Lokasinya di Jacatraweg, kini Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah selatan tembok kota. Dari arsip zaman VOC itu Niemeijer mengungkapkan bahwa “De Berebijt” merupakan salah satu rumah bordil yang kerap rusuh karena menjadi ajang duel. Sejumlah losmen merah lainnya yang dimiliki mucikari Eropa dan Asia membuka praktik di sekitar Niewpoort, kini sekitar Jalan Pintu Besar Selatan.
Mengapa pelacuran sulit dicegah dan justru menjamur di luar tembok Kota Batavia?
Tidak hanya pelacuran, tetapi juga pemerasan seksual telah terjadi di Batavia. Pada 1644, sebanyak lebih dari dua lusin warga Batavia terbukti menjadi germo. Mereka mendandani para budak perempuan mereka bagai noni-noni terhormat, dan memaksa para budak itu untuk melacurkan diri.
Baca Juga : Kesaksian Perwira VOC Ketika Prahara 1740 di Tangerang
Kasus pemerasan seksual juga diungkap oleh Leonard Blussé, sejarawan Belanda, dalam Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and Dutch in VOC Batavia. Blussé mengisahkan perkara seorang istri yang bersaksi kepada dewan pengadilan pada pertengahan 1625 karena hak-haknya sebagai perempuan justru lenyap setelah menikah. Sang istri mengadukan suaminya yang bejat. Demi imbalan uang, setiap hari sang suami memaksa dia dan budak perempuannya untuk melayani kebutuhan seks para lelaki Belanda.
Mengapa pelacuran sulit dicegah dan justru menjamur di luar tembok Kota Batavia? Salah satu penyebabnya adalah sindikat antara pemilik losmen dan pegawai kehakiman yang korup dengan mengambil keuntungan dari bisnis lendir itu.
Tampaknya keberadaan losmen lampu merah yang disokong penegak hukum bukan hal baru di kawasan yang kelak menjadi Megapolitan Jakarta ini. Apakah kita sedang mewarisi keindahan negeri bebas korupsi di kaki pelangi?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR