Nationalgeographic.co.id - Sin Cia atau Imlek tidak jauh berbeda dengan tahun baru lainnya. Imlek adalah Tahun Baru Tionghoa. Pada umumnya, yang banyak merayakan Imlek adalah warga Tionghoa.
Kata Imlek (Im=bulan, Lek=penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau Bahasa Mandarin-nya Yin Li yang berarti kalender bulan (Lunar Newyear). Menurut sejarah, Sin Cia merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Tiongkok yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru.
Perayaan ini juga berkaitan erat dengan pesta perayaan datangnya musim semi. Perayaan imlek dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama atau yang lebih dikenal dengan istilah Cap Go Meh. Perayaan Imlek meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta/Thian (Thian=Tuhan dalam Bahasa Mandarin), dan perayaan Cap Go Meh.
Baca Juga : Tionghoa Peranakan dalam Bingkai Kebinekaan Indonesia
Tujuan dari sembahyang Imlek adalah sebagai bentuk pengucapan syukur, doa dan harapan agar di tahun depan mendapat rezeki yang lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai media silaturahmi dengan keluarga dan kerabat.
Imlek adalah tradisi pergantian tahun. Sehingga yang merayakan Imlek ini seluruh etnis Tionghoa apapun agamanya, bahkan menurut Sidharta, Ketua Walubi, masyarakat Tionghoa Muslim juga merayakan Imlek.
Asal-usul Imlek berasal dari Tiongkok. Hari Raya Imlek merupakan istilah umum, kalau dalam bahasa Tiongkok disebut dengan Chung Ciea yang berarti Hari Raya Musim Semi. Hari Raya ini jatuh pada bulan Februari dan bila di negeri Tiongkok, Korea dan Jepang ditandai dengan sudah mulainya musim semi.
Perayaan Imlek mulai dikenal sejak jaman Dinasti Xia, yang kemudian menyebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia oleh para perantau asal Tiongkok. Tradisi tahunan itu pun dikenal luas sebagai identitas budaya Tionghoa di tanah perantauan.
Dahulu, Negeri Tiongkok dikenal sebagai negara agraris. Setelah musim dingin berlalu, masyarakat mulai bercocok tanam dan panen. Tibanya masa panen bersamaan waktunya dengan musim semi, cuaca cerah, bunga-bunga mekar dan berkembang. Lalu musim panen ini dirayakan oleh masyarakat.
Kegembiraan itu tergambar jelas dari sikap masyarakat yang saling mengucapkan Gong Xi Fa Cai, kepada keluarga, kerabat, teman dan handai taulan. Gong Xi Fa Cai artinya ucapan selamat dan semoga banyak rezeki. Adat ini kemudian di bawa oleh masyarakat Tionghoa ke manapun mereka merantau, termasuk ke Indonesia.
Perayaan Imlek dari Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Pada era Orde Lama, Imlek tidak bisa terlepas dari dimensi politik. Kala itu, perayaan Imlek diberikan tempat karena Presiden Soekarno membangun persahabatan dengan pemerintah Tiongkok. Apresiasi pemerintah terhadap Imlek itu dibuktikan dengan kebijakan Soekarno mengeluarkan Ketetapan Pemerintah tentang Hari Raya Umat Beragama Nomor 2/OEM Tahun 1946. Pada butir Pasal 4 disebutkan, Tahun Baru Imlek, Ceng Beng (berziarah dan membersihkan makam leluhur), dan hari lahir dan wafatnya Khonghucu sebagai hari libur.
Pada masa Orde Baru, etnis Tionghoa mengalami kekangan dari pemerintah. Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tiongkok. Inpres tersebut menetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Termasuk tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan pada publik.
Inpres ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis identitas, kebudayaan dan adat istiadat etnis Tionghoa. Kebijakan represif itu diberlakukan lantaran Orde Baru khawatir munculnya kembali benih-benih komunis melalui etnis Tionghoa.
Selain instruksi, ditetapkan pula Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi.
Baca Juga : Maximón, Santo Perokok dan Peminum Alkohol yang Dihormati di Guatemala
Kebijakan itu didukung dengan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) yang mengarahkan etnis Tionghoa mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa. Mereka juga dianjurkan menikah dengan penduduk setempat, menanggalkan bahasa, agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari.
Kebijakan diskriminatif itu yang mengukuhkan sentimen "anti Cina" dalam kehidupan bermasyarakat. Puncaknya, terjadi ketika tragedi Trisakti tahun 1998. Kala itu, banyak warga Tionghoa yang eksodus ke luar negeri, dijarah harta bendanya, bahkan tak sedikit perempuan Tionghoa yang diperkosa dan dibunuh.
Berbeda dengan ketika Gus Dur diangkat menjadi presiden ke-4, Gus Dur membuka kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 pada tanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Tidak hanya melalui penerbitan Inpres Nomor 19/2001. Jauh sebelum itu, pada tahun 1996 sebuah peristiwa penting luput dari pengamatan publik luas, namun tidak bagi Gus Dur. Saat itu ada pasangan Tionghoa yang ingin menikah secara Konghucu namun ditolak oleh kantor catatan sipil yang merupakan institusi legal negara dalam pengesahan pernikahan. Kasus tersebut sampai ke telinga Gus Dur setelah sebelumnya kasus tersebut mencuat hingga Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) di Jakarta.
Gus Dur yang saat itu sudah menjadi ketua PBNU secara lantang membela pasangan Tionghoa tersebut di pengadilan dengan menjadi saksi. Hingga akhirnya peristiwa lokal tersebut, mencuat dan menjadi perlawanan nasional secara terbuka di masa Orde Baru.
Seiring berjalanannya waktu, Gus Dur terus menyuarakan keberpihakan dan pembelaannya kepada kaum minoritas, terutama para etnis keturunan Tionghoa yang terkekang selama masa Orde Baru. Bahkan Gus Dur tidak ragu untuk mengaku bahwa dirinya memiliki darah Tionghoa. Gus Dur alias Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tang Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.
Pada saat menghadiri perayaan imlek 2553 Kongzili yang diselenggarai oleh MATAKIN bulan Februari 2002 Masehi, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan bahwa mulai 2003, Imlek menjadi hari Libur Nasional. Pengumuman ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek tertanggal 9 April.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2014, tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keppres itu berisi tentang menghapus istilah "China" dan kembali ke istilah "etnis Tionghoa".
Menurut SBY, tidak adil apabila mereka yang sudah lahir, besar dan bekerja serta mengabdi di Indonesia masih mendapatkan streotype dengan penyebutan istilah etnis China atau Cina. Keppres Nomor 12 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh SBY pada 14 Maret 2014 merupakan sebuah terobosan penting dalam upaya menciptakan suasana kehidupan yang bebas dari diskriminasi Ras dan Golongan.
Baca Juga : Tentang Sampah Plastik yang Menggantung di Sarang Burung Elang Paria
Masyarakat Tionghoa memiliki penilaian tersendiri terkait perayaan Imlek di era kepemimpinan Abdurrahaman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Ternyata, era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dianggap sebagai masa yang paling nyaman bagi masyarakat Tionghoa.
Hal ini diakui pula oleh Aktivis Forum Bersama Indonesia Tionghoa (FBIT) Andreas Laurends alias Liu Kuang Ming. "Masyarakat Suku Tionghoa Indonesia memandang era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah masa paling nyaman sepanjang sejarah Indonesia merdeka," dikutip dari wawancara terhadap Jaringnews.
Saat ini, lembaran sejarah politik Indonesia menampilkan perayaan seni dan tradisi budaya Tionghoa kembali semarak setelah sekian lama terkubur di bawah kekuasaan rezim Orde Baru. Ucapan "Gong Xi Fa Cai" makin bertebaran di ruang-ruang publik, seperti televisi, media cetak, dan media sosial.
Etnis Tionghoa merasakan kebebasan lantaran kebijakan yang menghormati pluralisme diberlakukan di era Presiden Abdurahman Wahid.
Tradisi dalam perayaan Imlek
Setelah adanya kebijakan menghormati Pluralisme yang diberlakukan sejak era kepemimpinan Abdurrahman Wahid, pernak-pernik Imlek saat ini mudah sekali kita temui ketika mendekati perayaan Imlek. Lalu apa saja tradisi yang biasa dilakukan saat merayakan Imlek?
1. Membersihkan rumah
Menyapu rumah berarti juga membersihkan rumah agar kotoran yang dianggap sebagai simbol kesialan disingkirkan, hingga tersedia ruang yang cukup untuk menampung keberuntungan. Rumah yang bersih juga sedap dipandang mata kan?
Setelah itu, mereka akan menyingkirkan sapu dan sikat dari jangkauan. Mereka juga tidak diperbolehkan menyapu rumah saat hari pertama tahun baru karena berarti mengusir keberuntungan yang sudah hadir di rumah.
2. Wajib memiliki unsur warna merah
Menurut kepercayaan orang Tionghoa, nian atau sejenis makhluk buas yang hidup di dasar laut atau gunung akan keluar saat musim semi atau saat tahun baru Imlek.
Kedatangan mereka pun dilanjutkan dengan mengganggu manusia, terutama anak kecil. Namun jangan khawatir. Menghias rumah, pakaian, dan aksesoris berwarna merah dapat mengusir nian karena ia takut dengan warna merah. Jadi, tidak heran kalau nuansa merah begitu jelas terlihat saat Imlek.
Selain itu warna merah juga memiliki arti akan harapan terhadap hal-hal yang baik di tahun yang baru.
3. Angpao
Bagi anak-anak dan masih lajang, Imlek berarti banjir uang karena orang tua atau mereka yang sudah menikah diwajibkan memberikan angpao.
Jumlahnya tidak harus besar. Yang penting berupa uang kertas baru, dan bukannya berbentuk uang logam. Bagi-bagi angpao juga dipercaya makin memperlancar rejeki di kemudian hari. Selain itu pemberian angpao melambangkan harapan orang-orang tua kepada anak muda agar lebih makmur di tahun yang baru.
4. Mempersiapkan makanan
Kue keranjang dan jeruk juga menjadi ciri khas Imlek. Tidak hanya itu, saat Imlek mereka juga menyajikan makanan di atas nampan berbentuk, segi 6, segi 8, atau bulat dengan isi yang beragam, seperti buah kering, biji-bijian, kacang-kacangan, dan permen.
Beberapa orang juga menyiapkan makanan keberuntungan seperti mie yang tidak dipotong untuk melambangkan umur panjang, serta kue bola berbentuk uang Tiongkok pada zaman dahulu yang melambangkan kekayaan. Satu lagi, saat Imlek mereka disarankan untuk menghindari makan bubur karena bagi warga Tionghoa, bubur melambangkan kemiskinan.
5. Kembang api
Kembang api merupakan salah satu pertunjukan yang sangat populer untuk memeriahkan Imlek, karena suara gaduhnya dipercaya membuat makhluk jahat ketakutan. Akan tetapi, ketika merayakannya di rumah, pastikan bahwa tetangga tidak merasa terganggu dengan suara berisik yang Anda ciptakan.
Imlek pun sangat identik dengan hujan. Bagi sebagian orang, hujan membuat malas beraktivitas, tetapi berbeda untuk masyarakat Tionghoa dikala Imlek, hujan sepanjang perayaan imlek pun dikaitkan sebagai sumber rezeki. Dengan turunnya hujan, maka banyak rezeki yang berdatangan di muka bumi.
Namun, yang sangat penting adalah menyambut Tahun Barun Imlek dengan cara membersihkan hati, menyucikan nurani, dan tekad berusaha lebih baik di tahun mendatang.
6. Tidak boleh membalik ikan saat menyantapnya
Menikmati ikan saat Imlek juga sangat unik—ikan yang biasa disantap adalah bandeng. Kita tidak boleh membalik ikan untuk mengambil daging ikan pada bagian bawah. Ditambah lagi, kita tidak boleh menghabiskan ikan tersebut dan menyisakannya agar bisa dinikmati esok hari.
Masyarakat Tionghoa percaya kalau kebiasaan ini merupakan lambang dari nilai surplus untuk tahun yang akan datang.
7. Mengunjungi Keluarga Besar
Tidak hanya lebaran, Imlek juga menjadi salah satu momen yang tepat untuk mengunjungi saudara agar tali persaudaraan tidak terputus. Tidak heran jika pada saat-saat tersebut banyak masyarakat dari etnis Tionghoa yang pulang kampung untuk merayakan Imlek bersama keluarga mereka.
Baca Juga : Kisah Lansia Tiongkok Mencari Umur Panjang dengan Metode Tradisional
Mengingat Gaydar, Studi Kontroversial yang Mampu Deteksi Orientasi Seksual Lewat AI
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR