Gelombang kedua adalah krisis keuangan rumah sakit.
Bermula pada April, ketika Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan agar rumah sakit mengurangi layanan praktik rutin kecuali dalam kondisi gawat darurat. Pada saat yang sama masyarakat juga membatasi kunjungan ke rumah sakit karena takut tertular Covid-19.
Kebijakan dan fenomena ini mengakibatkan penurunan signifikan jumlah pasien yang berobat ke rumah sakit dan akibatnya pendapatan rumah sakit anjlok.
Menurunnya pendapatan terasa semakin berat, karena pada saat yang bersamaan pengeluaran rumah sakit justru meningkat. Rumah sakit harus melengkapi sarana prasarana dan peralatan untuk menghadapi serangan pandemi yang terus meningkat.
Pemerintah Jawa Timur bahkan sempat kehabisan anggaran untuk membiayai operasional rumah sakit khusus pasien Covid-19 akibat besarnya pengeluaran menghadapi pandemi. Biaya rata-rata perawatan per pasien Covid-19 adalah Rp50 juta.
Beberapa rumah sakit mulai melakukan efisiensi dengan merumahkan karyawan. RS Islam Faisal di Kota Makassar memberhentikan sementara 157 pegawainya karena kunjungan turun signifikan sekitar 80-90%. Selanjutnya 80 tenaga sukarela di RSUD Lasinrang Pinrang juga terpaksa dirumahkan karena jumlah pasien berkurang hingga 70% dibanding situasi nornal.
Perusahaan rumah sakit besar nasional juga merasakan hantaman gelombang ini. Dari enam emiten rumah sakit yang melantai di Bursa Efek Indonesia, sepanjang rentang 2 Januari-15 Mei 2020, harga saham seluruhnya jeblok. Saham Pemilik Omni Hospital ambles 51,26%, Mayapada Hospital susut 45,37%, RS Royal Prima melorot 35,26%, RS Hermina terjun 20,98%, RS Siloam jatuh 20,28%, dan RS Mitra Keluarga juga turun 12,77%.
Dampak gelombang kedua ini diperkirakan masih akan terus meningkat mengikuti peningkatan kasus Covid-19. Grafik saham mereka baru akan merangkak ketika kasus Covid-19 telah menurun dan atau kepercayaan masyarakat untuk berobat ke rumah sakit telah membaik.
Gelombang selanjutnya adalah peningkatan angka infeksi, stres, dan kelelahan tenaga kesehatan.
Sebuah studi literatur menemukan prevalensi kecemasan yang menimpa para tenaga kesehatan selama terjadinya pandemi Covid-19 cukup besar (23,2%) dan yang mengalami depresi 22,8% dari total 33.062 sampel tenaga kesehatan.
Studi lain di Singapura dan India dengan responden sebanyak 906 orang menemukan hasil 5,3% tenaga kesehatan di sana mengalami depresi.
Di Indonesia hasil penelitian menunjukkan sekitar 66% responden dari 644 tenaga kesehatan mengalami kecemasan, 55% stres dan 23,5% depresi akibat Covid-19.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR