Nationalgeographic.co.id – Alzheimer tidak bisa disepelekan dan para peneliti menemukan fakta bahwa tanda awal penyakit ini berkaitan dengan pikiran negatif yang berulang.
Studi ini secara spesifik mempelajari kebiasaan “berpikir negatif secara terus menerus” yang bukan rasa sedih biasa—didefinisikan sebagai proses kognitif yang meliputi kekhawatiran dan perenungan.
Para peneliti menemukan bahwa pola pikir negatif yang obsesif tersebut berkaitan dengan penurunan kognitif dan agregasi protein beta amiloid—protein otak yang terlibat dalam penyakit Alzheimer.
Baca Juga: Racun Ubur-Ubur Raksasa Ini Sangat Kompleks, Apakah Mematikan?
Penting untuk menekankan bahwa penelitian ini masih berada pada tahap awal, memiliki beberapa peringatan dan bersifat observasional. Meski begitu, studi sangat menatik karena memberikan cara baru untuk menguji siapa yang berisiko Alzheimer.
“Memahami faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko dementia merupakan hal vital dalam memperbaiki pemahaman kita mengenai kondisi mengerikan ini. Dan jika memungkinkan, itu bisa dijadikan strategi pencegahan,” papar Fiona Carragher, Alzheimer’s Society Director of Research and Influencing.
“Hubungan yang ditunjukkan antara pola berpikir negatif yang berulang dengan penurunan kognitif sangat menarik meskipun perlu penyelidikan lebih lanjut untuk memahaminya dengan lebih baik,” tambahnya.
Para ilmuwan melihat data dari studi kohort bernama PREVENT-AD—melibatkan 292 orang berusia 55 tahun yang berada dalam kondisi fisik dan kesehatan kognitif yang baik, tapi memiliki orangtua atau saudara kandung yang menderita Alzheimer.
Tim peneliti juga menggunakan data dari 68 orang dewasa sehat dari studi Multi-Modal Neuroimaging in Alzheimer’s Disease (IMAP+).
Semua partisipan dalam studi melengkapi sesuatu yang disebut Perseverative Thinking Questionnaire (PTQ). Berisi 15 pertanyaan yang berfokus pada perenungan tentang masa lalu dan kekhawatiran di masa depan.
Mereka juga melakukan tes depresi dan kecemasan untuk melihat tumpang tindih antara ‘pola pikir negatif yang berulang’ dan kondisi mental lainnya.
Selain itu, para partisipan juga menjalani beberapa tes kognitif yang cukup intens. Peserta PREVENT-AD menjalani 12 tes kognitif yang menganalisis hal-hal seperti kognisi global, memori langsung dan tertunda, fokus, kognisi visuospatial dan bahasa.
“Kami menemukan bahwa pola berpikir negatif yang tinggi berkaitan dengan penurunan kognisi global, memori langsung dan tertunda, dalan waktu 48 bulan,” tulis para peneliti.
“Lebih lanjut, pikiran negatif berulang, berkaitan dengan tingkat tau yang lebih tinggi di korteks entorhinal dan dengan amiloid otak dalam dua kohort independen,” imbuh mereka.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Cara Ubah Limbah CO2 Jadi Energi Bermanfaat
Ini terdengar mengerikan, tapi penting untuk dicatat bahwa ini merupakan perubahan yang relatif kecil. Skor rata-rata tes kognitif adalah 100 poin. Selain itu, partisipan yang terlibat dalam studi sudah memiliki risiko Alzheimer.
“Kebanyakan mereka yang ada di studi ini telah diidentifikasi dengan risiko Alzheimer tinggi. Oleh sebab itu, kita perlu melihat apakah hasil ini juga berpengaruh pada populasi secara umum dan bagiaman pola pikir negatuf berulang dapat meningkatkan risiko penyakit Alzheimer itu sendiri,” kata Carragher.
Tim peneliti sendiri juga belum bisa mengonfirmasi apakah pemikiran negatif menyebabkan risiko Alzheimer meningkat, atau hubungan sebaliknya.
Namun, studi yang dipublikasikan pada jurnal Alzheimer’s & Dementia, tidak muncul secara tiba-tiba. Sejumlah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mereka yang mengalami kecemasan dan depresi, memiiki risiko lebih tinggi terkena penyakit Alzheimer.
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR