Nationalgeographic.co.id - Huruf-huruf besar bertuliskan “Taman Kota Lama” dipancang di salah satu sisi Jalan Letjen Suprapto di Kota Semarang. Namun, saya tak melihat ada taman di situ. Hanya kendaraan-kendaraan yang terparkir, balon besar berbentuk naga, dan kotak penjual tiket masuk ke area bagian dalam yang berisi lampion-lampion yang ada di lahan ini. Taman yang saya bayangkan tak terlihat di sini. Tapi, saya tak kecewa. Karena bukan tempat bermain atau kebun berbunga-bunga yang sedang saya cari.
Adalah seorang perempuan penuh pesona yang mengantarkan saya kemari. Namanya Margaretha Geertruida Zelle. Tapi, ia lebih dikenal sebagai sosok Mata Hari, seorang agen rahasia. Mata Hari pernah datang ke Indonesia bersama suaminya, seorang perwira angkatan laut Belanda, antara tahun 1897 hingga 1902. “Di rentang tahun inilah Mata Hari sempat tinggal di Semarang,” tulis Handry TM dalam artikelnya Melacak Jejak Matahari. Tersiar kabar bahwa Mata Hari menginap di Hotel Semarang. Namun, Yogi Fajri, seorang pemerhati sejarah meragukan itu. “Belum jelas apakah ia menginap di Hotel Jansen itu atau tidak. Tapi, Mata Hari memang datang ke Semarang,” kata Yogi kepada saya.
Baca Juga: Jelajah Tengara-Tengara Cirebon
Di Jalan Letjen Suprapto ini bangunan Hotel Jansen tak ada yang tersisa. Hanya ada papan nama bertulis “Hotel Jansen” berukuran kecil di samping kiri pintu masuk area parkir taman berlampion itu yang menandakan di sana pernah berdiri sebuah penginapan mewah. Dari bekas Hotel Jansen itu, saya berjalan ke arah barat melewati deretan bangunan-bangunan tua bergaya Eropa. Dari bangunan Spiegel, Gedung Marba, kantor Nilmij van 1859, hingga Gereja Blenduk.
Dalam literatur sejarah, Kota Semarang ditaruh bersama Batavia, Cirebon, dan Surabaya sebagai kota yang memiliki bandar dagang internasional. Bangunan-bangunan tua yang masih berdiri di Kota Lama ini telah menjadi saksi bahwa kota ini adalah kota metropolitan dulunya. “Di kota ini gedung-gedung tuanya bisa berpadu dengan modernitas,” kata Didi Kaspi Kasim kepada saya.
Di Indonesia, kota-kota tuanya banyak yang telah digilas oleh modernitas. Gedung-gedung petilasan sejarah tak bisa bertahan dari gelombang perubahan. Petilasan-petilasan itu tersurat di buku-buku sejarah, namun tengaranya raib di permukaan. Di Semarang, hampir separuh bangunan-bangunan tuanya tegak kokoh di tengah kota lama. Bangunan-bangunan itu menjadi tempat bersandar modernitas. Seperti Spiegel yang sekarang telah menjadi bar dan restoran.
Pada akhir pekan, ruas-ruas trotoar Kota Lama Semarang ramai oleh para wisatawan. Di sekitar Taman Srigunting, beberapa muda mudi terlihat asyik berswafoto dengan berbagai gaya. Orang-orang tua pun tak ketinggalan. Setiap lima meter mereka berhenti, memotret diri dengan latar bangunan-bangunan tua. Di trotoar ini saya lebih memilih untuk berteduh saja. Sebab terik matahari siang ini tak bisa diajak berkompromi.
Medi sedang menggambar Gereja Blenduk ketika saya menghampirinya. Di sampingnya, kertas-kertas berisi sketsa wajah ditaruh begitu saja. “Kota ini punya banyak seniman, Mas,” kata Medi kepada saya. Lalu, pria berusia 60 tahun ini bercerita bahwa dulunya ia adalah seorang pelukis realis. Media lukisnya kanvas dan cat minyak. “Sejak remaja udah melukis kanvas di rumah,” kata Medi. Namun, sulitnya persaingan membuat ia beralih menjadi pelukis jalanan. Riwayat Medi tak seperti Spiegel di seberang sana yang sanggup bertahan di era digital masa ini. Di emperan gedung-gedung tua, Medi hanyalah penjual jasa sketsa wajah para turis yang melintas di Kota Lama.
Ini kali keempat saya mendatangi kota yang disebut-sebut Little Netherland. Tapi, sekarang saya mendapati hawa kota ini benar-benar terik. “Kenapa ya kota-kota tujuan kita ini panas-panas semua,” kata Soleh Solihun kepada saya setengah bercanda. Benar Kang Soleh, jelajah pesisir utara Pulau Jawa ini memang menguras banyak tenaga karena udaranya yang hangat. Di papan penunjuk suhu yang ditaruh di sekitar Taman Srigunting saja tercetak angka 40 derajat. Ya, empat puluh derajat.
Selain kota lama, saya juga mengunjungi Stadion Diponegoro, yang berjarak lima belas menit berkendara dari Kota Lama Semarang. Di dalam stadion ini, ribuan orang berbaju merah sudah berkumpul. Orang-orang itu tidak menghiraukan terik yang menyengat. Adalah Festival SRC Indonesia yang menjadi penyebab memerahnya stadion di Karangkidul ini.
Dalam rangka menunjukkan apresiasi SRC kepada masyarakat serta para pemilik toko yang menjadi penggerak utama usaha toko kelontong di berbagai daerah, SRC mengadakan Festival SRC Indonesia. Festival ini merupakan sebuah acara yang ditujukan sebagai selebrasi akbar merayakan kiprah SRC di Indonesia salah satunya di Jawa Tengah. Dalam acara ini disertai peluncuran Gerakan Berkah (Berbelanja Dekat Rumah) oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen, Kepala Dinas UMKM dan Koperasi Jawa Tengah dan perwakilan SRC.
Selain itu festival ini juga bertujuan mengajak masyarakat Jawa Tengah mendukung UKM dengan cara berbelanja di toko kelontong. UMKM Provinsi Jawa Tengah sangat mensupport Program SRC yang konsisten mendampingi pemilik toko dan memberdayakan UKM di sekitarnya. “UKM-UKM di sini adalah salah satu penyokong besar bagi PDRB Jawa Tengah,” kata Dra. Emma Rahmawati, M. Hum. selaku Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Jawa Tengah. “Sokongan itu tiap tahun meningkat dari 8, 9, hingga 10 persen. Ini tanda perekonomian tumbuh,” lanjutnya.
Bakda asar, saya sampai di Lawang Sewu. Bangunan bergaya art deco ini sedang ditimpa matahari petang Semarang. Ratusan tahun silam, bangunan ini adalah tempat berkantornya pegawai-pegawai Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Bermula dari cetak biru yang dibuat oleh arsitek-arsitek perusahaan kereta api swasta Belanda itulah sejarah kereta api di Indonesia dimulai.
Pada Juni 1864, NISM mulai membuat jalur kereta api di Pulau Jawa. Jaringan rel yang pertama menghubungkan Semarang dengan Tanggung. Stasiun yang menghubungkan dua daerah tersebut adalah Stasiun Samarang NIS. Dari situlah tiga tahun kemudian deru kereta api pertama kali terdengar. “Banyak orang mengira Stasiun Kemijen di Semarang Timur dulunya merupakan Stasiun Samarang NIS. Padahal bukan,” kata Yogi kepada saya. Stasiun Kemijen, lanjut pria berkaca bundar ini, bukan dibangun oleh NISM. Tapi, oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschaapij (SJS), perusahaan kereta api lain di Kota Semarang. “Stasiun Kemijen hanya sebuah halte pada masa itu,” ujar Yogi.
Senja sebentar lagi menghilang. Namun, pengunjung Lawang Sewu ini tak berkurang. Wisatawan itu masih asyik bergaya di antara pilar-pilar gedung dan pintu-pintu kayu. Bukan tanpa sebab gedung ini dinamakan Lawang Sewu. Nama itu berasal dari banyaknya pintu-pintu di gedung yang dibangun pada 1904 ini. Tapi, benarkah pintu-pintu itu berjumlah seribu? Entahlah, saya tak berniat untuk menghitungnya.
Sudah sepekan lamanya Didi dan Soleh menjelajahi kota-kota di sepanjang pesisir utara Jawa. Bagi keduanya, penjelajahan ini bukan sekedar perjalanan biasa. Banyak cerita-cerita manusia dan sejarah kota-kota yang mereka temui selama perjalanan ini. “Dari perjalanan ini saya banyak tahu soal sejarah-sejarah kota di sepanjang pesisir utara” kata Soleh. Semarang, kota di mana derit rel-rel kereta api pertama terdengar, adalah kota tempat berakhirnya perjalanan Jelajah Pesisir Utara Jawa ini.
Baca Juga: Pojok Lokal: Langkah Kecil Untuk Kesejahteraan
Kisah ini merupakan bagian dari jurnal perjalanan National Geographic Indonesia dalam menjelajahi kota-kota pesisir. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, bersama Soleh Solihun, jurnalis, akan menyusuri beberapa ruas kawasan di pesisir utara Jawa. Mereka melakukan misi pengembaraan singkat bertajuk “Jelajah Pesisir Utara Jawa”. Keduanya mengendarai sepeda motor untuk singgah di Bekasi, Cirebon, Pekalongan, dan berujung di Semarang.
Tim jelajah singgah di tempat-tempat yang memiliki jejak sejarah kereta, geliat warga dalam usaha kecil menengah, dan toko kelontong SRC yang memiliki Pojok Lokal untuk produk-produk UKM. Penugasan ini digelar selama tujuh hari, 18 – 24 November 2019. Tujuan Jelajah Pesisir Utara Jawa ini adalah menyaksikan aspek-aspek yang membentuk riwayat kota sampai perkembangannya hingga hari ini. Pembangunan infrastruktur Jalan Raya Pos dan jaringan kereta api telah membuat kota-kota menjadi lebih dekat makin kuat.
Simak jurnal perjalanan harian #JelajahPesisirUtaraJawa di akun media sosial dan web National Geographic Indonesia.
#JelajahPesisirUtaraJawa #NGIonAssignment_SRC #DekatMakinKuat #JadiLebihBaik #BerbelanjaDekatRumah
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | Zulkifli |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR