Naunton mengatakan, dokumenter BBC memulai dengan premis bahwa mumi tersebut menunjukkan bukti raja menderita luka parah pada sisi tubuh bagian kiri. Kemudian, riset dari para pembuat film menunjukkan bahwa luka tersebut disebabkan oleh roda kereta kuda, tapi bukan karena jatuh dari sana.
Yang masih belum jelas, menurut Naunton, adalah apakah cedera itu sudah terjadi saat Raja Tut masih hidup atau setelah kematiannya––sebagai dampak dari sentuhan manusia yang menanganinya setelah mumi ditemukan oleh Howard Carter.
Faktor post-mortem
Salah satu tantangan dalam merekonstruksi ulang kehidupan Raja Tut adalah kondisi muminya yang ditemukan pada 1923.
Carter pertama kali menelitinya pada 1926, kemudian mengembalikan mumi tersebut ke pemakamannya yang terbuka sampai 2007. Selama kurun waktu tersebut, beberapa kalung dan permata yang dikuburkan bersama dengan Raja Tut telah disingkirkan, kemungkinan untuk mencegah mumi agar tidak semakin rapuh.
“Mereka yang terlibat dengan mumi mengetahui bahwa tingkat perubahan post-mortem dan efek mumifikasi menjadi salah satu faktor mengapa sulit menciptakan narasi penyebab kematian Rata Tut yang mudah dipercaya,” papar Betsy M. Bryan, profesor studi ketimuran dari Johns Hopkins University yang sudah meneliti Mesir kuno selama beberapa dekade.
Menurut Bryan, teknologi forensik di masa mendatang pada akhirnya akan menjadi lebih baik sehingga dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. “Saya memiliki keyakinan besar pada sains,” katanya.
Sementara itu, Rühli mengatakan bahwa yang diperlukan bukanlah teknologi baru yang canggih, tapi inspeksi lebih lanjut pada kerangka Raja Tut.
“Teknologi terbaru tidak dibutuhkan. Bagaimana pun juga, yang paling membantu adalah penyelidikan mendalam pada titik-titk cedera (kerangka kaki, lutut, wajah) pada mumi itu sendiri,” tuturnya.
Sejarah yang terhapus
Tidak hanya kematiannya yang menjadi misteri, tapi juga kisah hidupnya. Tutankhamun merupakan anak-anak laki dari Raja Mesir yang kontroversial, Akhenaten.
Salah satu kebijakan Akhenaten yang cukup kontorversial adalah memutuskan bahwa Mesir hanya menyembah dewa tunggal, Aten, dan bukannya banyak dewa. Juga memindahkan ibukota dari Thebes ke Amarna.
Source | : | Eric Niiler/History.com |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR