Mengikat Nasib pada Nadi Citarum

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:09 WIB

Dengan membawa uang hasil menggadaikan sepeda motor, ditambah uang tabungan serta urunan dari Jajang dan Kustandi, Emen dan dua anaknya itu pergi ke seorang pembuat perahu yang tinggal dekat sebuah jembatan yang melintang di atas Citarum, di Kecamatan Baleendah. Tempat itu sekitar 25 kilometer dari rumah Emen.

Perahu itulah yang akan digunakan untuk menampung dan mengangkut pasir dari tengah sungai. Dengan menggunakan perahu, kerja Emen dan dua anaknya lebih efektif dengan daya jelajah yang relatif luas untuk mencari area yang diendapi pasir berkualitas baik.

Setelah perahu itu jadi, dengan proses pembuatan selama dua minggu, Emen dan dua anaknya mendayung melawan arus Citarum, dari arah hilir ke hulu. "Bisa saja diangkut meng­gunakan truk, tapi harganya mahal. Lebih baik menggunakan tenaga sendiri saja, lebih irit," kata Emen.!break!

Bagi Tarun, emen hanya satu pelanggan dari sekian banyak pelanggan hasil kerajinan tangannya. Lelaki berusia 55 tahun ini sudah tak bisa lagi menghitung berapa banyak perahu kayu yang dia buat sejak pertengahan 1970-an. Dia hanya bisa menghitung rata-rata setiap bulan dia menerima pesanan 15 perahu kecil, dan tiga perahu besar seperti yang dipesan Emen.

Di tepian Citarum di Kampung Mekarsari, Kecamatan Baleendah, setiap hari Tarun me­nekuni proses pembuatan perahu demi perahu pesanan para pelanggan. Dulu, Tarun bekerja di bawah bimbingan ayahnya. Kini dia yang menjadi pembimbing anaknya, Dadang, agar keahlian membuat perahu kayu itu tak putus dari garis keluarga mereka.

Tarun lahir dan besar di tepian sungai itu. Begitu juga ayah dan kakeknya. Dia tidak tahu sudah berapa generasi keluarga itu tinggal di sana dan menggantungkan hidup pada keahlian membuat perahu. Kini, keahlian itu mulai dikuasai Dadang, satu-satunya dari tujuh anak Tarun yang mau menekuni keterampilan itu.

"Perahu buatan saya biasanya digunakan penambang pasir atau pemulung sampah di Citarum," kata Tarun. "Beberapa orang dan lembaga juga pernah memesan perahu dari saya untuk digunakan sebagai perahu penyelamat saat banjir."

Perubahan yang terjadi pada Citarum tidak pernah mengganggu bisnis perahu Tarun. Saat Citarum bersih dan banyak ikannya, pelanggan memesan perahu untuk menangkap ikan. Saat Citarum berubah menjadi kotor dan penuh sampah, para pelanggan tetap memesan perahu dari Tarun, untuk menambang pasir dan memulung sampah.

Karena itu, Tarun tidak pernah berpikir untuk berhenti dari pekerjaannya. Tak pernah terpikir juga untuk pindah tempat tinggal dari tepian Citarum, walau tahun demi tahun air sungai itu semakin tidak bisa diminum, dan sering meluap membawa banjir. Bagi dia dan keluarganya, Citarum telah mengajarkan keterampilan mem­buat perahu, dan dari Citarum pula mereka mendapatkan nafkah.

"Citarum memang berubah sejak pabrik-pabrik bermunculan mulai akhir 1970-an. Air yang tadinya bening jadi hitam dan bau, dan semakin sering membawa banjir. Tetapi, sejak ada proyek penyodetan, wilayah tempat tinggal saya tidak pernah lagi kebanjiran. Yang masih terendam banjir saat musim hujan hanya di Cieuntung, yang berbatasan dengan Dayeuhkolot," ucap Tarun.

Di siang yang panas itu, Tarun tekun membor bilah-bilah papan kayu. Sementara Dadang, juga sibuk dengan kegiatan yang sama, sambil sesekali memeriksa kayu yang sedang dia bengkokkan pada api pembakaran sampah. Tidak ada peralatan listrik di bengkel mereka, juga tidak ada alat ukur untuk menghitung panjang kayu atau sudut yang tepat untuk membengkokkan kayu. Alat utama yang mereka gunakan hanya bor manual, golok, tatah, gergaji, dan ketam. Untuk memproses bilah-bilah papan menjadi perahu, mereka hanya mengandalkan naluri dan rasa.

"Kalau mengerjakan sesuatu selama bertahun-tahun, kita akan hafal sendiri ukuran dan bentuknya. Tinggal ditebak saja. Tidak perlu lagi penggaris atau meteran," kata Dadang, di tengah kesibukannya membangun perahu.