Nationalgeographic.co.id - Dampak perubahan iklim bagi spesies dan ekosistem sudah terlihat nyata. Spesies-spesies makhluk hidup kian menyebar ke arah kutub, bencana kebakaran hutan, dan pemutihan karang menandakan perubahan iklim.
Lalu, seperti apa keanekaragaman hayati dunia di masa depan?
Penelitian menunjukkan bahwa krisis iklim akan menjadi jauh lebih buruk apabila tidak ada pengurangan emisi.
Berdasarkan skenario kenaikan emisi gas rumah kaca yang paling tinggi, pada tahun 2100, setidaknya 50% spesies dunia akan kehilangan habitat dengan kondisi iklim yang cocok bagi mereka.
Namun, masih ada pertanyaan mendasar yang belum terjawab, misalnya, kapan ini akan berpengaruh terhadap spesies, apakah terjadi di abad berikutnya atau dalam periode abad ini, apakah berlangsung pelan-pelan, hanya satu spesies di satu periode, atau jumlah spesies yang terpengaruh bisa naik tiba-tiba?
Baca Juga: Aksi Pembersihan Laut Terbesar Berhasil Kumpulkan 100 Ton Sampah Plastik
Pemahaman kita sangat terbatas tentang kapan dan bagaimana iklim berpengaruh terhadap biodiversitas. Ini karena perkiraan masa depan umumnya fokus per individu.
Kami melakukan hal yang berbeda. Kami menggunakan proyeksi suhu dan curah hujan tahunan dari tahun 1850 hingga 2100 terhadap lebih dari 30.000 spesies laut dan darat untuk memperkirakan waktu paparan bahaya iklim terhadap mereka.
Berdasarkan proyeksi ini, kami memprediksi perubahan iklim dapat menyebabkan kehilangan biodiversitas yang mendadak.
Ini dapat terjadi pada abad ini, lebih cepat dari yang diprediksi sebelumnya.
Analisis terbaru menunjukkan persentase tinggi dari spesies pada ekosistem lokal dapat terpapar bahaya iklim secara bersamaan.
Alih-alih bisa bertahan dari dampak perubahan iklim, banyak ekosistem berada dalam kondisi terancam.
Hilangnya biodiversitas secara mendadak akibat gelombang panas laut yang memutihkan terumbu karang sudah terjadi di laut tropis.
Berdasarkan skenario kenaikan gas rumah kaca tertinggi, risiko ini diproyeksikan akan meningkat di tahun 2030-an dan 2040-an, lalu mempengaruhi hutan tropis dan ekosistem beriklim sedang pada tahun 2050-an.
Proyeksi suram ini menggunakan model temperatur historis untuk menemukan batas atas dari tiap spesies untuk bertahan hidup, sejauh yang kami ketahui.
Saat suhu naik ke tingkat yang baru, ilmuwan akan memiliki bukti, meski sangat terbatas, terkait kemampuan mereka untuk bertahan hidup.
Beberapa spesies yang memiliki siklus hidup pendek dapat beradaptasi terhadap kenaikan suhu tersebut.
Namun, bagi spesies dengan siklus hidup yang lebih lama–seperti sebagian besar burung dan mamalia– mungkin hanya beberapa generasi yang dapat menyesuaikan diri sebelum terjadi perubahan.
Saat sudah terjadi kenaikan suhu, maka kemampuan spesies untuk berevolusi mungkin terbatas.
Hilangnya biodiversitas secara mendadak akibat perubahan iklim memberikan ancaman yang signifikan bagi kesejahteraan manusia.
Di banyak negara, sebagian besar orang bergantung pada lingkungan untuk pangan dan pendapatan.
Perubahan mendadak pada ekosistem lokal dapat berdampak negatif pada kemampuan manusia untuk mendapatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan pangan, bahkan mendorong kepada kemiskinan.
Misalnya, ekosistem laut di kawasan Indo-Pasifik, Karibia, dan pantai barat Afrika berisiko besar untuk mengalami perubahan mendadak pada awal 2030-an.
Ratusan juta orang di sepanjang wilayah ini bergantung pada hasil tangkapan ikan sebagai sumber makanan utama. Selain itu, pendapatan ekowisata dari terumbu karang juga menjadi sumber pendapatan utama.
Di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, dan sebagian besar hutan di Andes, Amazon, Indonesia, dan Kongo diprediksikan akan berada dalam bahaya mulai tahun 2050 berdasarkan skenario kenaikan emisi tinggi.
Hilangnya kumpulan satwa secara tiba-tiba berdampak negatif terhadap ketahanan pangan masyarakat suatu wilayah.
Lebih lanjut, ada penurunan kemampuan tanaman tropis untuk menyimpan karbon apabila burung dan mamalia penting yang berperan kepada penyebaran biji tiba-tiba hilang.
Temuan-temuan ini menyoroti betapa mendesaknya mitigasi perubahan iklim.
Mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cepat pada dekade ini akan mencegah ribuan spesies dari kepunahan dan melindungi manfaat yang mereka berikan pada manusia.
Menjaga pemanasan global di bawah 2°C akan meratakan kurva risiko perubahan iklim terhadap biodiversitas.
Hal ini dilakukan dengan cara mengurangi jumlah spesies yang rentan terhadap bahaya iklim secara masif dan memberi lebih banyak waktu bagi spesies dan ekosistem untuk beradaptasi dengan iklim yang berubah –baik dengan mencari habitat baru, mengubah tingkah laku, atau dengan bantuan konservasi dari manusia.
Ada juga urgensi untuk meningkatkan upaya untuk membantu orang-orang di daerah berisiko tinggi menyesuaikan mata pencaharian mereka karena perubahan iklim yang mengubah ekosistem lokal.
Bila kita mampu memproyeksikan di mana dan kapan spesies akan terpapar bahaya iklim sepanjang abad, kita dapat membuat semacam sistem peringatan dini yang mengidentifikasi area rentan terhadap perubahan ekologi mendadak.
Sebagai tambahan, terkait pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, temuan ini dapat memberikan panduan upaya konservasi, seperti menetapkan kawasan lindung baru yang tidak rentan terhadap bahaya iklim.
Mereka juga dapat menginformasikan pendekatan berbasis ekosistem untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim.
Contohnya, menanam mangrove untuk melindungi daerah pesisir dari banjir.
Baca Juga: Gelombang Panas Cairkan Tundra Siberia dan Sebabkan Kebakaran
Ada potensi dalam memperbarui dan validasi proyeksi jangka pendek sebagai respons ekologis terhadap perubahan iklim.
Potensi ini harus digunakan untuk menyempurnakan proyeksi risiko iklim terhadap biodiversitas; ini sangat penting dalam pengelolaan krisis iklim.
Planet kita masih penuh dengan kehidupan. Dengan kepemimpinan politik yang tepat serta tindakan sehari-hari yang kita lakukan sebagai masyarakat, kita masih memiliki kekuatan untuk mempertahankannya.
Penulis: Christopher Trisos, Senior Research Fellow, University of Cape Town dan Alex Pigot, Research Fellow Genetics, Evolution & Environment Div of Biosciences, UCL
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR