaganya.

Dua pemuda yang membantunya pun tampak kelelahan. Tetapi, tenaga dua lelaki muda itu masih cukup untuk mengungguli kecepatan sang ayah dalam mengeruk pasir.

Aktivitas yang menguras tenaga itu mereka lakukan sejak pukul tujuh pagi sampai pukul empat sore. Istirahat dilakukan pada tengah hari selama satu jam, untuk mengisi perut dengan makanan dan air minum. Hari-hari yang terik di puncak musim hujan adalah berkah yang tak boleh mereka sia-siakan. Mereka harus terus menambang pasir sebelum hujan kembali turun.

Selama beberapa hari di tengah puncak musim hujan, awal Januari 2014, Cekungan Bandung dipanggang terik matahari. Tetapi, awan gelap terus mengintai di batas cakrawala. Jika angin membawa gumpalan hitam itu ke arah Bandung, hujan deras pasti mengguyur kawasan itu lagi. Lalu, Sungai Citarum akan menggelora lagi: menghanyutkan berton-ton sedimen dan kotoran sapi dari hulunya di Gunung Wayang, menjadi banjir bandang beraroma bahan kimia di kawasan industri tekstil Majalaya, lalu untuk beberapa lama merendam ribuan rumah warga di Baleendah dan Dayeuhkolot.

Di tengah panasnya siang yang membakar kulit, lelaki berusia 62 tahun itu me­rendam tubuh di tengah aliran Citarum selama berjam-jam, mengangkut pasir dari dasar sungai. Emen bekerja bersama dua anak lelakinya yang berusia awal tiga puluhan, Jajang Triana dan Kustandi.

Untuk mengambil pasir di dasar sungai, tiga lelaki itu masing-masing menggunakan satu bakul bambu. Mereka menenggelamkan seluruh tubuh selama beberapa detik ke dalam sungai, agar lengan mereka mencapai dasar sungai. Setelah mengeruk pasir dengan bakul, mereka mengangkatnya ke permukaan, dan menampung pasir itu pada sebuah perahu kayu.

Setelah perut perahu penuh dengan pasir, mereka naik, lalu mendayungnya ke tepian. Di tepi sungai, mereka memindahkan pasir dari perahu ke tanah. Setelah perahu kosong, mereka kembali mendayungnya ke tengah sungai, terjun lagi ke dalam sungai, dan mengeruk pasir lagi.

Dalam satu hari kerja, Emen dan dua anak­nya mengangkut pasir sebanyak satu truk. Truk yang akan mengangkut pasir milik Emen biasanya telah menunggu di pinggir jalan, sekitar sepuluh meter di atas tepi sungai.

Uang yang diperoleh Emen untuk satu truk pasir, antara Rp250 ribu sampai Rp300 ribu, tergantung tawar-menawar dengan pem­beli. Artinya, Emen, dua anaknya, dan dua te­tangganya yang biasanya ikut menambang mendapatkan uang masing-masing antara Rp50 ribu sampai Rp60 ribu dengan bekerja selama delapan jam mengangkut pasir.

Pukul tiga sore, para penambang pasir itu me­nyudahi pekerjaan mereka, lalu beristirahat di sebuah dangau, untuk sekadar menyeruput kopi dan mengisap rokok. Matahari bersinar terang sampai saatnya tenggelam. Tetapi, menjelang magrib, halilintar menggelegar. Awan gelap yang bergulung dari timur dan selatan bergerak cepat ke arah barat. Lalu air tercurah deras dari langit, menjadi akhir jeda di puncak musim hujan. Citarum kembali menggeliat.

Jangankan saat hujan turun deras di kawas­an itu, saat awan gelap terlihat bergulung di Gunung Wayang saja, Emen dan para penambang pasir lainnya tak berani turun ke Citarum. Walau hujan tak turun di tempat mereka tinggal, di Kampung Koyod, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, jika hujan deras di hulu, Citarum sering kali mengamuk dan mengirimkan banjir bandang.

Biasanya, banjir bandang bergerak cepat meng­hantam Majalaya, kemudian Solokan Jeruk, lalu deru air akan tenang di Baleendah, sekitar 25 kilometer dari rumah Emen. Di Baleendah, Citarum biasanya menciptakan banjir yang meluas, bahkan sampai ke kawasan industri Dayeuhkolot.

Saat Citarum tak ramah, Emen dan dua anak­nya mencari penghasilan dengan menjadi buruh tani. Mereka bertiga, ditambah beberapa tetangga, mengelola sawah seluas hampir satu hektare milik seorang warga Kota Bandung. Upah yang dia terima dari mengelola sawah itu Rp40 ribu, dengan bekerja dari pukul 7 pagi sampai pukul 12 siang. Walau hanya bekerja di sawah saat musim hujan, kaki dan tangan Emen sebenarnya tak lepas dari Citarum, karena air yang digunakan untuk mengairi sawah itu juga berasal dari Citarum.

"Airnya kotor dan bau," kata Emen, "tetapi air tercemar itu ternyata bagus untuk sawah. Hama padi jadi cepat mati."

Emen, keluarganya, dan para tetangganya sudah begitu terbiasa dengan bau busuk air Citarum. Apalagi ketika musim hujan, saat Citarum meluap dan membanjiri per­kampungan. Air bercampur limbah masuk ke rumah-rumah, menebar bau dan racun.

"Serba salah, memang," ucap Emen, "saat musim hujan air meluap, dan saya tidak bisa menambang pasir. Saat kemarau, saya bisa menambang pasir, tapi Citarum berbau lebih busuk." Mungkin, Emen menduga, air Citarum di musim kemarau hanya dari air limbah pabrik, bukan lagi air dari Gunung Wayang. Kedalaman Citarum di musim kemarau paling hanya 25 sentimeter. "Airnya warna-warni. Kadang hitam, kadang biru, kadang merah. Tergantung limbah yang dibuang dari pabrik. Sangat menjijikkan, dan hanya penambang pasir yang tetap mau turun ke sungai dalam kondisi seperti itu. Itu juga karena dipaksa kebutuhan," tutur Emen.

Memang, satu bulan saja hujan tak meng­guyur Citarum dan kawasan hulunya, badan sungai itu menyusut drastis. Yang terlihat hanyalah aliran kecil berbau busuk menyengat dengan sampah yang menumpuk dibalut lumpur hitam. Dalam situasi seperti itu, sulit untuk membayangkan Citarum dulu pernah jernih dan kaya dengan ikan.!break!

Citarum memang pernah jernih, permai, dan menjadi sumber air utama penduduk di wilayah alirannya. Masa-masa indah itu tidak terlalu jauh dari saat ini. Orang-orang di sekitar Citarum sepakat, sampai 1980-an, Citarum masih bisa disebut indah.

Emen punya ingatan tentang masa-masa indah itu, ketika masih bisa melihat dasar Citarum karena airnya begitu jernih, ketika kaum perempuan mencuci baju dan mem­bersihkan beras di tepian sungai itu, ketika ikan begitu melimpah sampai warga tak perlu khawatir kehabisan bahan pangan.

Walau keluarganya miskin, Emen tak pernah merasakan kelaparan, sampai terancam kelaparan pun tidak. Bahkan, saat wilayah Majalaya dan sekitarnya menjadi garis depan pertempuran antara TNI dan para pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sampai 1960-an, Emen dan keluarganya merasakan hidup yang damai dan tenteram.

Di tahun-tahun yang menegangkan itu, warga di Majalaya dan sekitarnya tak pernah kehilangan hiburan. Setidaknya setiap tiga bulan sampai enam bulan sekali ada pesta di Citarum, saat para juragan tua dan para anom (juragan muda atau anak-anak juragan yang sudah dewasa), menyelenggarakan pesta menangkap ikan di Citarum. Orang-orang kaya itu, baik yang berasal dari wilayah Majalaya maupun dari Bandung, datang dengan membawa rombongan kesenian Sunda. Mereka mengadakan per­tunjukan di tepi sungai, mengundang rakyat untuk ikut berpesta.

Bersama alunan musik yang ramai, ratusan warga turut terjun ke sungai bersama para juragan, memasang perangkap ikan dari bambu, sehingga tepian sungai menyerupai bentuk kolam ikan. Lalu, beramai-ramai mereka menggiring ikan masuk ke perangkap itu. Setelah cukup banyak ikan yang masuk perangkap, warga berebut menangkapi ikan di dalamnya. "Tak susah menangkap ikan saat itu. Dengan memasukkan tangan ke air saja sudah hampir pasti kita mendapat ikan," kisah Emen.

Ikan yang diperangkap warga adalah ikan yang memang hidup di Citarum, bukan ikan kolam yang sengaja dilepas di sungai demi pesta rakyat. Jenis ikan yang tertangkap pun beragam, mulai dari ikan mas, mujair, nila, lele, dan berbagai ikan dengan nama lokal seperti jongjolong, kancra, nilem, bogo, beureum panon, dan lain-lain.

Pesta-pesta rakyat di tepian Citarum hanya berlangsung sampai era 1970-an, karena para juragan semakin jarang menggelar pesta. Walau begitu, warga di sekitar Citarum masih dapat berpesta ikan sendiri, dengan memancing atau menjaring ikan.

"Saat itu, kalau susah makanan, orang tinggal pergi ke Citarum untuk menangkap ikan. Ayah saya bahkan pernah menangkap ikan mas seberat lima belas kilogram di sungai ini," kata Emen, memanggil kembali memorinya.

Kini, Citarum tak lagi menjadi tempat tinggal berbagai jenis ikan. Dari laporan Ekspedisi Citarum Kompas yang dilakukan sekitar bulan April-Mei 2011, disebutkan ada sekitar 14 jenis ikan yang menghilang dari Citarum, dalam kurun waktu sekitar 40 tahun hingga tahun 2007. Di antara jenis-jenis ikan yang "menghilang" itu adalah julung-julung (Dermogenys pusillus), tilan (Macrognathus aculeatus), tawes (Barbodes gonionotus), genggehek (Mystacoleucus marginatus), arengan (Labeo crysophaekadion), kancra (Tor douronensis), nilem (Osteochillus hasselti), dan paray (Rasbora argyrotaenia).

Sedangkan dari 23 jenis ikan asli (indigenous species) Sungai Citarum, dari penelitian tahun 1998-2007, ditemukan sembilan jenis asli yaitu hampal (Hampala macrolepidota), lalawak (Barbodes bramoides), beunteur (Puntius binotatus), tagih (Mystus nemurus), kebogerang (Mystus negriceps), lais (Lais hexanema), lele (Clarias bratachus), lempuk (Callichrous bimaculatus), dan gabus (Channa striatus). Sementara ikan tebaran (hasil budi daya)yang ditemukan yaitu ikan mas (Cyrpinus carpio) dan mujair (Oreochromis mosammbicus).

Pada sekitar 1970-an juga, Emen meng­ikuti jejak banyak pemuda lainnya di wilayah itu: meninggalkan pekerjaan di sawah dan menjadi buruh pabrik tekstil. Bagi kaum buruh tani seperti Emen, bekerja di pabrik seperti upaya untuk naik kelas, tak perlu turun ke lumpur untuk mendapatkan nafkah. Di pabrik tekstil mereka dapat bekerja seharian di dalam ruangan, dengan upah yang dibayar mingguan atau bulanan.

Pabrik tekstil di Majalaya saat itu belum banyak yang menggunakan mesin modern. Sebagian besar masih menggunakan alat tenun manual yang digerakkan tenaga manusia. Emen pun bekerja sebagai operator alat tenun itu. Dan, dia merasakan tenaga yang dia keluarkan untuk mengoperasikan alat tenun itu tidak kalah dari tenaga untuk mencangkul atau membajak sawah. "Malah lebih berat, tangan dan kaki terus bergerak selama berjam-jam. Kaki bisa sampai bengkak, dan karena berjam-jam bekerja dalam posisi duduk, banyak teman saya yang sakit parah. Biasanya sakitnya di sekitar punggung dan pinggang," kata Emen.

Karena bekerja di pabrik tekstil ternyata tak membuat hidupnya lebih baik, Emen kembali bekerja sebagai buruh tani. Setengah hari dia bekerja untuk mengolah sawah, setengah hari lagi dia kerja serabutan untuk menambah penghasilan. Dari menjadi penarik becak sampai bekerja di seorang bandar judi.

Dari semua jenis pekerjaan yang pernah dia geluti, bekerja di bandar judi adalah yang paling berkesan, karena dua hal. Pertama, karena selama bekerja di bandar judi dia mendapatkan uang yang berlimpah. Kedua, karena bekerja di bandar judi pula dia merasakan pahitnya berada di balik jeruji ruang tahanan.

Anehnya, kata Emen, walau saat itu dia mendapat uang berlimpah, istri dan anak-anaknya tetap sengsara. Rumah mereka tetap gubuk, pakaian dan perhiasan istrinya tak bertambah, anak-anaknya pun tak kelebihan uang jajan.

Masa hidup dari uang judi ditutup oleh peristiwa sial. Suatu hari ketika membawa uang yang dibayarkan para penjudi, Emen dan bandarnya ditangkap polisi. Mereka terkena pasal perjudian ilegal. Emen dan bandarnya pun ditahan di penjara polisi, sampai keluarga mereka membayar uang tebusan.

Akhirnya, di awal 1980-an, Emen kembali ke Citarum. Mengais rezeki dari pasir yang mengendap di dasar sungai itu, saat pabrik-pabrik tekstil mulai menggunakan mesin modern bertenaga listrik dan minyak. Saat dari saluran pembuangan pabrik-pabrik itu limbah beracun berwarna-warni menggelontor deras ke Citarum. Saat sedikit demi sedikit ikan-ikan Citarum mati dan menghilang. Saat banjir Citarum semakin besar dari waktu ke waktu.!break!

Kustandi merasa lelah dengan ke­miskinan. Maka, dia merajuk kepada ayah dan ibunya agar diizinkan mendaftar menjadi tentara. Emen tahu bekal anaknya untuk menjadi tentara tidak cukup baik. Kustandi dan kakaknya, Jajang Triana, hanya lulusan SMP. Jika lulus ujian, kariernya di tentara akan dimulai dari pangkat prajurit dua.

Kustandi tak lulus ujian. Masa depan yang terbayang di matanya adalah kehidupan yang persis seperti bapaknya. Hari-hari yang selalu terikat dengan Citarum.

Di antara lima anak Emen, Kustandi-lah yang paling tahu perjuangan ayah dan ibunya demi hidup yang lebih baik. Pada awal 1980-an, saat Emen mulai menambang pasir di Citarum, datang tawaran untuk mengikuti program transmigrasi ke Sumatra. Dalam benak Emen, janji pemerintah untuk memberikan lahan pertanian seluas 2,5 hektare dan jaminan hidup selama satu tahun pertama, begitu menggoda. Dia pun mendaftar menjadi transmigran.

Setelah mengikuti program pelatihan dan mendapat jadwal keberangkatan, dia titipkan empat anaknya kepada mertuanya. Emen hanya membawa istrinya dan Kustandi. Dengan kapal laut, Emen dan para transmigran lainnya dibawa ke wilayah hutan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.

Walau rumah sudah disediakan, ternyata para transmigran harus membuka hutan perawan untuk mendapatkan lahan pertanian. Mereka harus mengusir monyet, beruang, gajah, dan berbagai binatang hutan dari habitatnya. Menebangi pohon, lalu mengolah tanah untuk pertanian. "Suatu hari, saat istirahat membabat hutan, saya melihat satu keluarga monyet yang mengungsi karena rumah mereka kami hancurkan. Induk monyet yang menggendong anaknya itu menatap saya. Saya sedih sekali, datang jauh-jauh dari Jawa dengan mimpi akan hidup yang lebih makmur, namun untuk me­wujudkan mimpi tersebut saya harus mengusir monyet-monyet itu," tutur Emen.

Di tanah yang baru itu, Emen diberi jatah lahan di tepi sungai. Berjuang untuk hidup di tanah yang baru ternyata sangat sulit. Lahan milik Emen selalu diterjang banjir, membuat tanaman mati. Untuk bertahan hidup, dia, istri­nya Robiah, dan Kustandi benar-benar meng­andalkan jatah makanan dari pemerintah. Emen dan keluarganya pun hanya bertahan satu tahun di daerah transmigrasi.

Akhirnya, dia menjual jatah lahannya kepada seorang transmigran dari Jawa Tengah, dengan harga yang hanya cukup untuk membeli tiket pulang, kembali ke tepian Sungai Citarum.

Sepulang dari Musi Banyuasin, Emen kembali membenamkan tubuh di Citarum, mengangkuti pasir yang diberikan alam di dasar sungai itu. Sementara Kustandi, beberapa lama kemudian, dititipkan ayahnya untuk bekerja pada seorang kerabat yang sukses menjadi petani kopi di daerah Lampung.

Tetapi, itu tak lama. Kustandi pun kembali pulang ke pangkuan Citarum, bergabung dengan ayah dan kakaknya, mengundi nasib di sungai itu, yang hari demi hari airnya semakin pekat dengan racun industri.!break!

Hujan berderai lembut di Danau Cisanti, pada ujung sore pertengahan Januari. Rintik air yang jatuh dari langit, danau yang merona biru, udara yang dingin menggigit, sinar jingga yang membelai batang-batang pohon, serta kabut yang melapisi pucuk-pucuk hutan pinus di tepi danau sampai ke puncak-puncak bukit yang mengelilingi danau buatan itu, menciptakan pemandangan yang surealistis.

Di seputar tepian danau, belasan lelaki duduk dalam jarak berjauhan, dengan tudung seadanya untuk melindungi tubuh dari basah air hujan. Tangan mereka memegang pancingan, sementara mata mereka menatap guntang pancingan yang menyala di permukaan air.

Semuanya hening, dan tiba-tiba terdengar seorang pemancing berteriak memaki, ketika dia melihat hanya ikan kecil yang tersangkut di pancingannya. Makian itu mengundang makian lain dari pemancing-pemancing yang terganggu, juga tawa dari orang-orang yang sedang menikmati keindahan Cisanti.

Danau Cisanti bagai tempat suci bagi para pemancing ikan. Malam pun tak menjadi halangan bagi para pemancing itu. Mereka terus berdatangan, bahkan ada yang sengaja bermalam di sana, demi keasyikan memancing ikan. Padahal, tidak ada ikan yang istimewa di danau itu, hanya ikan mas, mujair, nila, dan lele. Suasana yang bagai dunia mimpilah yang membuat para pemancing betah berlama-lama di tempat itu.

Lebih dari segalanya, Danau Cisanti adalah simbol dari hulu Citarum. Citarum lahir dari banyak mata air di kawasan itu. Aliran berbagai mata air itulah yang kemudian dibendung dan menjadi danau buatan, yang secara kasatmata menjadi tempat Citarum dilahirkan. Ditambah dengan embel-embel sebagai petilasan Adipati Ukur, pahlawan lokal Sunda yang memimpin pemberontakan masyarakat Priangan melawan kekuasaan Sultan Agung Mataram, Danau Cisanti kian dipandang istimewa.

Melihat keindahan kawasan Cisanti dan jernihnya air danau itu, sulit untuk mem­bayangkan bagaimana Citarum yang dilahir­kannya berubah menjadi beracun—dan buas di musim hujan—hanya sekitar 20 kilometer dari hulu sungai itu. Bahkan, sebenarnya di sepuluh kilometer pertama Citarum, sungai itu sudah bermasalah karena menjadi tempat pembuangan langsung limbah peternakan sapi milik warga.

Melewati era 1990-an sampai 2000-an, Citarum terus dirajam berton-ton limbah pertanian dan peternakan di kawasan hulu, sampah rumah tangga, dan limbah industri, sampai ke wilayah hilir. Begitu pula tahun demi tahun banjir semakin besar dan meluas saat musim hujan, tetapi Citarum berubah menjadi seperti selokan di musim kemarau.

Berdasarkan data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, banjir Cekungan Bandung disebabkan tekanan penduduk, perubahan fungsi tutupan lahan hulu dan hilir, dan pengelolaan sampah yang tidak memadai. Banjir juga rutin me­nerjang karena erosi di hulu dan sedimentasi di hilir, bangunan di sempadan sungai atau badan air, sistem pengendalian air dan drainase yang tidak memadai; semuanya akibat pertumbuhan populasi yang nyaris tak terkontrol.

Jumlah penduduk di tepian sungai juga terus membengkak, seiring dengan tumbuhnya kawasan industri di sekitar sungai itu. Di kawasan hulu saja, ada sekitar 1.500 pabrik yang secara langsung maupun tak langsung mem­buang limbah ke Citarum atau ke sungai-sungai yang bermuara di Citarum. Selain itu, pertumbuhan jumlah pabrik juga mendorong tumbuhnya jumlah penduduk di kawasan itu, yang meningkatkan jumlah limbah domestik yang dibuang ke sungai. Saat ini, penduduk di DAS Citarum sekitar 15 juta jiwa. Sungai itu melewati 11 kabupaten/kota di Jawa Barat. Ironisnya, kawasan industri di sekitar aliran sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat ini menopang 20% total produksi industri Indonesia dan 60% produksi tekstil nasional.

Alih-alih mengontrol manusia dan industri, berbagai proyek pemerintah lebih banyak ditujukan langsung ke sungai itu. Mulai dari pengerukan, penyodetan, dan berbagai manipulasi teknik untuk membuat sungai itu kembali ramah. Dana yang dihabiskan sudah ratusan miliar rupiah, tetapi sampai hari ini Citarum masih menderita.

Proyek dengan dana ratusan miliar rupiah itu pun tidak datang begitu saja. Proyek itu datang karena lobi pemerintah kepada lembaga-lembaga keuangan internasional. Akhirnya, beban Citarum bukan saja erosi, sedimentasi, limbah, dan sampah. Sungai itu pun kini terbebani utang luar negeri negara ini.

Salah satu proyek terbaru diberi nama Integrated Citarum Water Resource Mana­gement Investment Program (ICWRMIP), senilai 500 juta dolar AS atau sekitar Rp5 triliun. Dana untuk proyek multitahap itu berasal dari utang pemerintah Indonesia kepada Asian Development Bank.!break!

Emen dan keluarganya tidak tahu, juga tidak peduli, ada utang negara berjumlah triliunan rupiah untuk Citarum. Bagi Emen, angka itu hanya ada di dunia fantasi. Yang Emen pedulikan, saat ini dia masih me­nanggung utang kepada rentenir.

Dan di sore yang basah oleh hujan, Emen melamun di kursi bobrok di teras rumahnya. Matanya menatap genangan air di depan dan samping rumahnya, karena saluran pembuangan ke sungai pampat oleh sampah.

Rupanya dia sedang menghitung hari. Se­minggu lagi utangnya jatuh tempo, dan sebelum tanggal itu dia harus memiliki Rp400 ribu se­bagai cicilan utang tersebut. Jika dia tidak mampu membayar, sepeda motor anaknya akan disita. "Ini hari-hari yang membuat stres," kata Emen, sambil memandangi hujan dengan tatapan khawatir. Hujan turun terus, jadi saya tidak bisa menambang pasir, dan hanya mendapat penghasilan dari menggarap sawah. Padahal, pembayaran utang tidak bisa ditunda."

Jajang tiba ke rumah itu dengan meng­guna­kan sepeda motor bebek. Dia basah kuyup tanpa jas hujan, lalu berbincang dengan ayahnya. Setelah Jajang masuk ke rumah, Emen menatap sepeda motor bebek itu.

"Itu sepeda motornya. Motor itu pernah saya gadaikan untuk membeli perahu baru," kata Emen, tertawa masam.

Hampir tiga tahun lalu, dia meminta anaknya, Jajang Triana untuk menggadaikan sepeda motornya, demi mendapatkan uang sekitar Rp5 juta. Uang itu akan dia gunakan untuk membeli perahu baru yang harganya Rp7 juta.

Dengan membawa uang hasil menggadaikan sepeda motor, ditambah uang tabungan serta urunan dari Jajang dan Kustandi, Emen dan dua anaknya itu pergi ke seorang pembuat perahu yang tinggal dekat sebuah jembatan yang melintang di atas Citarum, di Kecamatan Baleendah. Tempat itu sekitar 25 kilometer dari rumah Emen.

Perahu itulah yang akan digunakan untuk menampung dan mengangkut pasir dari tengah sungai. Dengan menggunakan perahu, kerja Emen dan dua anaknya lebih efektif dengan daya jelajah yang relatif luas untuk mencari area yang diendapi pasir berkualitas baik.

Setelah perahu itu jadi, dengan proses pembuatan selama dua minggu, Emen dan dua anaknya mendayung melawan arus Citarum, dari arah hilir ke hulu. "Bisa saja diangkut meng­gunakan truk, tapi harganya mahal. Lebih baik menggunakan tenaga sendiri saja, lebih irit," kata Emen.!break!

Bagi Tarun, emen hanya satu pelanggan dari sekian banyak pelanggan hasil kerajinan tangannya. Lelaki berusia 55 tahun ini sudah tak bisa lagi menghitung berapa banyak perahu kayu yang dia buat sejak pertengahan 1970-an. Dia hanya bisa menghitung rata-rata setiap bulan dia menerima pesanan 15 perahu kecil, dan tiga perahu besar seperti yang dipesan Emen.

Di tepian Citarum di Kampung Mekarsari, Kecamatan Baleendah, setiap hari Tarun me­nekuni proses pembuatan perahu demi perahu pesanan para pelanggan. Dulu, Tarun bekerja di bawah bimbingan ayahnya. Kini dia yang menjadi pembimbing anaknya, Dadang, agar keahlian membuat perahu kayu itu tak putus dari garis keluarga mereka.

Tarun lahir dan besar di tepian sungai itu. Begitu juga ayah dan kakeknya. Dia tidak tahu sudah berapa generasi keluarga itu tinggal di sana dan menggantungkan hidup pada keahlian membuat perahu. Kini, keahlian itu mulai dikuasai Dadang, satu-satunya dari tujuh anak Tarun yang mau menekuni keterampilan itu.

"Perahu buatan saya biasanya digunakan penambang pasir atau pemulung sampah di Citarum," kata Tarun. "Beberapa orang dan lembaga juga pernah memesan perahu dari saya untuk digunakan sebagai perahu penyelamat saat banjir."

Perubahan yang terjadi pada Citarum tidak pernah mengganggu bisnis perahu Tarun. Saat Citarum bersih dan banyak ikannya, pelanggan memesan perahu untuk menangkap ikan. Saat Citarum berubah menjadi kotor dan penuh sampah, para pelanggan tetap memesan perahu dari Tarun, untuk menambang pasir dan memulung sampah.

Karena itu, Tarun tidak pernah berpikir untuk berhenti dari pekerjaannya. Tak pernah terpikir juga untuk pindah tempat tinggal dari tepian Citarum, walau tahun demi tahun air sungai itu semakin tidak bisa diminum, dan sering meluap membawa banjir. Bagi dia dan keluarganya, Citarum telah mengajarkan keterampilan mem­buat perahu, dan dari Citarum pula mereka mendapatkan nafkah.

"Citarum memang berubah sejak pabrik-pabrik bermunculan mulai akhir 1970-an. Air yang tadinya bening jadi hitam dan bau, dan semakin sering membawa banjir. Tetapi, sejak ada proyek penyodetan, wilayah tempat tinggal saya tidak pernah lagi kebanjiran. Yang masih terendam banjir saat musim hujan hanya di Cieuntung, yang berbatasan dengan Dayeuhkolot," ucap Tarun.

Di siang yang panas itu, Tarun tekun membor bilah-bilah papan kayu. Sementara Dadang, juga sibuk dengan kegiatan yang sama, sambil sesekali memeriksa kayu yang sedang dia bengkokkan pada api pembakaran sampah. Tidak ada peralatan listrik di bengkel mereka, juga tidak ada alat ukur untuk menghitung panjang kayu atau sudut yang tepat untuk membengkokkan kayu. Alat utama yang mereka gunakan hanya bor manual, golok, tatah, gergaji, dan ketam. Untuk memproses bilah-bilah papan menjadi perahu, mereka hanya mengandalkan naluri dan rasa.

"Kalau mengerjakan sesuatu selama bertahun-tahun, kita akan hafal sendiri ukuran dan bentuknya. Tinggal ditebak saja. Tidak perlu lagi penggaris atau meteran," kata Dadang, di tengah kesibukannya membangun perahu.

Dulu, sampai kira-kira sepuluh tahun lalu, Tarun dan Dadang bahkan tidak perlu membeli kayu di toko kayu. Kayu jenis suren itu mereka cari sendiri di hutan. Tetapi kini, mereka tak berani mencari kayu sendiri di hutan. Selain karena hutannya sudah semakin jarang, dengan mengambil kayu di hutan mereka bisa terjerat hukum. "Lagi pula lebih enak beli di toko, karena kayunya sudah dipotong menjadi papan," kata Dadang.

"Tetapi harus kayu suren, tidak bisa jenis lain," tambah Tarun, "karena kayu suren mengandung minyak, sehingga tidak mudah keropos dan lebih mudah diprosesnya. Kalau kayu jenis lain, tidak cocok untuk bahan perahu. Sebenarnya, kayu jati bagus juga untuk perahu, tetapi harganya mahal dan kayunya keras. Butuh tenaga lebih untuk memprosesnya."

Dadang sangat mencintai pekerjaannya, dan dia bersyukur dianugerahi bakat seperti ayah dan kakeknya. Lelaki kelahiran 1981 itu hanya bersekolah sampai SMP. Dan, seperti pemuda lain di tepian Citarum, awalnya dia pun bermimpi untuk bekerja di pabrik demi masa depan yang lebih cerah. Tak lama setelah lulus SMP pada 1997, Dadang sempat bekerja di pabrik yang memproduksi pakaian, tetapi kemudian dia mengalami pekerjaan itu tidak seperti yang diimpikannya.

Dia merasa terkekang dengan jam kerja di pabrik, terlebih lagi gajinya kecil. Jika ingin mendapatkan gaji lebih besar, dia harus lembur sampai tengah malam. Tak tahan dengan situasi kerja seperti itu, delapan bulan kemudian dia mengundurkan diri.

Dalam keadaan menganggur, Dadang tak memiliki pilihan lain selain membantu ayahnya. Tarun pun mengajari Dadang cara membuat perahu. "Yang diajarkan ayah saya hanya dasar-dasarnya. Lalu saya langsung disuruh membuat perahu sendiri, tanpa diawasi atau dibimbing. Awalnya panik juga, bagaimana memproses bilah-bilah papan sampai jadi perahu? Tetapi saya kerjakan saja semampunya. Saya pikir, kalaupun gagal, perahu buatan saya masih berguna untuk menjadi lesung," tutur Dadang.

Dia hanya butuh waktu sepekan untuk membuat perahu pertamanya. Selanjutnya, Dadang semakin ahli, dan dapat menyelesaikan satu perahu kecil dalam dua hari. Sekarang, dia bukan lagi sebagai pembantu ayahnya, tetapi sudah pada posisi rekan kerja. Tarun dan Dadang mengerjakan perahu masing-masing untuk memenuhi belasan pesanan setiap bulan.

"Penghasilan saya dari membuat perahu jauh lebih besar daripada gaji di pabrik. Selain itu, jam kerja saya sangat bebas. Kalau capek, ya tinggal istirahat, tidak perlu menunggu jam istirahat. Kalau sakit, tidak perlu izin untuk tidak bekerja," ucap Dadang.

Hari itu Dadang dan Tarun sedang ditunggui seorang pemesan perahu. Pemesan itu bernama Encep, seorang penampung sampah Citarum dari Desa Cihampelas, desa di Kabupaten Bandung Barat, dekat Waduk Saguling, sekitar 30 kilometer dari bengkel milik Tarun.

Sudah tiga minggu Encep menunggu pesanan perahunya. Dia memesan empat perahu ber­ukuran kecil. Kata dia, biasanya dalam delapan hari pesanan sebanyak itu selesai. Tetapi, pada Februari pesanan perahu ke bengkel Tarun cukup padat, sehingga pesanan perahu Encep tidak bisa selesai pada waktunya.

Encep sudah tidak sabar, karena itu dia me­nunggui proses pembuatan perahu pesanannya. Dia ingin memastikan empat perahu itu se­lesai dalam waktu tidak lebih dari dua hari lagi. Raut wajahnya cerah, ketika tahu tiga perahu pesanannya sudah siap. Tinggal satu perahu yang masih dikerjakan, dan Dadang memastikan besok subuh empat perahu itu sudah tiba di rumah Encep.

Lelaki berusia 35 tahun itu mengandalkan perahu-perahu karya Tarun dan Dadang dalam jajaran armada sungainya. Ada belasan perahu kayu yang dia miliki. Semakin banyak perahu yang dia miliki, usahanya akan semakin menguntungkan. "Saya hanya percaya perahu buatan mereka, karena sudah terbukti kuat. Saya pernah mencoba perahu buatan perajin lain, tidak ada yang bertahan sampai enam tahun," kata Encep.

Di saat banyak orang mengutuki Citarum yang dipenuhi sampah, Encep justru meng­gantungkan hidup pada sampah di sungai itu. Setiap hari, armada perahunya mengangkut tidak kurang dari dua ton sampah dari Citarum. Sampah dari berbagai jenis, apakah itu plastik, logam, busa, bahkan juga eceng gondok, diangkut lalu dipilah-pilah berdasarkan jenisnya di tempat penampungan. Sampah yang sudah dipilah itu kemudian dijual ke industri yang akan mengolahnya kembali menjadi barang lain.

Encep tidak lahir dan besar di tepian Cita­rum. Dia lahir dan besar di Jamika, wilayah padat penduduk di Kota Bandung. Di Jamika pula dia belajar, sampah bisa menghasilkan uang. Sekitar sepuluh tahun lalu dia pindah ke Desa Cihampelas di tepian Citarum, dan mendulang berton-ton sampah di sungai itu dan mengubahnya menjadi pendapatan.

Sekarang Encep tidak perlu lagi terjun langsung ke sungai. Dia sudah memosisikan diri sebagai penampung, puncak dalam rantai bisnis sampah Citarum. Dia cukup menyediakan lahan pe­nampungan di rumahnya, menyediakan armada perahu kayu, dan mengizinkan para pe­muda di desanya menggunakan perahu-perahu itu untuk mengangkut sampah. Bahkan, para pemuda di desanya tidak perlu menyewa perahu-perahu itu dari Encep. Syaratnya hanya satu, sampah yang mereka peroleh hanya boleh dijual kepada Encep.

Sampah-sampah itu kemudian dipilah dan ditimbang, lalu Encep membayarnya dengan harga yang sudah dia tentukan. Hasilnya, dua pihak sama-sama untung. Encep mendapat banyak barang untuk dia jual ke industri peng­olahan, sedangkan para pemuda yang meng­gunakan perahunya mendapatkan uang dari sampah yang mereka angkut dari sungai.

"Jadi, bagi saya, sampah itu rezeki. Saya juga tidak khawatir kehilangan penghasilan jika suatu hari Citarum bersih. Saya yakin, saya akan selalu mendapatkan sampah," kata Encep. Optimisme Encep akan bisnis sampah me­mang beralasan. Dengan berton-ton sampah yang disaring para pemulung setiap hari sebelum Citarum mencapai Waduk Saguling, tetap saja volume sampah yang masuk ke waduk itu mencapai 10 ton per hari.

Bisnisnya juga tidak mengenal musim. Saat musim kemarau, sampah dari arah hulu memang berkurang, tetapi sampah yang meng­endap di dasar sungai lebih mudah diambil oleh para pemulungnya. Saat musim hujan, sampah dari arah hulu berlimpah, dan dia bisa mendapatkan lebih banyak sampah yang berharga lebih tinggi, seperti dari jenis logam.!break!

Berdiri di jembatan lama di Baleendah bukanlah hal yang menyenangkan untuk hidung, mata, dan ingatan. Dari atas jembatan itu, kita bisa melihat bekas aliran Citarum, yang kini telah dialihkan. Bekas aliran itu dipenuhi begitu banyak sampah, sampai menyebarkan bau busuk yang menyengat.

Pemandangan yang tak elok dilihat itu berlatar jajaran pegunungan yang samar terlihat di tenggara, tempat Gunung Wayang berada, dan mata airnya mengalirkan Citarum. Di gunung itu, mata air Citarum begitu jernih dan terasa sakral. Tetapi di atas jembatan itu, yang terlihat hanyalah Citarum yang membusuk.

Generasi Emen dan Tarun masih menyimpan ingatan ketika Citarum begitu hidup, mengalir deras sepanjang tahun dengan kejernihan air­nya, bersama beragam ikan yang hidup di dalam­nya. Tetapi, ingatan itu tak terwariskan pada generasi anak-anak mereka. Yang terwaris­kan hanyalah kehidupan yang bergantung pada aliran sungai yang hitam dan beracun. Sungai yang tak lagi hidup tapi masih bisa menghidupi, selama mereka bisa menyiasati perubahan-perubahan yang terjadi di sungai itu.

Lalu, apa yang akan terjadi ketika generasi Emen dan Tarun hilang bersama ingatan tentang Citarum? Mungkin sulit me­ngembalikan Cita­rum seperti sediakala, karena kita tak tahu paras sungai itu saat masih permai dahulu.