Mengikat Nasib pada Nadi Citarum

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:09 WIB

Melewati era 1990-an sampai 2000-an, Citarum terus dirajam berton-ton limbah pertanian dan peternakan di kawasan hulu, sampah rumah tangga, dan limbah industri, sampai ke wilayah hilir. Begitu pula tahun demi tahun banjir semakin besar dan meluas saat musim hujan, tetapi Citarum berubah menjadi seperti selokan di musim kemarau.

Berdasarkan data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, banjir Cekungan Bandung disebabkan tekanan penduduk, perubahan fungsi tutupan lahan hulu dan hilir, dan pengelolaan sampah yang tidak memadai. Banjir juga rutin me­nerjang karena erosi di hulu dan sedimentasi di hilir, bangunan di sempadan sungai atau badan air, sistem pengendalian air dan drainase yang tidak memadai; semuanya akibat pertumbuhan populasi yang nyaris tak terkontrol.

Jumlah penduduk di tepian sungai juga terus membengkak, seiring dengan tumbuhnya kawasan industri di sekitar sungai itu. Di kawasan hulu saja, ada sekitar 1.500 pabrik yang secara langsung maupun tak langsung mem­buang limbah ke Citarum atau ke sungai-sungai yang bermuara di Citarum. Selain itu, pertumbuhan jumlah pabrik juga mendorong tumbuhnya jumlah penduduk di kawasan itu, yang meningkatkan jumlah limbah domestik yang dibuang ke sungai. Saat ini, penduduk di DAS Citarum sekitar 15 juta jiwa. Sungai itu melewati 11 kabupaten/kota di Jawa Barat. Ironisnya, kawasan industri di sekitar aliran sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat ini menopang 20% total produksi industri Indonesia dan 60% produksi tekstil nasional.

Alih-alih mengontrol manusia dan industri, berbagai proyek pemerintah lebih banyak ditujukan langsung ke sungai itu. Mulai dari pengerukan, penyodetan, dan berbagai manipulasi teknik untuk membuat sungai itu kembali ramah. Dana yang dihabiskan sudah ratusan miliar rupiah, tetapi sampai hari ini Citarum masih menderita.

Proyek dengan dana ratusan miliar rupiah itu pun tidak datang begitu saja. Proyek itu datang karena lobi pemerintah kepada lembaga-lembaga keuangan internasional. Akhirnya, beban Citarum bukan saja erosi, sedimentasi, limbah, dan sampah. Sungai itu pun kini terbebani utang luar negeri negara ini.

Salah satu proyek terbaru diberi nama Integrated Citarum Water Resource Mana­gement Investment Program (ICWRMIP), senilai 500 juta dolar AS atau sekitar Rp5 triliun. Dana untuk proyek multitahap itu berasal dari utang pemerintah Indonesia kepada Asian Development Bank.!break!

Emen dan keluarganya tidak tahu, juga tidak peduli, ada utang negara berjumlah triliunan rupiah untuk Citarum. Bagi Emen, angka itu hanya ada di dunia fantasi. Yang Emen pedulikan, saat ini dia masih me­nanggung utang kepada rentenir.

Dan di sore yang basah oleh hujan, Emen melamun di kursi bobrok di teras rumahnya. Matanya menatap genangan air di depan dan samping rumahnya, karena saluran pembuangan ke sungai pampat oleh sampah.

Rupanya dia sedang menghitung hari. Se­minggu lagi utangnya jatuh tempo, dan sebelum tanggal itu dia harus memiliki Rp400 ribu se­bagai cicilan utang tersebut. Jika dia tidak mampu membayar, sepeda motor anaknya akan disita. "Ini hari-hari yang membuat stres," kata Emen, sambil memandangi hujan dengan tatapan khawatir. Hujan turun terus, jadi saya tidak bisa menambang pasir, dan hanya mendapat penghasilan dari menggarap sawah. Padahal, pembayaran utang tidak bisa ditunda."

Jajang tiba ke rumah itu dengan meng­guna­kan sepeda motor bebek. Dia basah kuyup tanpa jas hujan, lalu berbincang dengan ayahnya. Setelah Jajang masuk ke rumah, Emen menatap sepeda motor bebek itu.

"Itu sepeda motornya. Motor itu pernah saya gadaikan untuk membeli perahu baru," kata Emen, tertawa masam.

Hampir tiga tahun lalu, dia meminta anaknya, Jajang Triana untuk menggadaikan sepeda motornya, demi mendapatkan uang sekitar Rp5 juta. Uang itu akan dia gunakan untuk membeli perahu baru yang harganya Rp7 juta.