Nationalgeographic.co.id - Pada Minggu (18/11) Laude M. Saleh Hanan, volunteer Yayasan Wakatobi, yang juga menjadi Ketua Badan Promosi Wakatobi, bersama dengan WWF dan Akademi Komunitas Perikanan dan Kelautan (AKKP) Wakatobi menemukan Paus Sperma (P. Macrocephalus) yang sudah menjadi bangkai di perairan Desa Kapota, Kecamatan Wangi Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Sedihnya, saat melakukan pemeriksaan terhadap organ dalam paus tersebut, berbagai sampah ditemukan. Dari hasil identifikasi yang dilakukan dosen AKKP Wakatobi, ditemukan beberapa jenis sampah plastik dengan komposisi: gelas plastik 750 gram (115 buah), plastik keras 140 gra, (19 buah), botol plastik 150 gram (4 buah), kantong plastik 260 gram (25 buah), serpihan kayu 740 gram (6 potong), sandal jepit 270 gram (2 buah), karung nilon 200 gram (1 potong), tali rafia 3260 gram (lebih dari 1000 potong), di dalam tubuh paus.
Secara total, berat basah sampah yang dimakan hewan malang tersebut berjumlah 5,9 kilogram. Ini bukanlah angka yang sedikit. Apalagi, sebagian besar sampah tadi telah berubah warna. Hal ini menandakan bahwa sampah-sampah tersebut sudah berada di dalam tubuh paus ini dan mengendap dalam waktu yang lama.
Baca Juga : (Video) Nahas, Paus Sperma Mati dengan Berbagai Sampah di Dalam Perut
Jauh sebelum ditemukannya plastik pada tubuh paus sperma di Wakatobi ini, banyak hewan laut yang tanpa sengaja terjerat atau mengonsumsi jenis sampah yang sulit terurai tersebut. Mulai dari lobster, ikan pari, lumba-lumba, ubur-ubur, bayi anjing laut, paus pilot jantan dan yang lainnya.
Hewan laut yang berada di perairan dalam pun tak bisa menghindari ancaman sampah plastik. Pasalnya, kantung plastik belanjaan berhasil ditemukan di kedalaman 10.994 meter di Palung Mariana. Perlu diketahui bahwa Palung Mariana merupakan tempat terdalam di Bumi. Fakta ini membuktikan betapa daruratnya masalah sampah plastik di dunia.
Belum lama ini, sekelompok peneliti Austria juga telah menemukan bukti bahwa mikroplastik–potongan, fragmen, dan serat plastik–ternyata terakumulasi pada kotoran manusia. Artinya, setelah hewan laut memakan sampah plastik, manusia kemudian ikut menelannya melalui tuna, udang, atau lobster, dll. Dampak sampah plastik sangat luas, bukan?
Sampah plastik dari manusia dan bahayanya bagi hewan laut
Seberapa banyakkah plastik yang diproduksi manusia? Menurut Our World in Data, pada 1950, dunia hanya memproduksi dua juta ton per tahunnya. Namun, sejak saat itu, produksi tahunan plastik meningkat hampir 200 kali lipat--menjadi 7,8 miliar ton di 2015. Jumlah ini setara dengan massa 2/3 populasi dunia.
Plastik, seperti yang kita tahu, dapat bertahan lama di Bumi, bahkan hingga 60-70 tahun. Dan plastik yang dibuat pada masa awal pun kemungkinan masih ada hingga saat ini.
Menurut para penelti dari Environment Agency Austria dan Medical University of Vienna, setengah dari total plastik yang ada saat ini, berasal dari abad ke-21. Namun sayangnya, hanya 20% sampah plastik yang didaur ulang. Pada akhirnya, sekitar 10 miliar ton plastik berakhir di lautan setiap tahunnya.
Plastik yang ada di laut bisa berasal dari daratan maupun perairan. Polusi plastik dari perairan mengacu kepada sampah sisa-sisa alat penangkap ikan seperti jaring, tali, dan bangkai kapal. Sementara yang dari daratan berasal dari kehidupan modern manusia, di mana plastik kerap digunakan sebagai 'barang sekali pakai' seperti botol, gelas, dan alat makan plastik, serta pembersih telinga.
Sampah-sampah ini akan sangat berbahaya bagi hewan laut karena mereka akan mengira plastik sebagai makanannya dan akhirnya mengonsumsinya. Penyu misalnya, mereka tidak dapat membedakan kantung plastik dengan ubur-ubur, sehingga kerap mengonsumsinya tanpa sengaja. Saat sampah plastik masuk kepencernaan hewan laut, itu dapat menyebabkan penyumbatan dan akhirnya kematian.
Menurut riset, pada tahun 2050, rerata spesies laut di Bumi akan mengonsumsi plastik. Namun melihat berbagai kejadian terkait, kami takut bahwa hal tersebut tidak memerlukan waktu lama hingga terjadi. Bisa saja dalam beberapa tahun kabar buruk tersebut terjadi bila kita tidak mau mengubah perilaku kita terhadap penggunaan plastik sekali pakai.
Baca Juga : Kurangi Sampah Plastik, McDonald Indonesia Tak Lagi Sediakan Sedotan
#SayaPilihBumi
Meskipun sulit untuk mengubah kebiasaan, namun usaha kecil dalam kehidupan sehari-hari bisa mengurangi jumlah sampah plastik. Jika Anda tidak ingin melihat lagi kasus hewan laut yang tewas akibat mengonsumsi plastik, cara yang dapat dilakukan adalah membatasi penggunaan plastik sekali pakai. Dapat dimulai dengan cara berikut:
Kami, National Geographic Indonesia juga mengajak sahabat-sahabat semua untuk senantiasa menjaga Bumi kita dari permasalahan sampah plastik yang kita buat. Oleh karena itu, kami tidak akan pernah bosan untuk bertanya, "Bumi atau plastik?". Dan hari ini kami mengajak sahabat-sahabat semua untuk lantang berteriak "Saya pilih Bumi!"
Source | : | Dari berbagai sumber |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR