Ada bukti lebih lanjut tentang kebijakan pengucilan rasial pada Hari Peringatan Belanda: korban Indonesia pada Perang Dunia II juga tidak diperingati.
Meskipun nomor tersebut tidak diverifikasi, korban sipil dari Perang Dunia II di Indonesia umumnya diperkirakan mencapai 4 juta orang. Dokumen resmi yang menghitung orang mati untuk diperingati pada daftar Hari Peringatan Belanda mendata sekitar 20.000 orang, perbedaan yang menakjubkan. Belanda mendapatkan angka yang sangat berbeda tersebut karena mereka mengecualikan semua penduduk asli. Jutaan orang terhapus pada Hari Peringatan Belanda.
Hari Peringatan Belanda adalah sebuah kisah tentang nilai kehidupan manusia, tentang siapa yang diperhitungkan, siapa yang tidak dan siapa yang dapat menentukan hitung-hitungan tersebut.
Empat juta korban sipil berkulit coklat dalam Perang Dunia II tidak dihitung; 300.000 korban berkulit coklat dari “tindakan penegakan hukum” mereka juga tidak dihitung.
Dan dalam putaran yang menyedihkan dalam kisah ini, tepat satu kelompok orang kulit coklat dihitung: para prajurit Indonesia yang gugur, yang berjuang di samping Belanda selama perang rekolonisasi. Mereka adalah pelaku yang dilihat sebagai korban oleh penjajah kolonial setelah sejarah eksploitasi yang berabad-abad lamanya.
Pemikiran kolonial sebagai bentuk supremasi rasial tidak pernah jauh di Belanda. Di Indonesia, ini mengambil bentuk asumsi hak untuk memperbudak orang, membunuh mereka, dan mengambil tanah mereka untuk mendapatkan keuntungan.
Pendidik dan penulis Belanda keturunan Suriname Gloria Wekker, dalam bukunya “White Innocence,” menganalisa pemikiran kolonial Belanda sebagai pengecualian berdasarkan ras yang menghasilkan kebudayaan orang kulit putih Belanda yang buta terhadap begitu banyak bentuk rasisme saat ini.
Rasisme Belanda terlihat jelas dalam kenyataan bahwa negara ini memiliki catatan terburuk dalam kesempatan kerja bagi orang kulit berwarna di Eropa selain Swedia.
Dalam contoh lain, partai politik terbesar kedua, Partai untuk Kebebasan, menempatkan iklan kampanye dalam bahasa Belanda dan Inggris yang mendehumanisasi para muslim di negara itu. Iklan tersebut menyatakan bahwa agama mereka sama dengan “diskriminasi,” “ketidakadilan” dan “pembunuhan atas nama kehormatan,” di antara atribut-atribut lain.
Seorang legislator memperingatkan tentang bahaya pencampuran darah Belanda dan non-Belanda. Baru tahun lalu, orang Belanda keturunan Suriname-dan Antillean dilarang menghadiri peringatan 4 Mei jika mereka berbicara secara terbuka tentang sejarah perbudakan Belanda di koloni-koloni perbudakan Belanda tempat leluhur mereka.
Pengingat kolonialisme dan perbudakan Belanda yang paling dikenal luas datang setiap tahun dalam bentuk “Piet Hitam,” karikatur para pembantu berkulit hitam Sinterklaas pada tradisi paling penting bangsa ini.
Elizabeth Eckford, salah satu siswa Afrika-Amerika pertama di sekolah yang telah dipisahkan, mengatakan “rekonsiliasi sejati hanya dapat terjadi ketika kita dengan jujur mengakui masa lalu yang menyakitkan milik bersama.”
Di Belanda, pesan ini tercermin dalam suara para pengunjuk rasa “Tiada 4 Mei Untuk Saya”, yang ingin orang mati dihitung tetapi menemukan sebuah kebudayaan yang buta terhadap kesalahannya sendiri dan tidak mau menciptakan memori bersama.
Membangun memori bersama bisa dimulai hari ini, dengan pengakuan Belanda tentang Hari Kemerdekaan Indonesia dan peringatan korban perang Indonesia.
Penulis: Annemarie Toebosch, Director of Dutch and Flemish Studies, University of Michigan
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR