Nationalgeographic.co.id - Gempa bermagnitudo 6 (yang selanjutnya dimutakhirnya menjadi M 5.8) mengguncang Bali pada Selasa (16/7/2019) pukul 7.18 WIB. Episentrum gempa ini berada di 83 barat daya Nusa Dua, kedalaman 104 kilometer.
Meski tidak berpotensi tsunami, gempa itu memiliki mekanisme yang unik, yaitu perpaduan pergerakan sesar naik dan mendatar.
"Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan jenis sesar naik mendatar (oblique thrust)," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Baca Juga: Peneliti: Perubahan Iklim Pengaruhi Pertumbuhan Ukuran Otak Gajah
BMKG merilis bahwa guncangan gempa ini paling dirasakan di daerah Badung, dengan intensitas V MMI. Dengan intensitas itu, bangunan bisa mengalami kerusakan ringan hingga sedang.
Berdasarkan arsip pemberitaan Kompas.com, mekanisme gempa oblique thrust tergolong unik. Gempa dengan mekanisme itu pernah terjadi di Aceh pada 11 April 2012. Hanya saja, keduanya berbeda lokasi. Gempa Aceh berpusat di area outer rise, sementara gempa Bali ini berpusat di zona subduksi.
#Gempa Mag:6.0, 16-Jul-19 07:18:36 WIB, Lok:9.11 LS,114.54 BT (83 km BaratDaya NUSADUA-BALI), Kedlmn:68 Km, tdk berpotensi tsunami #BMKG pic.twitter.com/zKzROmRGAc
— BMKG (@infoBMKG) July 16, 2019
Baca Juga: Greenland Bisa Kehilangan Esnya Jika Pemanasan Global Terus Terjadi
Walaupun berpusat di zona subduksi, gempa Bali tak mengakibatkan tsunami karena dua hal: kedalamannya lebih dari 70 km dan magnitudonya tergolong sedang karena hanya M 5,8. Sebaliknya, gempa Aceh pada tahun 2012 bisa membangkitkan tsunami walaupun tidak berpusat di zona subduksi. Dua sebabnya adalah karakter wilayah outer rise serta magnitudo yang besar, mencapai M 8,5. Gempa itu merupakan gempa oblique (didominasi gerak sesar mendatar) terbesar sepanjang sejarah.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gempa Bermagnitudo 6 Guncang Bali, BMKG Ungkap Sebab dan Keunikannya". Penulis: Yunanto Wiji Utomo.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR