Peninggalan dan Cerita Keluarga, Cara Mengungkap Sejarah Rakyat

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 20 April 2022 | 11:00 WIB
Duduk dari kanan ke kiri: Pestiati memangku Sri Parwati, Dokter Tjip, Ny. Mien Tjipto, dan Pratomo memangku anak pertamanya (Sri Pandansari Agustini). Di belakang dua pria merupakan kerabat Dokter Tjip tahun 1942. Peninggalan seperti foto dan cerita di lingkup keluarga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pengetahuan sejarah tentang rakyat yang terlupakan. (Koleksi Hanifditya/Keluarga Pestiati)

Nationalgeographic.co.id—Pada dekade 1960-an, seorang tokoh Katolik di suatu desa di Jawa Timur menentang kebijakan agraria. Kebijakan itu mengharuskan pembagian tanah pribadi kepada orang yang tidak memiliki tanah. Tokoh ini menganggap kebijakan itu sebuah penindasan. Dia menuding pemerintah Soekarno yang dekat dengan PKI, merampas kepemilikan pribadi.

Tokoh ini sudah tiada, namun ia menjadi subjek penelitian Grace Leksana. Ia merupakan peneliti sejarah di KITLV dan dosen di Universitas Negeri Malang. Dia mendapati kisah dari anak sang tokoh itu yang bernama Burmudji.

Grace mendapati, bapak dari Burmudji ini sebelumnya adalah mandor perkebunan Belanda. Ia bertugas sebagai pejabat yang menggaji dan menghitung gaji buruh saat itu. Tugas di dipercayakan kepadanya karena ia mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Bisa dibilang, kehidupan bersama keluarganya lebih mapan dan lebih mampu dibandingkan masyarakat biasa.

"Jadi, sejarah keluarga ini bisa membantu saya untuk memahami bagaimana sebenarnya ketegangan antara kelompok kiri dan kanan sebelum '65 sangat dipengaruhi oleh relasi kepemilikan, properti, dan kelas," kata Grace dalam Partihistori, bincang daring yang diadakan oleh Sejarah Lintas Batas (SINTAS), Selasa 12 April 2022.

"Bapaknya ini saja sudah dianggap sebagai elit desa karena pendidikannya, pekerja pegawai kolonial, itu sudah membentuk sebuah kelas tersendiri di desa itu. Ini sebenarnya sebuah contoh bagaimana sejarah keluarga itu memperlihatkan gambaran mikroskopis dinamika desa di tahun 1965 yang kadang enggak bisa, tertutup oleh G30S, penculikan jenderal, dan kekerasan itu sendiri."

Menurut Grace, sejarah keluarga adalah metode penelusuran historiografi agar bisa memperluas dan memperbeasar wawasan. Sebab, semua orang dari kelas sosial apa pun dan gender apa pun, memiliki kisah sendiri pada masa lalu yang tersimpan dalam memori kolektif keluarga.

Makna keluarga yang bisa dipakai dalam istilah dalam metode ini, bisa lebih luas. Keluarga bisa termasuk orang lain yang terlibat di dalamnya, meski secara jarak seperti saudarah jauh, dan yang bukan  dari hubungan darah tetapi dekat seperti pembantu rumah tangga atau pengasuh.

"Jadi konteks keluarga itu bisa sangat luwes, fleksibel, lebih dari sekadar hubungan darah, belum lagi ada cerita perceraian, kawin-mawin, dan segala macamnya," ujar Grace.

Pemahaman tentang keluarga sebagai metode, harus dilihat bagaimana konstruksi yang mendefinisikan keluarga itu sendiri, terangnya. Sejarah keluarga dalam periode tertentu bisa memiliki cerita atau dampak dari luar yang memengaruhinya.

Baca Juga: Dendang Lagu yang Merekam Sejarah Kehidupan Rakyat yang Terlupakan

Baca Juga: Warga Surabaya dalam Pusaran Politik Sehari-hari Zaman Hindia Belanda

Baca Juga: Perang Kedongdong, Perlawanan Rakyat Miskin Cirebon Atas Penjajah

  

"Ketika menelusuri ini, harus melihat mana yang ranah publik seperti negara, lingkungan, masyarakat, dan peraturan-peraturan, dengan ranah privat. Jadi bagaimana keluarga dengan rentang periode sejarah tertentu itu terpengaruh oleh arus zaman, kebijakan, dan lingkungan sekitarnya."

Di sisi lain, bisa juga ranah privat suatu keluarga keluarga menginterpretasikan publik. Misal, bagaimana peristiwa Mei 1998 dipahami oleh keluarga Tionghoa di Jakarta sebagai diskriminasi rasial dan mengancam keamanan mereka. Pemahaman akan berbeda pada keluarga yang tinggal di Makassar yang mengingat peristiwa itu sebagai masa di mana harga kebutuhan banyak yang naik.

(Keempat dari kiri, dirangkul) Andi Pakkanna bersama para veteran lainnya di Bantaeng yang terdiri dari AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan PPI (Penerjang Penjajah Indonesia) berpose bersama anak-anaknya pada 1980-an di Bone. Foto seperti ini bisa menjadi sumber sejarah yang harus digali dengan analisis ketika mencari sejarah keluarga dengan konteks yang besar. (Dok. Keluarga Pakkanna)

Keunggulan dari penelitian sejarah berbasis keluarga, menurut Grace, ada banyak keunggulan. "Salah satu sisi positif sejarah keluarga itu kita tidak perlu berbenturan dengan birokrasi untuk melihat arsip, dan perizinannya. Dia bisa sangat mudah, apa lagi kalau itu sejarah keluarga sendiri," jelasnya.

Beberapa sumber bagi peneliti bisa menggunakan dokumen ego, seperti akte kelahiran, buku harian, buku asosiasi keagamaan, atau surat pribadi.

Tetapi, tidak semua keluarga punya tradisi menulis. Di Indonesia, kebiasaan menulis untuk buku harian hanya dilakukan kalangan elit. Tentu tidak ada waktu bagi masyarakat petani di desa pada masa lalu untuk membuatnya. Maka, sumber yang bisa dipakai sebagai penggantinya adalah cerita lisan.

Sosok The Sin Nio, salah satu veteran pejuang kemerdekaan Indonesia. Sejarahnya cukup samar untuk diungkap. Foto ini diambil dari majalah, yang menjadikannya sumber sejarah yang bisa digali oleh sejarawan berbasis keluarga. ()

Sumber lainnya yang bisa dipakai adalah visual seperti foto keluarga atau dokumentasi film. Foto dan video kerap dijadikan sebagai lampiran pemanis dalam artikel dan penulisan makalah, padahal ada konteks yang bisa dipahami di dalamnya. Grace mengatakan, ada alasan mengapa foto dan video dibuat dengan latar dan pakaian seseorang yang dibuatnya demikian. Dokumen seperti ini, di masa lalu, tentu bagi seseorang di dalamnya hendak membangun persepsi seperti apa ia terlihat.

Perlu juga konteks sekitar untuk membangun analisis sejarah. Sumber-sumber terkait masa itu bisa dipakai dari koran atau laporan yang menyangkut tempat dan waktu yang berhubungan dengan keluarga.

Grace menuturkan, ketika semua fakta, peristiwa, dan konteks seperti ekonomi, sosial, dan politik telah dikumpulkan, analisis yang perlu dilakukan bagi sejarawan adalah pandangan histrois yang kritis. Pandangan kritis bisa berupa pertanyaan misalnya, bagaimana posisi suatu keluarga dalam struktur kelas, ras, dan gender yang lebih luas, atau bagaimana relasi kuasa yang ada di dalam dan sekitar keluarga.

   

Baca Juga: Meski Bukan Sejarawan, Jurnalis Juga Bisa Membuat Karya Biografi

Baca Juga: Telisik Dua Tokoh Misterius dalam Kisah Biografi Ktut Tantri

Baca Juga: Selidik Tjamboek Berdoeri dan Catatan Terlupakan Revolusi Indonesia

Baca Juga: Tan Hong Boen dari Tegal, Penulis Pertama Riwayat Hidup Bung Karno

  

Pandangan kritis juga bisa berupa mengapa ada beberapa cerita yang bertahan, ditentang, atau berubah. Sering kali didapati, keluarga menyembunyikan atau mengabsenkan cerita dari anggotanya dengan tujuan sesuatu, dan sejarawan harus membongkarnya.

Grace menyayangkan hanya ada sedikit wadah untuk penelitian sejarah keluarga. Padahal di luar negeri, ada banyak portal yang membantu seseorang mencari akar keluarga di dalam perkumpulan yang memuat arsip.

"Banyak orang yang melihat fenomena ini sebagai tren kebutuhan seseorang mencari identitasnya untuk eksis di dunia global ini," tuturnya. Tren seperti itu bisa dilihat di internet dengan pencarian family history yang hasilnya memuat portal-portal wadah penelitian sejarah keluarga.

"Coba 'sejarah keluarga'. Yang banyak keluar sejarah tentang keluarga-keluarga pejabat publik, genealogi, dinasti kerajaan. Kalau di Indonesia, justru silsilah keluarga tokoh-tokoh atau orang penting," pungkasnya.