Nationalgeographic.co.id - Program Imunisasi di Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan RI menunjukkan cakupan status imunisasi dasar lengkap (IDL) pada anak (usia 12-23 bulan) menurun dari 59,2% (2013) menjadi 57,9% (2018).
Artinya, dari sekitar 6 juta anak berusia 12-23 bulan hanya sekitar 2,5 juta anak saja yang lengkap imunisasinya. Jumlah anak yang belum diimunisasi lengkap itu hampir setara dengan separuh jumlah penduduk Singapura.
Sebaliknya anak yang diimunisasi tapi tidak lengkap meningkat dari 32,1% menjadi 32,9% pada periode yang sama. Angka imunisasi dasar lengkap anak di pedesaan lebih rendah (53,8%) dibandingkan anak-anak di perkotaan (61,5%). Dua kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan untuk masa depan kesehatan anak-anak.
Baca Juga : Tersimpan Jutaan Spesies yang Belum Terungkap di Antara Permukaan dan Inti Bumi
Stagnasi cakupan imunisasi tidak saja terlihat dari cakupan imunisasi dasar lengkap yang menurun tersebut tapi juga penundaan atau penolakan sebagian masyarakat terhadap program pengebalan tubuh seperti kampanye imunisasi campak (measles) dan rubella (IMR) tahap kedua di 28 provinsi luar Pulau Jawa.
Setelah tidak mencapai target dalam tiga bulan imunisasi massal, program tersebut diulur lagi waktunya hingga 31 Desember 2018. Kini, dari 395 kabupaten dan kota yang disasar, baru di 102 kabupaten dan kota yang mencapai 95% cakupan imunisasi MR.
Pelaksanaan kampanye MR ini tidak hanya mengejar target cakupan 95%, melainkan membentuk kekebalan kelompok sehingga bisa melindungi orang lain, bahkan yang tidak diimunisasi sekali pun.
“Penyakit hati” ragu-ragu
Riset terbaru di Lancet yang memaparkan situasi global tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin di 67 negara, menemukan berbagai faktor kompleks penyebab timbulnya keraguan terhadap program imunisasi; di antaranya politik, sejarah, hubungan dengan petugas kesehatan, dan faktor emosional.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan keraguan terhadap vaksin (imunisasi) terjadi saat seseorang menunda atau menolak mendapatkan pelayanan imunisasi yang tersedia. Kondisi ini bersifat kompleks dan spesifik, sangat bervariasi dari waktu ke waktu, berbeda antar tempat dan juga untuk tiap jenis vaksinnya.
Suatu riset meta-analisis kualitatif–dari berbagai penelitian yang sudah dipublikasikan online–tentang faktor pendorong keraguan terhadap vaksin di beberapa negara berpenghasilan tinggi, sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang mengejutkan. Umumnya penolakan orang tua terhadap vaksinasi bervariasi untuk tiap vaksin, sesuai dengan konteks sosial-budaya, keadaan sosial dan pengalaman pribadi masing-masing.
Walau latar belakang para orang tua sangat heterogen, pola pengambilan keputusan orang tua terhadap vaksinasi memiliki gambaran yang mirip. Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi orang tua menolak atau menerima program imunisasi atau vaksin tertentu.
Baca Juga : Tersimpan Jutaan Spesies yang Belum Terungkap di Antara Permukaan dan Inti Bumi
Dari riset meta-analisis tersebut ditemukan pentingnya norma sosial dan dukungan dari kelompok pro-vaksin, agar vaksinasi menjadi “hal yang normal dilakukan” bagi mayoritas orang tua. Ini agar mereka menerima vaksinasi tanpa pikiran berpikir dua kali. Kemudahan akses, dan adanya rekomendasi tentang pentingnya imunisasi oleh pemerintah dan sumber yang dipercaya berkontribusi besar agar vaksinasi dapat diterima sebagai norma sosial bagi orang tua.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan keamanan vaksin merupakan faktor yang sangat penting. Kepercayaan masyarakat yang rendah dapat menyebabkan masyarakat enggan dan menolak program imunisasi. Contohnya di Ukraina, WHO melaporkan [adanya kejadian luar biasa (KLB) campak] dengan total kasus mencapai 28.182 kasus dengan 13 kematian hingga Agustus 2018 akibat adanya kecemasan tentang keamanan vaksin, ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, dan sistem kesehatan yang jelek.
Gerakan pro-vaksinasi
Kasus lain yang menunjukkan dampak faktor emosional bisa dilihat dari Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di California, AS yang menyebar di beberapa negara bagian AS pada 2015. Dari 188 kasus campak, umumnya terjadi pada mereka yang tidak divaksinasi karena adanya aturan “pembebasan vaksin karena alasan pribadi atau kepercayaan”.
Kejadian luar biasa ini menjadi titik kritis bagi orang tua pro-vaksin yang membuat sebuah gerakan untuk membatalkan aturan ini. Pencabutan aturan ini akhirnya berhasil diloloskan oleh Senat California.
Gerakan di California juga menggunakan pendekatan emosional melalui imbauan dari seorang anak penderita Leukemia bernama Rhett yang mengajak orang-orang untuk divaksinasi. Para kelompok pro-vaksin juga membagikan kisah-kisah emosional dan kesaksian pribadi menggunakan platform YouTube dan Facebook. Dalam hal ini, kisah Rhett adalah cara ampuh untuk menggugah emosi dan mengubah pikiran orang untuk mendukung vaksinasi.
Di Italia, guru-guru yang peduli program vaksinasi juga dimobilisasi untuk mendesak pemerintah agar mempertahankan aturan vaksinasi wajib bagi setiap anak. Mereka tidak ingin anak-anak yang tidak divaksinasi di dalam kelas menjadi sumber penyakit bagi murid lainnya. Inisiatif seperti ini perlu diperjuangkan sebagai contoh untuk memotivasi orang lain.
Pendekatan persuasif dan melawan hoax
Investigasi dari BBC terhadap berita palsu (hoax) di Afrika dan India menunjukkan bahaya penyebaran informasi tidak akurat lewat media massa atau media sosial macam Facebook pada sentimen dan perilaku publik, termasuk merusak kepercayaan masyarakat terhadap vaksin. Kondisi ini memicu penolakan terhadap vaksinasi dan meningkatkan risiko wabah penyakit.
Baca Juga : Isi The Great Blue Hole, Lubang Bawah Laut Kedua Terdalam Dunia Terungkap
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia, salah satu negara dengan pemakaian internet tertinggi di dunia setelah India dan Cina. Banyak orang tua di Indonesia memilih tidak memvaksinasi anaknya atau menolak vaksin yang disiapkan pemerintah akibat pengaruh hoax.
Rupanya salah satu topik hoax yang paling banyak beredar di masyarakat Indonesia adalah hoax tentang kesehatan. Lebih mengkawatirkan lagi, 65% orang Indonesia menelan mentah-mentah informasi (yang belum tentu akurat) yang beredar di internet. Di sinilah salah satu tantangan terberat program imunisasi untuk menangkal berbagai pemberitaan negatif tentang vaksin lewat media sosial.
Belajar dari negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi terhadap program imunisasi misalnya Slovenia dan Yunani, kita bisa lihat bahwa meningkatnya kepercayaan masyarakat akan program imunisasi karena masyarakatnya percaya bahwa vaksin aman dan efektif dalam mencegah penyakit.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan juga menjalin kerja sama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) atau Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax untuk menangkal berita hoax MR
Gerakan pro vaksin dengan menggunakan pendekatan persuasif emosional juga telah dilakukan berbagai pihak di Indonesia. Misalnya, Grace Melia, seorang ibu dari anak yang menderita Congenital Rubella Syndrome (CRS). Ia gigih kampanyekan Vaksin Rubella dengan membangun jejaring dengan orang tua yang mengalami beban yang sama dengannya untuk saling berbagi lewat Rumah Ramah Rubella.
Baca Juga : Ilmuwan Temukan Bukti Wabah Tertua Pada Tulang Wanita Neolitik
Dari sisi birokrasi, Kementerian Kesehatan berusaha keras menjalin kerja sama, termasuk dengan melibatkan Kantor Staf Kepresidenan, untuk mensukseskan Imunisasi MR. Majelis Ulama Indonesia juga telah menerbitkan fatwa bahwa vaksinasi MR dibolehkan karena kondisi darurat. Termasuk di dalamnya upaya Indonesia sebagai anggota Organization of Islamic Cooperation (OIC), untuk menyediakan vaksin yang halal.
Apa lagi yang bisa dilakukan?
Perlu penelitian mengenai persepsi masyarakat lokal tentang imunisasi atau vaksin tertentu. Identifikasi isu lokal dan influencer kunci penting untuk meningkatkan kepercayaan akan program imunisasi.
Para pemangku kepentingan, para profesional kesehatan dengan tokoh agama lokal harus membangun dialog untuk memberikan informasi yang benar tentang vaksinasi melalui pengaruh pemimpin agama di tingkat lokal.
Perlu ada hotline atau pusat informasi imunisasi yang gampang diakses; baik secara online maupun secara langsung di dinas kesehatan setempat, ruang tunggu rumah sakit, puskesmas atau klinik untuk membantu meredakan berita hoax dan memungkinkan orang tua yang ragu-ragu untuk mau memvaksinasi anaknya.
Pendekatan emosional seperti Rumah Ramah Rubella perlu digalakkan di seluruh Indonesia, sebagai gerakan moral melindungi masa depan anak.
Seperti di Italia dan beberapa negara lain di dunia, sudah saatnya pemerintah Indonesia mewajibkan orang tua memberikan imunisasi dasar yang lengkap sebagai satu syarat sebelum anak-anak itu memasuki sekolah dasar.
Pada akhirnya, membangun kepercayaan masyarakat dalam program imunisasi adalah upaya mengubah dan mempengaruhi pikiran seseorang bahwa imunisasi adalah satu metoda pencegahan penyakit yang paling efektif.
Ermi Ndoen, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR