Nationalgeographic.co.id - Bayangkan jika Anda dapat hidup tanpa rasa sakit. Tidak ada sakit gigi, tidak ada nyeri haid, tidak ada radang sendi.
Seorang wanita yang tidak bisa merasakan sakit muncul di berita baru-baru ini yang membahas sebuah studi kasus yang diterbitkan dalam British Journal of Anesthesia.
Jo Cameron menjadi perhatian para peneliti di akhir usia 60-annya, setelah menjalani operasi artritis yang biasanya menyiksa namun dirinya hanya membutuhkan parasetamol untuk meredakan rasa sakit pasca pemulihan. Bisa dikatakan, hidupnya penuh dengan cedera yang kurang lebih tanpa rasa sakit. Bahkan persalinan nyaris tidak membuatnya terganggu.
Baca Juga : Sering Marah-marah Tingkatkan Risiko Peradangan dan Penyakit Kronis
Hidup tanpa rasa sakit mungkin tampak seperti berkah. Namun kasus Cameron–dan bagaimana kita memahami arti sebenarnya dari rasa sakit–lebih kompleks daripada kelihatannya.
Orang-orang dengan kondisi genetik yang langka bisa lahir tanpa memiliki rasa sensitif terhadap rasa sakit. Mereka sering mencederai diri sewaktu muda, dan beban cedera dan trauma yang mereka rasakan membuat mereka jarang bertahan hidup sampai dewasa.
Hal itu tidak mengejutkan. Rasa sakit memiliki peran perlindungan yang penting. Rasa sakit melindungi kita dari cedera. Ia membatasi gerak kita ketika bagian-bagian tubuh kita rusak. Tanpa sistem perlindungan bawaan ini, luka yang tidak sembuh pada akhirnya bisa memberatkan kita.
Kasus Cameron melawan pandangan di atas.
Namun, hasil tes ambang rasa sakit Cameron menunjukkan bahwa, di luar nyeri panas, ia memiliki beberapa persepsi rasa sakit yang normal. Ia memiliki beberapa tulang yang patah dan banyak bekas luka. Hal ini menunjukkan bahwa umur panjangnya setidaknya secara sebagian hanyalah karena keberuntungan.
Melahirkan adalah hal yang mudah baginya, meski demikian, ia tetap menerima gas bius. Ia mengonsumsi parasetamol, meski dalam situasi yang membuat sebagian besar dari kita hingga membutuhkan morfin. Persepsi rasa sakitnya kemudian tampaknya berkurang dalam sejumlah besar kasus (dan seringkali merugikan Cameron) tetapi tidak hilang.
Kunci dari pengalamannya yang tidak biasa mungkin berhubungan dengan fakta lain yang mengejutkan tentang pengalamannya: dia tidak memiliki rasa kecemasan atau ketakutan. Bahkan kecelakaan mobil baru-baru ini tampaknya tidak mempengaruhinya.
Jadi, apa yang bisa dijelaskan secara biologis?
Pengurutan gen milik Cameron mengungkapkan bahwa ia kekurangan enzim FAAH (asam lemak amida hidrolase) yang berperan untuk memecah neurotransmitter anandamide.
Neurotransmitter adalah zat kimia yang memiliki efek pada pengiriman sinyal antara sel-sel saraf, atau neuron. Obat yang berbeda memiliki efek yang berbeda karena mereka meniru neurotransmitter yang berbeda. Misalnya, obat penenang Prozac mempengaruhi kerja serotonin, sedangkan kokain mempengaruhi fungsi dopamin.
Anandamide, berasal dari kata Sansekerta yang artinya “kebahagiaan”, merupakan jenis neurotransmitter yang paling banyak dipelajari. Anandamide dikenal sebagai zat kimia yang berfungsi sama seperti ganja (cannabinoids) yang dibuat tubuh kita.
Seperti namanya, aksi cannabinoid menyerupai ganja. Zat ini tampaknya memiliki efek yang serupa. Peningkatan kadar anandamide mengurangi rasa sakit dan kecemasan pada hewan percobaan di laboratorium.
Karena tubuh Cameron tidak memecah anandamide, zat ini terakumulasi dalam darahnya. Jadi, selain tidak terlalu merasa sakit, dia juga tidak terlampau cemas tentang rasa sakit yang ia alami.
Menariknya, apa yang ia laporkan sangat mirip dengan fenomena aneh lain yang telah lama dicatat oleh para peneliti lainnya, yaitu cedera tanpa rasa sakit setelah kecelakaan serius.
Banyak luka yang sangat serius pada awalnya tidak menimbulkan rasa sakit. Para prajurit yang terluka dan korban kecelakaan mobil sering melaporkan bahwa mereka tidak merasakan sakit sama sekali sampai mereka mencapai tempat aman. Ilmuwan yang mempelajari rasa sakit, Patrick D Wall, berpendapat bahwa ini merupakan adaptasi evolusi yang penting.
Rasa sakit membatasi gerakan, suatu hal yang buruk dalam keadaan darurat. Memiliki sebuah sistem untuk meredam rasa sakit dan ketakutan sampai Anda aman adalah hal yang masuk akal. Sistem cannabinoid bawaan tubuh kita mungkin memainkan peran penting dalam memutus sirkuit untuk rasa sakit ini.
Tentu saja, ada bukti kuat yang mendukung gagasan bahwa rasa sakit itu lebih dari sekadar kerusakan jaringan.
Dalam suatu kasus terkenal, seorang pekerja bangunan dibawa ke ruang gawat darurat rasa sakit luar biasa karena paku 15 cm menembus sepatu botnya. Ketika para dokter melepas sepatu bot, mereka menemukan bahwa paku itu berada di antara sela jari kakinya. Dia sebenarnya tidak terluka; rasa sakit yang dia alami sepenuhnya didorong secara psikologis.
Antisipasi dan rasa takut adalah pendorong utama rasa sakit.
Kaitan antara kondisi Cameron dan cannabinoids yang dibuat oleh tubuh kita semakin mengobarkan minat untuk menggunakan obat berbasis ganja untuk menggantikan obat opioid (zat yang mengandung opium). Ada bukti bahwa penyalahgunaan opioid sering didorong oleh kemampuan zat tersebut untuk untuk menghilangkan rasa takut dan cemas serta rasa sakit. Mungkin obat cannabanoid dapat mengatasi rasa sakit dan cemas tanpa ada efek samping seperti opioid.
Saat ini, kita masih jauh dari titik itu. Percobaan sebelumnya dengan obat berbasis FAAH menunjukkan hasil yang beragam.
Baca Juga : Membunyikan Leher untuk Atasi Pegal, Pria Ini Justru Terkena Stroke
Cameron sendiri mengalami gangguan pada memorinya yang menunjukkan bahwa cannabanoid yang dibuat dalam tubuh kita dapat mengakibatkan beberapa efek samping seperti zat sejenis lainnya.
Para peneliti pernah menganggap rasa sakit sebagai sinyal sederhana kerusakan tubuh. Selama 75 tahun terakhir sains mengenai rasa sakit telah menekankan betapa kompleksnya rasa sakit. Interaksi antara rasa sakit dan rasa cemas adalah bagian penting dari untuk memberikan gambaran utuh.
Orang-orang seperti Jo Cameron menambahkan potongan lain pada teka-teki yang menarik ini.
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR